Chapter 16 Nasib percintaan Ryan

1681 Kata
Fahmi tertidur sangat nyenyak. Badan yang kaku setelah dua hari dua malam terikat kembali rileks. Pemuda itu sedang bermimpi indah bertemu dengan Hafizah, senyum terpancar dengan mata yang masih terpejam. "Woi... Bang! Dah, jam sembilan bangun, gih. Cuci muka kumur-kumur jangan lupa mandi sekalian," ucap Ryan membuyarkan mimpi indahnya. Fahmi menggeliat "Apaan, sih. Baru jam enam juga," igaunya ketus setengah melek. Ryan menggelengkan kepala. "Bang, enam mu kebalik. Jam sembilan ini. Katanya mau bantuin, bangun aja kesiangan. Tidur aja terus, Bang. Nggak usah nikah, bangun aja susah gimana nikahin anak gadis orang," Seketika mata Fahmi terbuka lebar, kepalanya sangat berat dan sedikit oleng. "Kalau ngomong tu di saring, Yan. Pagi-pagi ngedumel rejekinya jauh, ntar. Hoam," Fahmi menguap lalu merenggangkan badan. "Apaan, yang ada kalau telat bangun rejeki Abang di patok Ayam," ucap Ryan tidak mau kalah. Fahmi bangkit dan meraih handuk. "Tunggu di sini, Abang mandi dulu. Awas! Jangan kemana-mana," ancamnya. "Iya, buruan. Lapar ini mau sarapan susah amat nunggu Abang bangun." Fahmi tersenyum memasuki kamar mandi. Akhirnya dia bisa juga akur dengan Ryan. Hal yang sulit dilakukan adalah berbaikan dengan Adik sepupunya itu. Semua ini berkat Hafizah, kekhawatirannya menyatukan dua hati yang keras satu sama lain. Setelah selesai mandi, Fahmi tampak rapi dengan kaos dan celana jeans yang melekat di tubuhnya. "Sip lah, ayo berangkat cari sarapan," Ryan langsung bergegas dan mengikuti Fahmi keluar dari penginapan. Mereka menuju ke warung nasi tempat dimana Ryan bertemu dengan Nina. Jarak warung dan penginapan tidak terlalu jauh, Ryan langsung duduk di kursi setibanya di tempat itu. "Bang, kemarin aku liat dia disini," ucap Ryan. Fahmi mengerti dan mendekati sang pemilik warung. "Tunggu disini, biar Abang yang memesan makanannya," Ryan pasrah dengan menu yang akan di pilih oleh Fahmi. Warung itu mulai ramai, bukan hanya karena hari mulai terik tapi karena hanya ada warung itu yang beroperasi. "Mba, saya pesan nasi kuning dua. Tapi, antar ke sana, ya." Tunjuk Fahmi ke meja yang di tempati Ryan. "Oh iya, Den. Ada yang lain?" tanya sang pemilik warung. "Teh hangat dua, Mba." "Baik. Silahkan menunggu terlebih dahulu," ucap wanita itu ramah. Fahmi mengurungkan diri untuk bertanya, melihat banyaknya pelanggan yang datang, diapun memilih menyusul Ryan di mejanya. Mereka memperhatikan orang-orang yang ada di sekitarnya, tak lama pesanan pun datang. "Ini pesanannya, Den. Ada yang bisa saya bantu lagi?" tanya pelayan itu ramah. "Oh iya, Mba. Sebenarnya, saya ini lagi cari teman saya. Kemarin itu, Adik saya nggak sengaja lihat teman satu kampung kami mampir kesini. Namanya Nina, apa Mba kenal?" tanya Fahmi sopan "Oh Mba Nina, yang putih itu, ya orangnya. Kenal, orangnya baik, dia ngajar dekat sini," ucap wanita itu antusias. Fahmi memandang Ryan "Ya, bisa minta alamatnya, Mba?" Kali ini Ryan yang bertanya. "Saya nggak punya, Den. Tapi, kalau alamat sekolahnya saya tahu. Bu Nina ngajar di sekolah dasar di ujung kampung ini, Den." Fahmi mengerti dan mengangguk ringan "Baiklah, kalau begitu terimakasih banyak, Mba." "Sama-sama, silahkan di lanjutkan makannya, Den." Fahmi dan Ryan menikmati makanannya dengan diam, Ryan kadang terlihat melamun. Entah apa yang dipikirkan pemuda itu. Selesai makan, mereka langsung menuju ke sekolah dasar tempat Nina mengajar. Ryan mengeluarkan keringat dingin, gugup karena akan bertemu belahan jiwanya setelah sekian lama. "Ingat, Ryan. Jika dia bukan jodohmu jangan memaksanya. Tetaplah tenang, ingat kita berada jauh dari rumah." Ryan merasa tidak yakin. "Apa kita batalkan saja, Bang," ucapnya lemah. Fahmi menatapnya tegas "Bicara apa kamu, selesaikan apa yang menyiksamu selama ini, jika kau mencintainya. Maka yakinkan dia," Ryan merasa tidak percaya diri, apalagi mereka telah berpisah sekian lama. Bunyi bel pertanda pulang sekolah membuyarkan lamunannya. Ting ting ting ting. Nina keluar dari kelas bersama murid-muridnya, Ryan dan Fahmi mengawasi dari jauh. Setelah Nina berada di tepi jalan raya, kedua pemuda itu bersiap mendekati. Langkah Ryan tiba-tiba berhenti saat melihat sepeda motor berhenti tepat di hadapan wanita itu. Nina pulang bersama seorang pemuda. "Ada apa?" tanya Fahmi. "Dia di jemput oleh seorang lelaki," Fahmi melihat ke depan, benar saja. Nina terlihat sangat bahagia tanpa menoleh ke arah mereka. "Tenanglah, jangan salah paham dulu, kita akan mengikutinya." Fahmi dan Ryan menggunakan jasa ojek, kampung itu lumayan maju dari Desanya. Kendaraan bisa berlalu lalang disini. "Pak, tolong ikuti wanita itu," ucap Fahmi pada tukang ojek yang dinaikinya. "Baik, Bang." Ryan dan Fahmi menjaga jarak seaman mungkin. Pemuda yang membawa Nina membawa motor dengan santai. Jadi tidak sulit membuat mereka mengikuti. Tak lama motor di kendarai Nina berhenti di depan sebuah rumah. Nina turun dari motor sedang pemuda yang mengantarnya tetap melanjutkan perjalanan. Nina melempar senyum manisnya kepada pemuda itu, membuat hati Ryan berdesir karena dongkol. Ryan tak suka kekasihnya tersenyum pada orang lain. Mereka tiba saat Nina telah memasuki rumah. "Berarti dia bukanlah suaminya," ucap Fahmi. "Entahlah," Fahmi menyerahkan uang pada tukang ojek yang membawa mereka. "Terimakasih, Pak." "Sama-sama," Setelah kedua ojek itu berlalu, Fahmi dan Ryan mendekati rumah Nina. Tok tok tok Jantungnya berdebar tak menentu, gelisah dan gugup bercampur jadi satu. "Siapa?" Nina membuka pintu dengan senyum ceria. "Bang Fahmi," wanita itu kaget melihat teman satu kampungnya berdiri di depan kontrakannya. "Abang, kok tahu Nina ada disini?" "Ya, Abang kesini sama Ryan," Keluarlah Ryan yang berlindung di balik punggung Fahmi. Senyum Nina hilang seketika, tatapan wanita itu kosong. Nina shock melihat Ryan berdiri di hadapannya. "Nina, Abang nggak di suruh masuk?" Fahmi menyadarkannya. Pemuda itu merasa risih berada diantara mereka, keduanya seolah bersikap tidak saling mengenal. Acuh tak acuh dan menghindari bertatapan secara langsung. "Eh iya, Bang. Maaf, silahkan masuk," Fahmi dan Ryan duduk di ruang tamu sedang Nina tampak kikuk dan salah tingkah. "Kok kamu ngajar di kampung orang, Nin. Kenapa nggak di kampung kita aja. Udah jadi guru, orang hebat, masa nggak pernah pulang," Fahmi melontarkan pertanyaan, dia berusaha mencairkan suasana. Sedang yang di tanya diam saja. Fahmi menyadari posisinya saat ini. "Abang di luar dulu, sepertinya kalian perlu bicara." Fahmi berdiri meninggalkan mereka. Ryan mengangguk, sedang Nina menunduk seperti terdakwa. Tepatnya, mereka saling terluka. "Hey, Nina apa kabar?" sapa Ryan basa-basi. Kerinduan jelas terlihat di mata pemuda itu. Nina memilih diam dan tidak menjawab sapaan Ryan, mereka menjadi asing satu sama lain. "Yah, sepertinya kau baik-baik saja. Jauh dari kata baik sepertinya kau sangat bahagia. Tidak sepertiku yang tampak menyedihkan." Nina mengangkat wajahnya. Hatinya sakit mendengar ucapan Ryan. "Aku selalu menunggumu di perbatasan, barang kali kau akan pulang suatu saat nanti, sehari dua hari, seminggu dua minggu hingga kini kau tak pernah datang. Ku kira kau terpaksa pergi untuk melanjutkan sekolahmu. Tapi, sepertinya aku salah." Sesaat hening. Nina bungkam, bulir bening menggenang di kelopak sang pemilik mata cantik itu. "Apa aku menjijikan, Nina?" tanya Ryan. Pandangan mereka beradu, wanita itu menggeleng menahan isakan dan kesedihannya. "Apa kau mencintai lelaki yang mem boncengmu barusan?" Meski sakit, Ryan tetap menanyakannya. "Kau mengikuti aku atau memata-mataiku!" Nina terlihat kecewa "Aku tidak memata-matai mu." "Kau bohong!" Airmata wanita itu kini jatuh di wajahnya. Ryan ingin sekali menyekanya, memeluk Nina dan menenangkan. Namun, hatinya juga kecewa saat melihat kekasihnya itu jalan bersama lelaki lain. "Aku hanya melihatmu secara kebetulan, aku dan Bang Fahmi mempunyai urusan disini. Kami tak tahu kalau ternyata kau juga menetap disini." "Aku bersama siapapun, itu bukan urusanmu!" Nina mematahkan hati Ryan. Pemuda itu semakin sakit mendengarnya, rasanya hancur berulang kali. Ryan berusaha menahan diri agar tidak lepas kontrol, walau bagaimanapun juga. Dia tak mau Nina shock sama seperti dulu. "Kau tahu, Nina. Bang Fahmi akan menikah," "Sebenarnya kami kesini karena istrahat dari perjalanan kampung calon kakak ipar, namanya Hafizah. Gadis yang baik di temukan Mas Fahmi yang mau menerima dirinya apa adanya. Bulan depan mereka akan melangsungkan pernikahan datanglah." Nina tampak bimbang, wanita itu gemetar meski jarak di antara mereka tidak terlalu dekat. Ryan menyadari, melihat ketakutan Nina yang masih sama. Hubungan mereka tidak akan bisa di pertahankan. "Suatu saat, mungkin akan kutemukan gadisku sendiri, yang menerimaku seperti Fizah yang mencintai Bang Fahmi. Dan orang itu bukan kau," Bergetar kepalan tangan yang coba ditahan. Rasa perih dan sakit yang tidak bisa diabaikan. 'Aku benar-benar bodoh karena telah berharap padanya," batin Ryan. Nina tidak membela diri maupun menjelaskan siapa lelaki yang di lihat Ryan. Wanita itu hanya diam. "Kalau begitu aku pulang jaga dirimu baik-baik." Bergegas pemuda itu berdiri ingin menghampiri Bang Fahmi di luar. "Bang, maafkan Nina," ucapnya tertunduk sebelum Ryan menggapai handle pintu. "Tak apa-apa, kau berhak memilih yang terbaik. Dan inilah pilihanmu." Ryan meredam kekecewaan dan tersenyum pada Nina, walau bagaimanapun juga. Wanita itu pernah menjadi temannya di masa lalu. 'Ya, inilah akhirnya,' batinnya. Ceklek, pintu di buka dan memperlihatkan Fahmi yang duduk santai di teras. "Ayo Bang, pamit dulu," panggil Ryan. Pemuda itu terlihat biasa-biasa saja di depan Abangnya. "Sudah ngomongnya?" tanya Fahmi. Ryan mengangguk dan tersenyum, Fahmi ikut senang melihat raut wajah Adiknya itu. "Nin, datang ya ke nikahan Abang. Nanti akan Abang kirimkan undangan setelah tiba," ucap Fahmi. "I-iyah, Bang." Ryan memberi isyarat agar segera pergi, "Kalau begitu kami pamit dulu." Mereka berlalu tanpa menoleh, Ryan berusaha tegar. Dia baru saja di putuskan. "Abang sudah sehat kan?" tanya Ryan setelah mereka keluar dari jalan. "Ya, sudah mendingan, kenapa?" "Kita pulang ke kampung sekarang. Aku mau nantang Abang balapan," Fahmi terkekeh. "Tadi gimana? Masa iya langsung pulang." Fahmi mulai curiga dengan hasil pembicaraan mereka. "Abang, kalau nggak bisa balapan bilang saja. Sudah tua inikan." Ryan meledeknya, membuat Fahmi melupakan pembicaraan sebelumnya. "Enak saja. Baiklah nanti setelah hari sudah gelap. Nggak lucu kan. Kalau di jalan bertemu dengan warga," "Oke, setuju." ** Malam yang di nanti pun tiba, setelah keluar dari penginapan dan jauh dari pemukiman. Ryan tersenyum licik. Pemuda itu star lebih dulu tanpa menunggu Fahmi bersiap. "Hey, kau. Dasar curang." Fahmi mengejar dengan merubah wujudnya sebagai serigala putih dan mengejar serigala hitam yang sudah jauh di depan sana. Mereka merasa bebas. Serigala hitam itu berlari dengan tangis kepedihan. Fahmi yang melihatnya tersadar, saudaranya baru saja patah hati. Serigala hitam itu terus berlari tak pernah menoleh hingga tertelan oleh kabut di perbatasan kampung gunung serigala. Lolongan panjang terdengar pilu. Auw Auw Auww Dalam wujudnya sebagai serigala, Ryan menoleh sekilas pada Fahmi yang berada di belakang. Serigala hitam itu terlihat sedih dan berlari melaju mendaki gunung meninggalkan serigala putih sendirian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN