Dugaan Malik menjadi harapan besar bagi Fahmi, demi menemukan petunjuk. Mereka pun menemui Tuan Raz juga Wa Pasang untuk mencari tahu.
“Maaf menganggu waktunya, kami datang untuk menanyakan satu hal,” ucap Fahmi menganggu pembicaraan mereka.
Tuan Raz baru saja mengantar kepergian Raja Falen juga Lucifer keluar dari istana. Kepergian dua penguasa itu menyisahkan kekhawatiran yang mendalam untuk Raz.
“Katakan," ucapnya tenang.
Raz berjalan mendekat dengan kedua tangan disingkap kebelakang.
“Tuan, apa penjara bawah tanah itu, ada? Apa mungkin Ryan dan Fizah di tahan di tempat semacam itu?” tanya Fahmi.
Wa Pasang dan Tuan Raz saling memandang.
“Entahlah, tapi dalam kerajaan kita. Penjara semacam itu tidak ada. Dahulu, jika ada yang memberontak, aku dan Magadang hanya mengusirnya dan tidak membiarkannya masuk dalam kawasan kami lagi.”
Fahmi menghela napas setelah mendengarnya, sungguh dia merasa tak memiliki harapan lagi.
“Entah harus bagaimana lagi, agar aku bisa menemukan mereka,” ucapnya lirih.
Semua orang tertegun dan merasakan frustasi yang sama.
“Wa, tolong ajarkan aku ajian cakar maut, aku sudah siap.”
Keinginan Fahmi telah teguh, dia tak ingin bermain-main lagi. waktu bersantai telah habis dan kini hanya dendam yang bersarang di hatinya.
“Baiklah, kita akan memulai latihannya. Kami sendiripun merasa jika kau sudah sangat siap. Tapi, ingat Fahmi. Ajian ini sangat mematikan, kau harus bisa mengontrol amarah yang ada di hatimu. Satu goresan saja maka kau dengan mudah membunuh lawan mu.”
Fahmi tidak peduli akan resikonya.
“Entah jurus itu akan bekerja atau tidak. Aku hanya ingin bertarung hingga akhir.”
Dendam itu semakin kuat saja.
“Aku telah siap, Wa. Jangan menganggap ku lemah, lawan yang akan ku hadapi bukanlah orang biasa.”
Wa Pasang hanya menatapnya , selera humornya telah menguap bersama menghilangnya putri satu-satunya.
"Tentu, aku sendiri yang akan membimbing mu."
Latihan pun dimulai saat malam tiba. Fahmi belajar ilmu dasar bela diri terlebih dahulu, setiap gerakan dan uji ketangkasan dilalui dengan cepat. Wa Pasang benar-benar mengujinya.
Mereka berlatih tak mengenal waktu. Wa Pasang dan Raz sendiri melihat bahwa Fahmi lebih dari siap untuk menerima ajian itu.
Malik hanya memperhatikan mereka dari jauh. Jurus –jurus yang tak pernah dia lihat sebelumnya, di peragakan dengan apik oleh Wa Pasang.
“Kau tidak mencoba untuk mempelajarinya, Malik?”
Tuan Raz muncul tepat di belakangnya. Pemuda itu menggeleng dengan hormat.
“Tidak, Tuan. Aku tahu ajian itu tak bisa di miliki oleh sembarang orang.”
Tuan Raz mengangguk setuju.
“Purnama sebentar lagi, entah dimana Rogiles akan muncul. Tapi, yang pasti dia telah menyiapkan segalanya dengan licik.”
Malik mendongak dengan wajah cemas.
“Aku hanya memikirkan keadaan Zean sekarang. Tuan, aku punya satu permintaan. Tolong izinkan aku mencari keberadaan Raksana.”
Wajah Raz berubah tegang, ekspresinya hampir sama dengan Fahmi yang mencurigainya tadi siang.
“Tuan, tolong jangan salah paham. Aku yakin dia mengetahui dimana Rogiles berada. Keadaan adikku jauh lebih penting untuk saat ini,”
Tatapan tajam menghujam ke arah Malik, pemuda itu tertunduk tidak berani menatap Tuannya.
“Kau tahu dia musuh sebenarnya di kerajaan kita, jangan mencoba berulah, Malik. Aku tidak akan memberi pengecualian pada setiap penghianat.”
Raz meninggalkan Malik termenung sendirian.
**
Jauh dari tempat itu, kawasan yang dilindungi dengan ajian tak kasat mata. Rogiles tertawa bahagia. Tawanya menggema di seluruh ruangan. Dia baru saja mendengar kabar jika pertemuan para penguasa baru saja berlangsung.
Anak buahnya sedang menyalahkan api unggun, semua orang berbahagia dengan memanggang rusa tangkapan. Bisa di bilang, Rogiles dan pasukannya tengah berpesta.
“Bagus sekali, mereka pikir mereka jauh lebih pintar dariku, mereka salah besar. Bahkan jika mereka bersatu. Mereka tidak akan dapat menemukan aku. Haha haha,”
Paha rusa itu dalam genggamannya. Rogiles menikmati setiap gigitan daging segar itu.
“Tuan, jika mereka bekerja sama. Tentu tidak akan baik bagi kita. Jika penjagaan di perketat. Maka kita tak bisa lagi keluar dari tempat ini,” ucap salah satu pengawal setianya.
Rogiles menatapnya lalu mendongak melihat rembulan malam ini.
“Tidak masalah, kalian tahu ada saatnya kita yang akan berkuasa, kalian tenang saja. Mereka takkan mampu menemukan kita. Urus saja persiapan yang akan di bawah ke istana. Jika Raz telah menyerahkan tahta. Maka, kita tak perlu bersembunyi lagi.”
"Baik, Tuan."
Suasana hati lelaki itu sangat bahagia.
Waktu berlalu dengan cepat, di bawah sana. Fizah dan yang lainnya masih tak memiliki cara untuk kabur. Rencana Fizah yang ingin menyekap pengawal saat mengantar makanan tak pernah berhasil. Mereka seolah tahu apa yang sedang di rencanakan. Saat mengantar makanan, para pengawal itu selalu datang beramai-ramai.
Zeana mulai gelisah, dia tak dapat tinggal lebih lama lagi.
“Kita harus keluar dari tempat ini apapun yang terjadi,” ucapnya pada sang suami saat penjara itu sedang sepi.
Di sampingnya, Fizah sedang membelakangi. Dia tampak mengais sesuatu.
“Segalanya menjadi semakin rumit. Para pengawal itu tak memberi kita kesempatan," ujar Ryan.
Lemparan tanah mengenai tubuh Zean. Wanita itu mengerutkan kening, penasaran dengan apa yang dilakukan Fizah sebenarnya.
“Hey, kau sedang apa?” bisiknya.
Ryan mengawasi keduanya.
“Aku sedang menggali, aku yakin kita bisa kabur dengan cara ini.”
Ryan dan Zeana setuju dengan ide Fizah. Mereka pun melakukan hal yang sama. Ryan menggali dengan cepat dan kembali mengecoh para pengawal saat waktu makan tiba.
“Kira-kira kita menggali ke arah mana?”
Fizah mengabaikan pertanyaan Zean, dia tidak peduli mereka menggali ke arah mana. Asal bisa terbebas dari penjara itu.
"Apa ini mungkin?"
Waktu berlalu, saat siang tiba, mereka kembali ke bagian depan demi mengecoh para pengawal.
Ryan dan Fizah menggali di lubang yang berdempetan. Hingga mereka dapat bertemu di lubang yang sama.
Suara riuh terdengar samar.
“Kau mendengarnya?” tanya Fizah pada Ryan.
Suara gemericik air terdengar jatuh dari ketinggian.
“Sebaiknya kita menunggu waktu yang tepat, ayo kembali agar mereka tidak curiga.”
Fizah mengangguk sumringah.
Harapan terlihat jelas di wajahnya.
“Makanan, datang!” ucap pengawal sebelum makanan itu diantarkan.
Fizah dan Ryan kompak menutup lubang yang telah digalinya.
“Hari ini, Tuan Rogiles bermurah hati dan memberi kalian makanan yang enak.”
Pengawal itu meletakkan daging panggang dan beberapa buah di hadapan mereka.
Ryan dan Fizah tidak tertarik menanyakan apa penyebab Rogiles berbaik hati.
“Dua hari lagi, kalian akan di bebaskan. Malam purnama akan tiba, hingga hari itu. Kalian akan di jamu dengan makanan yang luar biasa. Jadi jangan coba membuat masalah," gertaknya.
Mereka telah mendapatkan kiriman daging beberapa hari belakangan ini. Tidak peduli dengan alasannya. Zean tetap menikmati makanan itu.
“Ryan, aku tidak percaya jika mereka akan membebaskan kita begitu saja,” bisik Fizah setelah pengawal itu pergi.
“Aku tahu. Maka dari itu, kita akan pergi malam ini juga.”
Zean yang mendengar pembicaraan mereka menatap suaminya lekat.
“Aku dan Fizah mendengar suara gemericik air dari balik terowongan kecil yang kita buat. Aku yakin ada sungai tak jauh dari sana.”
Zean menggeleng tak setuju.
“Ryan aku tidak bisa berenang,” ucapnya khawatir.
Fizah menatap mereka bergantian.
“Lalu bagaimana?”
“Kita akan tetap berangkat, Zee percayalah padaku. Aku akan menjagamu.”
Malam itu , Ryan dan Fizah bertekad membobol dinding tanah yang tinggal sedikit lagi.
“Aku bisa berenang, kau tidak perlu cemaskan aku," ungkap Fizah.
Ryan menatapnya, ada kekhawatiran yang lain, yang tidak di ketahui wanita itu.
“Kau percaya padaku, kan? Tolong jangan tinggalkan aku di sini sendirian.” Fizah memohon dengan wajah memelas.
“Tentu Fizah, kau adalah tanggung jawabku. Aku akan membawamu pulang dan bertemu dengan Bang Fahmi. Aku tidak akan meninggalkanmu."