Tiba di Gunung Bayangan, Malik segera membuka mantra perisai yang mengunci wilayah itu. Rumah keluarganya jelas terlihat membuat Malik bernapas lega. Pasukan kembali melanjutkan perjalanan
“Bagaimana?” tanya Fahmi khawatir.
“Terbuka, kita sudah sampai.”
Senyum keduanya mengembang. Mereka pun masuk dan menuju ke gubuk yang berada di tengah hutan.
“Ibu, Datuk! Kami datang!” ucap Malik memecah kesunyian.
Suara derap langkah kaki terdengar mendekat, Ryan dan Juna segera keluar setelah mendengarnya.
“Malik! Kau datang. Dengan siapa?” Ryan menyambutnya dengan senyuman hangat.
Mereka saling berpelukan setelah sekian lama tak bertemu.
"Aku membawa kejutan besar untukmu."
"Wah, benarkah."
“Ryan!” panggil Bu Laksmi setelah keluar dari tandu.
Ryan tertegun di tempatnya, dia tak menyangka ibunya akan datang menyusul mereka.
“Ibu, ibu di sini?” Ryan menghampiri dan memeluk wanita itu.
Bu Laksmi menyentuh wajah putranya. Melihat Ryan baik-baik saja, itu lebih dari cukup.
“Syukurlah, ibu sangat mengkhawatirkanmu. Kau anak yang nakal, kau membuat Ibu menunggu terlalu lama.”
Ryan tersenyum mendengar celoteh sang ibunda.
Fizah dan Zeana sudah membaik, kedua wanita itu segera keluar menghampiri ibu mertuanya.
“Ibu!” panggil Fizah.
Airmata Bu Laksmi luruh membasahi wajah, melihat Hafizah dan Zeana berdiri tegak, terlihat baik-baik saja. Membuat hatinya lega.
“Syukurlah kalian baik-baik saja, anak-anak ibu.”
Suasana haru menyelimuti hati semua orang, Zean dan Fizah memeluk ibu mertuanya.
"Ibu, kenapa ibu kemari. Ibu pasti lelah,"
Bu Laksmi menggeleng dan menyeka airmatanya.
"Tidak, ibu jauh lebih sehat karena melihat keadaan kalian secara langsung."
Malik dan Juna saling memandang, mereka saling memberi isyarat dan Juna tersenyum bodoh di buatnya.
"Hey, ada apa? Kalian membahas sesuatu tanpa aku," Ryan menatap tegas.
"Tidak ada, jangan banyak berpikir," ucap Malik mengulum senyum.
"Awas saja!"
Wa Pasang beserta istri keluar menyambut para tamu.
“Perjalanan begitu panjang, kalian pasti lelah dan butuh istrahat. Malik, minta pasukan mu untuk rehat,” ucap Wa Pasang.
“Baik, Wa.”
Malik berdiri dan memberi aba-aba pada pasukannya untuk menjauh dari halaman.
“Besan, istrahatlah di sini,” ibunda Zeana menuntun Bu Laksmi.
Mereka sudah seperti saudara kandung.
“Terimakasih, terimakasih karena telah merawat anak-anak kita.”
"Sama-sama, Besan."
Fizah termenung dan melihat ke sekeliling, dia mencari sosok Fahmi di antara banyaknya orang. Sayangnya, kecewanya tak bertepi. Fahmi tak nampak dalam rombongan.
“Bu, bagaimana keadaan Bang Fahmi?” tanya Ryan.
Bu Laksmi menatap Fizah sekilas dan tersenyum pada semua orang.
“Kemarin siang, dia sudah sadar dan mencari kalian. Cepatlah sembuh agar kita bisa kembali ke istana secepatnya.”
Fizah lega mengetahui suaminya baik-baik saja.
“Syukurlah kalau begitu. Ibu bisa menginap di sini, semua orang akan menjaga ibu, aku dan Juna akan kembali ke istana untuk menjenguknya.”
Bu Laksmi menahan keinginan putranya.
“Ibu masih merindukanmu, Nak. Jangan kemana-mana dulu.”
Ibunda Zean sibuk untuk menyiapkan jamuan. Hari ini dia harus memasak lebih banyak untuk semua orang.
“Juna, pergilah berburu dan dapatkan lauk untuk makan siang dan makan malam kita.”
“Baik, Bu.”
“Besan, aku akan membantumu untuk menyiapkan makanan,” ucap Bu Laksmi.
“Tidak, kau adalah tamuku sekarang.”
“Besan, kita harus bekerja sama untuk mengenyangkan perut semua orang.”
Ibunda Zeana tidak menolak lagi. Dia memang sangat membutuhkan tenaga. Sedang kedua wanita muda di hadapannya baru saja pulih dan tidak boleh kecapean.
“Baiklah, mari kita masuk.”
Juna dan Ryan saling melirik.
“Aku juga butuh bantuan.”
Ryan tersenyum.
"Aku tahu, aku akan pergi bersamamu." Ryan mencium kening istrinya.
“Aku harus menemani adik ipar, masuklah dengan Fizah ke rumah untuk beristirahat.”
Zean mengangguk.
"Hati-hati." Ryan dan Juna pun pergi dari sana.
Semua orang rampak sibuk dengan tugas masing-masing, tidak ada yang memperhatikan Fizah yang sedang termenung.
“Datuk akan bicara dengan tabib, siapa tahu dia bisa meracik ramuan untuk memulihkan tubuh kalian lebih cepat,” ucap Wa Pasang pada Fizah juga Zean.
Mereka mengangguk lemah.
“Baik, wa.”
Seluruh pasukan telah rehat di tempat yang telah disediakan. Tidak ada yang lebih bahagia dari Zeana sekarang. Semua anggota keluarganya telah kembali ke rumah.
“Fizah, ayo masuk. Kau harus beristirahat,” ajak Zean.
Wanita itu menolak dan menggeleng lemah.
“Masuklah duluan, Zee. Aku mau menghirup udara segar.”
Fizah berjalan menjauh, ada sedikit rasa kecewa karena Fahmi tak ikut dalam perjalanan itu.
"Tapi, Fizah. Kau tidak boleh pergi sendirian."
Fizah menoleh dan tersenyum.
"Aku hanya di sekitar sini, aku janji tidak akan pergi jauh."
Zean tak dapat menghentikannya.
“Bodoh, kenapa aku seperti ini! Jelas-jelas dia sedang sakit dan aku berharap lebih,” gumam Fizah.
Zean meninggalkannya, istri dari Ryan itu memilih masuk ke dapur membantu ibunya.
Fizah menangis dalam diam, dia terus berjalan dan tidak terasa sampai ke air terjun.
Ryan yang asyik berburu menemukannya di tepi sungai
“Fizah kau disni? Apa kau berjalan sendirian?"
Wanita itu mendongak, netra yang memerah tak dapat dia sembunyikan.
“A-aku ingin berenang, jadi aku kemari,” elaknya.
Ryan mendekat, lelaki itu mengerutkan kening.
“Jangan bohong, kau bahkan tidak bisa berenang. Bahaya bagimu berada di sini sendirian. Ayo pulang!"
Fizah menolak ajakannya.
“Ryan, aku hanya ingin menghirup udara segar, bukannya kau diminta untuk berburu? Sana pergi dan dapatkan lauk untuk semua orang.”
Wajah Ryan mengeras, dia tidak akan berani meninggalkan kakak iparnya sendirian.
“Aku bilang pergilah, aku hanya butuh ketenangan.”
"Kau keras kepala! Baiklah, aku akan kembali lagi nanti. Tolong jangan melakukan hal yang berbahaya. Kita akan kembali ke istana dalam waktu tiga hari ke depan.”
Wajah Fizah berubah cerah. Sungguh kabar itu begitu melegakan baginya.
“Kau janji?”
Ryan mengangguk dengan senyuman.
“Janji, aku yakin dia juga tersiksa sama sepertimu.”
Fizah merasa malu saat Ryan mengatakannya.
"Aku tidak begitu!"
"Ya, aku percaya. Aku akan kembali lagi nanti. Jangan kemana-mana kau mengerti!"
Fizah mengangguk seperti anak kecil.
Beberapa menit berlalu setelah kepergian lelaki itu, langkah kaki kembali terdengar.
“Ayolah Ryan, aku bilang aku mau sendiri.”
Fizah tertegun kala melihat wajah tampan yang ada di hadapannya.
“Ah, maaf jika aku menganggumu.” Fizah mematung untuk sesaat. Wajah yang dia rindukan tepat di depan mata.
Fizah berlari dan mendarat dipelukan suaminya.
“Aku merindukanmu, aku kira kau tidak datang.”
Fahmi tersenyum dan memeluknya erat.
“Bagaimana bisa aku tidak datang jika anak dan istriku sudah merindukan aku,” ucapnya mengecup bibir sang istri.
Air terjun dan kicau burung menjadi saksi bagaimana dua hati yang saling merindu kini bersatu.
Hafizah tertegun sejenak, pangutannya terlepas. Rasa penasaran akan suaminya menganggu pikirannya.
“Bagaimana kau tahu?”
“Itu rahasia. Aku sangat merindukanmu dan tidak ingin membahas apapun untuk saat ini.”