Chapter 60 menemukan tempat persembunyian

1384 Kata
Dalam keheningan malam, dengan pertimbangan yang matang. Ryan berhasil membobol dinding terakhir. Sinar rembulan memantul di atas air yang tenang. Posisi mereka kini tepat berada di pinggir tebing yang cukup dangkal. Suara air yang mengalir dan menghantam bebatuan terdengar keras. “Ryan sebaiknya kita pikirkan kembali tentang rencanamu,” ucap Zean ketakutan. Wanita itu belum melihat apapun, instingnya mengatakan agar dia tetap tinggal. “Percayalah padaku, Zean. Tebing ini tidak begitu tinggi, aku yakin semuanya akan baik-baik saja.” "Tapi!" "Aku akan keluar lebih dulu, kau tunggulah di sini." Ryan dan Fizah telah keluar terlebih dahulu. Fizah langsung menceburkan diri dan hilang keseimbangan. Ryan segera membantunya. Pemuda itu menyadari kondisi Fizah begitu lemah. "Fizah, tenanglah. Coba tegakkan kakimu ke dalam air," bisik Ryan di telinga wanita itu. Kedalam air itu mencapai d**a orang dewasa. Fizah bernapas lega. "Kau bohong jika bisa berenang, kenapa kau lakukan itu!" Fizah hanya tertunduk dan tidak menjawabnya. Setelah memastikan Fizah mampu ke tepian, Ryan kembali pada istrinya. “Zean, aku yakin kau bisa. Lihat, aku sedang berdiri sekarang. Cepatlah sebelum mereka sadar.” Bergetar tubuh Zean mendengar perintah sang suami. Wanita itu kini melihat pemandangan yang samar karena gelapnya malam. “Jangan pikirkan apapun, Zean. Kau hanya perlu percaya padaku.” Zeana mengatur napas dalam-dalam. Perlahan dia menutup mata dan bergegas menceburkan diri. Demi keselamatan semua orang, dia tak memiliki pilihan lain selain menuruti ucapan Ryan. Tepat saat Zean tercebur, dan menyentuh air. Wanita itu berteriak panik. “Ach!” Ryan segera menolongnya dan membungkam mulut istrinya dengan bibirnya. “Diamlah, atau usaha kita akan sia-sia,” bisiknya. Zean terdiam dengan wajah terkejut. Fizah sudah berada di tepian. Mereka pun menyusul dengan hati-hati. "Kau!" Zean memukul bahu Ryan. Bisa-bisanya sang suami mencuri kesempatan di waktu seperti ini. “Kita berada dimana?” tanya Fizah bingung. Ryan menatap ke sekeliling. Dia tak dapat mengenali apapun untuk saat ini. “Sebaiknya kita mencari tempat yang aman hingga pagi tiba. Berjalan dalam keadaan gelap akan berbahaya bagi kalian berdua.” “Tidak, mereka akan sadar cepat atau lambat. Kita harus pergi sejauh mungkin," tolaknya. Semangat Fizah begitu membara, tujuannya saat ini hanyalah satu. Dia sangat ingin menyampaikan kabar bahagia tentang kehamilannya pada Fahmi dan juga Bu Laksmi. “Fizah benar, kita harus pergi sejauh mungkin,” ucap Zean. Mereka pun berjalan dalam keheningan, hanya bermodalkan cahaya bulan seadanya, mereka menembus pekatnya malam dengan tubuh kedinginan. “Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja,” ucap Zeana. Ryan terus mengenggam tangan sang istri agar berhati-hati. “Ada apa?” “Aku sepertinya mengenal tempat ini. Entahlah apa dugaan ku benar atau tidak.” Ryan pun perlahan berhenti, dia meraih tangan Fizah. “Ini lucu, jika kita berada di sana, kenapa Datuk tidak mengirim bala bantuan ke sini. Bukannya tempat ini sudah di lindungi dan hanya Wa Pasang yang bisa memasukinya?” Zean pun tak mengerti akan itu. “Ya, kau benar. Lalu apa selanjutnya?” Hafizah merasa risih, sedang Zean tidak menyadari apa yang tengah mereka lakukan. “Kita akan mencari persembunyian yang aman. Jika benar kita berada di Gunung Bayangan, kau pasti tahu tempat yang paling aman agar kita tidak di temukan.” Zean berpikir sejenak. Tempat itu adalah kawasan dimana dia dan kedua saudaranya di besarkan. “Aku tahu, dimana. Ada sebuah gua di sekitar sini. Aku dan Juna sering ke sana. Tak jarang kami menginap jika sedang marahan dengan Malik.” Ryan bernapas lega. “Baguslah. Kalau begitu ayo kesana.” Satu masalah menganggu pikiran Ryan. Bagaimana bisa Gunung Bayangan menjadi tempat persembunyian Rogiles dan kawanannya. Dahulu, dia dan abangnya hanya bisa masuk saat Krayn datang mengucapkan mantra. Setahunya, tempat ini di lindungi. Dan hanya Wa Pasang yang menentukan siapa yang bisa memiliki akses untuk masuk ataupun keluar. “Tidak! Tidak! Mereka tidak mungkin menghianati kerajaan Araz,” batin Ryan. Pemuda itu menatap istrinya. Cintanya pada Zean tidak diragukan lagi. "Mereka adalah keluargaku. Rogiles sangat sakti. Tentu dia bisa masuk kemana saja dia mau." Ryan berusaha tenang dan percaya pada keluarga istrinya. Setelah berjalan cukup jauh, mereka pun tiba di gua yang di maksud Zean. Tempat itu nyaris tak memiliki lubang atau pintu masuk. “Fizah berhati-hatilah, berikan tanganmu,” ucap Zean. Fizah menurut dan melepaskan tangan Ryan. Mereka masuk mengikuti celah sempit yang nyaris tak mungkin di masuki. Zean sangat bersyukur, tempat itu bagai rumah kedua baginya. Ryan menyusul setelahnya. Di dalam gua itu sama gelapnya. Zean meraba ke sekeliling dan mencari batu yang cukup kuat untuk menghasilkan api. “Ryan, pakai ini. Buatlah api dan aku akan mencari obor di sekitar sini.” Zean menyerahkan batu yang ada di genggamannya. “Hati-hati jangan sampai kau terluka, Zean." Perhatian Ryan membuat Zean merasa tenang. Fizah hanya berdiri mematung. Dia tak tahu harus melakukan apa? Beberapa menit kemudian, api berhasil di buat dan di pindahkan pada obor yang lain. Gua itu menjadi terang dan mereka dapat bergerak secara leluasa. Zean replek memeluk Fizah sebagai tanda terimakasih. “Semua ini berkat dirimu, Fizah. Terimakasih karena kita berada di sini sekarang. Aku tidak percaya kita bisa bebas dari sana." Fizah hanya tersenyum. Mereka tidak cukup dekat untuk saling mengakrabkan diri. “Aku punya pakaian kering, sebaiknya kita ganti pakaian," ajak Zean. Fizah merasa canggung dan menoleh pada Ryan. “Aku akan menghadap ke dinding tenang saja. A-aku tidak akan mengintip." Fizah dan Zeana tertawa kecil. Mereka pun mengganti pakaiannya secara bergantian. Sebentar lagi pagi, matahari akan terbit. Kedua wanita itu merasa sangat kelelahan. “Ryan, sebaiknya kau juga mengganti pakaianmu,” ucap Fizah. Ryan masih menghadap ke tembok. “Apa kalian sudah selesai?” tanyanya. “Iya!” ucap keduanya kompak. Ryan tersenyum lega dan membalikan badan. Penampilan Fizah lebih terlihat seperti seorang kesatria. Itu karena pakaian Zean yang mengubah penampilannya. “Fizah, ada satu hal yang kau tidak ketahui,” ucap Ryan. Zeana melipir entah kemana mencari sesuatu yang bisa di gunakan sebagai selimut. “Apa?” sahut Fizah penasaran. Ryan mencoba menjelaskan semuanya dengan tenang. “Kau harus janji tidak akan marah atau berteriak, kau tahu kan kita baru saja kabur dari Rogiles.” Fizah tampak santai dan menganggu ki ucapan Ryan. “Iya aku janji.” Ryan menceritakan keadaan Fizah sekarang ini. “Fizah, saat kau di culik terakhir kali. Rogiles mengubah mu menjadi bagian dari klan manusia serigala,” Bagai di sambar petir, berita itu membuat tubuh Hafizah bergetar hebat. Dia tentu tak percaya dengan ucapan Ryan. “Kau mengerjai ku, sama seperti di desa. Kau sangat jail.” Ryan menggeleng dengan mimik wajah serius. “Aku tidak berbohong, kau adalah bagian dari kami sekarang. Dan berita buruknya, Rogiles dapat melihat dari matamu.” Gadis itu tercengang tidak ingin percaya. “Kau bohong!” Fizah mulai terisak, wanita itu mulai panik dan melangkah semakin mundur. “Percayalah padaku, Fizah. Saat ini hanya aku yang bisa kau andalkan, aku tidak mungkin membohongimu. Aku mengatakan ini agar kau dan kita selamat.” Fizah mengerutkan kening, dia bingung atas setiap kata yang di ucapkan oleh Ryan. “Apa sebenarnya maksudmu?” Ryan bangkit dan mencari sesuatu untuk di gunakan. Fizah semakin ketakutan saat Ryan kembali dengan seutas tali yang di ambil dari pakaian bekas. “Kau mau apa? Tolong jangan sakiti aku,” ucapnya memohon. “Aku hanya akan menutup matamu dan kita akan menjelaskan semuanya.” Ryan menutup mata Fizah, di luar dugaan. Fizah masih bisa di ajak berkomunikasi. Saat kau berada jauh dari Rogiles, kau tak bisa mengendalikan dirimu. Kau akan terus berteriak, dan menyerang semua orang. Kami harus menutup matamu demi membuat dirimu tenang." "Aku baik-baik saja, Yan. Itu artinya kau membohongiku!" Ryan menggenggam kedua tangannya. "Aku menganggap mu sebagai saudari, Fizah. Saat kau menikah dengan Fahmi pun. Kau dalam pengaruh kuat Rogiles. Kau hanya kehilangan kendali atas dirimu saat Rogiles berusaha mengendalikan indra penglihatanmu." Zean muncul dan melihat mereka. Ryan menggenggam tangan Fizah begitu perhatian. "Dia baik-baik saja, kenapa kau menutup matanya?" Ryan dan Fizah menoleh ke arah yang sama. "Jadi benar, aku dalam pengaruh Rogiles, Zean?" Tangis Fizah membasahi pipi. Zean mendekat dan menjauhkan Ryan darinya. "Tenanglah, Mas Ryan dan Fahmi akan menghabisi Rogiles. Dengan cara itu, kau bisa kembali seutuhnya. Tapi tidak dengan wujud mu sebagai bagian dari klan kami." Fizah menangis merutuki dirinya. "Apa aku pernah menyakiti orang lain?" Zean memeluknya erat. "Tidak, kau tidak pernah menyakiti siapapun. Selama matamu di tutup. Kau akan baik-baik saja."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN