Fahmi tak sadarkan diri selama beberapa hari. Raz meminta seorang tabib datang untuk mengobati luka dalam yang dideritanya. Sampai hari ketiga, pemuda itu akhirnya bangun juga.
Bu Laksmi menunggu dengan setia di sampingnya.
“Kau sudah bangun, Nak? Bagaimana keadaanmu?” tanya wanita tua itu.
Semuanya tampak menyilaukan, Fahmi berusaha menatap dengan jelas dan melihat ke sekeliling.
“Ibu, ibu dimana semua orang?” Tak ada siapa-siapa di kamar itu selain mereka berdua.
Bu Laksmi mengambil segelas air dan membantu Fahmi bangun.
“Minum dulu, tuan Raz baru saja keluar. Kami sangat khawatir padamu, Nak.”
Fahmi meminum air itu lalu berusaha mengingat kembali apa yang sedang terjadi.
“Apa Juna sudah kembali? Berapa lama aku tertidur?”
Bu Laksmi hanya diam, tak lama Malik datang membuka pintu.
“Hey, kau sudah sadar? Syukurlah, kau sudah terbaring selama tiga hari. Lukamu cukup serius dan beruntung ada tabib yang mampu menyembuhkan mu.”
Fahmi terkejut luar biasa.
“Apa? Bagaimana bisa. Lalu, bagaimana dengan Ryan dan yang lainnya. Bagaimana dengan Fizah?”
Pemuda itu bangkit dan merasakan nyeri yang hebat di dadanya. Malik tersenyum dan berjalan mendekati.
“Ibuku juga Datuk, sedang menuju ke Gunung Bayangan, mereka tak bisa kembali ke sini secepat itu. Aku dengar, Fizah dan Zean butuh istrahat untuk pemulihan.”
“Kita tunggu kesehatanmu membaik, ibu juga penasaran dan ingin menemui Hafizah.”
Fahmi mengangguk, dan hanya bisa pasrah. Malik di sampingnya melaporkan semua yang terjadi selama tiga hari belakangan ini.
“Putri Azura telah kembali ke kerajaannya, malam itu saat melihat keadaanmu. Dia dan ayahnya tetap tinggal. Raja Lucifer mendesaknya agar segera kembali jadi, Putri Azura telah berangkat pulang kemarin pagi tanpa menunggumu sadar."
“Tidak masalah. Aku rasa aku tidak bisa menahan lebih lama lagi untuk bertemu dengan Fizah. Bisakah kau menyiapkan tandu untuk kami? Aku ingin berangkat secepatnya,” ucap Fahmi.
Malik ragu untuk menyanggupi keinginannya.
“Soal itu kau harus meminta izin pada tuan Raz.”
“Kau tenang saja, Malik. Aku akan mendapatkan izin darinya segera.”
Sesuai keinginan Fahmi, keesokan harinya dia dan ibunya berangkat ke Gunung Bayangan. Raz mengalah setelah mendengar keteguhan lelaki itu.
“Aku akan menjemput mereka dan segera kembali, izinkan aku menemui Ryan dan yang lainnya," ucapnya saat menemui Raz semalam.
“Kondisimu tidak memungkinkan, Fahmi. Mengertilah.”
“Aku tidak peduli walau nyawaku taruhannya. Aku hanya ingin berangkat secepatnya."
Akhirnya Raz mengirim Fahmi bersama tabib kepercayaannya.
“Baiklah kau boleh berangkat. Tapi ingat, begitu keadaan sudah membaik dan kau telah pulih sepenuhnya. Cepatlah kembali, sampaikan salamku ini pada Pasang. Aku kesepian saat kalian semua tidak berada di istana.”
Fahmi tersenyum mendengar ucapan Raz .
“Tentu, Tuan.”
Perjalanan menuju ke gunung bayangan memakan waktu dua hari dua malam. Apalagi perjalanan kali ini membawa tandu. Anak buah Raz sangat berhati-hati melangkah agar Fahmi dan ibunya merasa nyaman.
Bu Laksmi tampak terpesona dengan pemandangan yang ada.
“Umur ibu sudah tua, tapi keindahan alam ini baru ibu nikmati sekarang.”
Fahmi menyingkap tirai jendela di sampingnya.
“Kenapa Bapak tidak terbuka pada ibu, kenapa Bapak tidak seperti Wa Pasang yang membawa istri dan anak-anaknya jauh ke tempat yang tak terjangkau. Alih-alih untuk jujur, beliau malah menyembunyikan semuanya. Pergi dengan mengubur rahasia yang di pendam lama,” Bu Laksmi terisak mengenang sang suami yang telah lama meninggalkannya.
“Bu, sudahlah. Bapak sudah tenang di alam sana. Ibu adalah wanita hebat yang mampu membesarkan Fahmi dan Ryan. Sekarang, Rogiles sudah tiada, kedepannya desa kita akan aman. Perjuangan Bapak sampai detik ini tidak akan sia-sia.”
Bu Laksmi termenung, dia telah pergi meninggalkan rumah terlalu lama.
“Ibu akan pulang membawa Fizah. Entah bagaimana denganmu dan Ryan, kalian masih di istana atau mau kembali. Ibu akan menerima dengan tangan terbuka.”
Ada sesak yang menjalar di hati sang ibunda.
Fahmi menggenggam tangan wanita tua itu dan menenangkan. Dengan berat hati Fahmi menolak keinginan sang ibu.
“Maaf, Bu. Aku tidak akan membiarkan Fizah ikut dengan ibu.”
Bu Laksmi mendongak dengan sisa air mata di wajah, dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Fizah bukan lagi manusia biasa, dia bisa berubah kapan saja. Bukan hanya itu yang Fahmi khawatirkan, tapi Fahmi khawatir warga tidak bisa menerima anak dan istriku, Bu.”
“Anak?” ucap Bu Laksmi melongo.
Fahmi tersenyum dan memeluk ibunya.
“Fizah dan Zeana sedang mengandung. Sebentar lagi ibu akan menjadi seorang nenek.”
Kabar gembira itu membuat Bu Laksmi terharu. Dia tak menyangka akan mendengar berita baik ini secepatnya.
“Kau tahu darimana? Kita bahkan belum bertemu dengan mereka?”
Fahmi gemas melihat tingkah ibunya, dia pun menceritakan apa yang telah di katakan oleh Putri Azura.
"Ramalan putri Azura, dia mengatakannya setelah penerawangan yang dia lakukan."
Bu Laksmi kembali memeluk putranya.
“Syukurlah, ibu jadi tidak sabar untuk bertemu dengan mereka.”
**
Di Gunung Bayangan. Ryan tampak melamun menatap alam di sekitarnya. Berita kematian Rogiles membuatnya terkejut. Kini lelaki itu memikirkan Raksana.
Dimana dia? Apa sudah bertemu dengan Fahmi atau tidak.
"Hey, Zean terus mencarimu. Kau malah asyik di sini bercengkrama dengan nyamuk," tegur Juna.
Ryan hanya menggaruk kepalanya.
"Aku akan kesana, oh iya. Terimakasih Juna, terimakasih sudah datang tepat pada waktunya."
Juna tersenyum dan merangkul saudara iparnya itu.
"Kau harus berterimakasih pada putri Azura. Jika bukan karenanya. Kami tidak tahu jika kalian berada di sana."
Ryan baru pertama mendengar nama itu.
"Putri Azura? Siapa dia?"
Juna pun menjelaskan segalanya. Ryan takjub mendengar kekuatan wanita itu.
"Wah, Raja Falen sungguh beruntung memiliki putri yang mendapatkan anugerah sepertinya."
Ryan melangkah memasuki kamar.
Ibunda Zeana tampak sibuk merawat Fizah sama seperti merawat putri kandungnya.
Kehamilan mereka membuat wanita itu beserta suaminya sangat bersuka cita.
"Bagaimana dengan keadaan mereka, ibu?"
Ryan berdiri di antara keduanya.
"Sudah lebih baik, ibu akan menyuapi mereka."
Ryan menggapai bubur yang ada di tangan ibu mertuanya.
"Biar aku yang menyuapi Zeana, Bu."
Ryan duduk dan melayani istrinya. Pemandangan itu membuat Fizah tersenyum.
"Kalian romantis sekali, aku dan ibu seperti nyamuk berada di sini."
Istri wa Pasang tertawa mendengarnya.
"Ibu akan menyuapi mu, Nak. Jika Bu Laksmi berada di sini, tentu dia akan melakukan hal yang sama. Cepatlah pulih dan kita akan segera kembali ke istana."
"Apa bang Fahmi belum sadar juga, Bu?" tanya Ryan.
Ibunda Zeana hanya bisa menggeleng.
"Entahlah, hari ini belum ada kabar yang datang."