Chapter 6 sejarah kampung gunung serigala.

1406 Kata
Bu Laksmi selesai mengobati luka Fizah dengan telaten, makanan dan keperluannya semuanya telah di siapkan dengan baik. Fahmi melihat Fizah dilayani bak seorang putri Raja oleh Ibunya. Terlihat sangat berlebihan, pemuda itu menarik kursi dan duduk menikmati makan siang dalam diam, sesekali dia melirik Fizah dan Ibunya. Tak dihiraukan membuat Fahmi menyelesaikan makannya lebih cepat dan bergegas untuk keluar. "Mau kemana?" tanya sang ibu. Fizah mendongak melihat lelaki itu "Kebelakang, Bu. Aku ingin istrahat," ucapnya dan berlalu. ** Di bagian belakang rumah atau halaman belakang, ada bale-bale yang cukup luas, sengaja diletakan di bawah pohon nangka. Udaranya sangat sejuk, cocok untuk beristirahat di siang hari. Fahmi merebahkan diri lalu terpejam sebentar. Mengingat-ingat kebodohan yang telah dia lakukan sepanjang jalan, membuatnya merasa malu. Tak lama, terdengar langkah kaki mendekat tapi Fahmi bergeming, dia tetap menutup mata. Sungguh hari yang sangat melelahkan baginya, di tambah omelan ibunya yang sesuka hati memarahinya membuat hari Fahmi semakin sempurna. 'Apa yang terjadi pada Ibu, kenapa mudah sekali baginya menyayangi Fizah seperti itu. Sebelumnya ibu tidak seperti ini, dia bahkan tidak pernah membentakku,' batinnya meracau. "Hey, Tuan, apa kau tertidur?" tanya Fizah. Fahmi menyadari kehadirannya, gadis itu duduk tepat di sampingnya. Diabaikan tak di hiraukan. "Aku tahu kau tidak tidur. Apa kau marah? Aku tahu kau tak nyaman, aku juga menyusahkanmu sepanjang jalan " ucap Hafizah tak enak hati. Fahmi masih mendengarkan. "Maafkan, Aku." Fizah merasa sangat bersalah, apalagi Fahmi mendiamkannya. "Apa kau tidak mau memaafkan aku?" Fahmi membuka mata, Fizah berada tepat di atas wajahnya. Bola mata gadis itu begitu indah. "Ada apa, Fizah? Aku tidak menganggumu sama sekali, aku hanya ingin istrahat," jelasnya. Pemuda itu mencoba mengalihkan pembicaraan dan bangun untuk duduk. "Maaf karena aku, Tuanku di marahi oleh ibu." Semilir angin menerpa wajah mereka. "Tidak, aku yang minta maaf. Aku telah membuatmu tidak nyaman. K-karena ibu-ibu tadi," ucap Fahmi gugup. Fizah menatapnya sekilas dan berusaha menetralkan degub jantung yang berdebar tidak seperti biasanya. "Aku harusnya tidak mengatakan pada mereka jika kau adalah calon istriku, a-aku melakukan itu agar bisa segera pergi dari hadapan mereka," Fahmi berusaha menjelaskan. Fizah sangat mengerti, tentu dia tak berpikir jika Fahmi serius dengan ucapannya. "Aku tidak keberatan soal itu. Salahku yang kurang berhati-hati hingga membuat kita berbohong di hadapan mereka." Fahmi menoleh menatapnya. "Aku takut kalau-kalau serigala yang kau maksud akan keluar dari gua itu. Aku mendengar suaranya semalam dan itu membuatku terus mengingatnya. Bagaimana jika aku melihat wujudnya, mungkin aku akan pinsan." Tak lama Bu Laksmi keluar dari rumah dan ikut bergabung. Beliau membawa tiga cangkir teh dan sepiring gorengan. "Apa yang kalian bicarakan? Apa Fahmi menganggumu, kenapa wajahmu cemberut?" Seketika putranya terpejam mendengarnya. 'Lagi-lagi ibu mengira aku menjailihnya,' batin Fahmi. "Tidak, Bu. Sebenarnya, di gunung tadi. Aku melihat tebing batu yang menjulang tinggi. Mas Fahmi menjelaskan kalau disana tinggalnya para serigala yang berkeliaran di malam hari. Sebenarnya saya jatuh karena saya ketakutan, Bu. Saya takut dan membayangkan yang tidak-tidak," ungkap gadis itu. Bu Laksmi menoleh ke putranya. Fahmi memilih diam, dia tidak ingin di salahkan lagi. Di letakkan nampang di atas bale-bale lalu menghampiri Fizah dan menjelaskannya. "Fizah, Kampung ini di namakan kampung gunung serigala. Dahulu kala orang tua Ibu menceritakan. Di masa penjajahan, warga disini ditindas sedemikian rupa, anak-anak gadis di usia tiga belas tahun akan dipisah oleh kedua orangtuanya. Sebagian diambil paksa oleh prajurit asing. Untuk di jadikan pemuas nafsu. Anak-anak gadis melakukan perjalanan di malam hari untuk mendaki gunung. Karena jika bergerak di siang hari. Prajurit asing akan cepat menangkap mereka. Jadi di pilihlah waktu malam hari karena minim pencahayaan dan sebagian prajurit akan beristirahat." "Mereka kemana, Bu? Apa tak ada yang mengantar?" tanya Fizah memotong penjelasan Bu Laksmi. Fahmi memilih menyimak. "Sabar, kan ceritanya belum selesai." "Anak-anak melakukan perjalanan bersama teman-teman seumurannya. Tidak ada yang di dampingi oleh Ibu dan Bapaknya. Karena bagi warga yang berani keluar di malam hari akan dibunuh. Tapi, beda ceritanya, kalau itu anak-anak perawan. Dengan senang hati prajurit akan menangkapnya." "Jahat sekali," ucap Fizah dengan tangan mengepal. Bu Laksmi melanjutkan ceritanya. "Anak-anak yang berhasil mendaki, akan masuk ke dalam gua yang kamu liat tadi, kalau di lihat dari jauh kau akan melihatnya sebagai tebing tinggi. Tapi, bagi penduduk asli kami tahu dimana pintunya. Pintunya sangat kecil, jika di lihat dengan seksama. orang menganggapnya bukan pintu, tidak akan ada yang muat melewatinya. Tapi, itu satu-satunya lubang. Orang segendut apapun bisa melewatinya. Tapi, lubang itu tidak bisa di lewati orang luar karena pintu gua seakan menyipit jika yang datang itu orang yang hatinya jahat. Beberapa orang sudah membuktikannya." Fizah takjub mendengar cerita Bu Laksmi. "Benarkah?" ucap Fizah spontan. "Ya, anak-anak yang telah melakukan perjalanan akan aman di dalam sana. Di dalam gua sangat terang. Ada banyak obor terpasang, ada perabot jaman kuno juga. Orang-orang percaya mereka dilindungi. Setiap bahaya mendekat. Lolongan serigala akan terdengar dan serigala ukuran besar kadang membantu warga di jaman dulu untuk mempertahankan kampung ini sampai akhirnya, Prajurit asing takluk dan tidak berani mendekati gunung ini lagi," Fizah mendengarkan cerita dengan penuh penghayatan. "Ada yang bilang, serigala itu jelmaan manusia. Ada juga yang bilang serigala itu terikat pasti disini. Dia tidak akan kemana-mana dan akan keluar sesuka hati mereka. Sampai di masa prajurit asing tidak bisa menaklukan kampung ini. Mereka mundur dengan sendirinya. Itulah mengapa kampung di batasi dengan obor, sepanjang jalan perbatasan kampung. Untuk menandah kan batas kekuasaan para leluhur kami." "Apa ada yang pernah melihat wujudnya, Bu?" tanya Fizah lagi. "Tentu, orang tua Ibu pernah melihatnya. Serigala dengan ukuran besar. Dia lebih tinggi dari rumah warga, jumlahnya juga tidak sedikit ada empat. Tapi, kami tidak tau tepatnya. Karena yang terlihat biasanya cuman empat kata orang tua Ibu. Itupun serigala hanya keluar disaat-saat genting." "Tapi, semalam itu, Bu." Fizah mulai gemetar. Fahmi mendekatinya. "Itu karena kau seorang pendatang, dia ingin memeriksa apa kau orang yang berbahaya bagi kawasannya atau tidak." Fahmi memandang tepat ke manik mata gadis itu. Fizah gugup, keringat dingin membasahi wajah. "Serigala itu tetap ada, Nak. Karena masih mempunyai keturunan disini. Tapi, tidak ada yang tau siapa dan dimana letaknya. Yang pasti dia ada tidak untuk mengganggu tapi untuk melindungi," terang wanita tua itu. Mereka berharap Fizah memahaminya, Fizah diam mencerna kata-kata Bu Laksmi tadi. "Ibu masuk dulu, ya. Silahkan nikmati tehnya." Bu Laksmi pamit meninggalkan mereka. Fahmi memandang Fizah yang masih ketakutan. Pemuda itu tidak tahan untuk tidak mengodanya. "Kenapa, apa kau takut?" tantangnya. Fizah mengerutkan kening. "Ya, jika serigala itu ada, berarti keturunannya masih ada di sekitaran warga. Tapi, tidak ada yang tahu. Karena tak ada yang mencari tahu," "Betul," ucap Fahmi. "Jadi ..." Fizah berhenti sejenak, gadis itu menggantung ucapannya. "Bagaimana kalau aku bilang aku adalah salah satu keturunannya," tembak Fahmi. Fizah kaget, gadis itu langsung berdiri dan mundur. Dia lupa kalau kakinya masih terluka. "Auwh, " gadis itu meringis kesakitan. Fahmi tertawa kecil melihatnya. "Fizah, mudah saja untuk membohongimu." Fahmi tidak bisa menahan tawanya, Fizah menatapnya marah sambil memegang kakinya yang terluka. "Sudahlah, Fizah. Kau harus beristirahat di kamarmu." Fahmi mendekat mengankat tubuh gadis itu dan menggendongnya. Fizah terkejut, Fahmi melakukannya dengan tiba-tiba. Aroma tubuh lelaki itu kembali tercium. Dia menatap Pemuda itu. "Jangan berpikir yang tidak-tidak, jangan banyak bertanya dan cepatlah sembuh." Lelaki itu menasehatinya. Fizah mengangguk canggung, Fahmi membaringkannya di atas kasur lalu keluar dari kamar. Sebelum pergi, dia menatap Fizah yang terpaku di tempatnya. ** Saat kembali ke bale-bale, Fahmi melihat Ibunya sudah berada di sana. Menunggu, seolah ingin membicarakan sesuatu. Fahmi mendekat, dia pun langsung membaringkan kepalanya di pangkuan sang Ibu. "Maafkan Ibu. Ibu tahu kalau ibu sudah keterlaluan padamu." "Nggak apa-apa, Bu. Fahmi tahu Ibu melakukannya karena khawatir terhadap Fizah." "Iya, itu benar. Ibu nggak tahu, kenapa Ibu sangat sayang sama, Fizah. Padahal kami baru bertemu. Apa kau merasakan hal yang sama?" "Maksud ibu apa?" tanya Fahmi pura-pura tidak mengerti. "Dia gadis yang baik, dan baru kali ini kau membawa seorang wanita kembali ke rumah." "Nah, kan. Ibu mulai lagi." Fahmi bangkit dan duduk menyeruput tehnya. Bu Laksmi berusaha menbujuk Fahmi agar cepat menikah, usianya sudah terbilang matang. Tetapi dia masih saja cuek. "Dengar, Bu. Jodoh itu tak bisa dipaksakan. Jangan membahas Masalah ini lagi, bagaimana jika dia tidak kerasan karena ibu selalu mengunkit sesuatu yang mungkin Fizah juga tak menyukainya. Aku baik-baik saja, Bu. Jika nanti kutemukan orang yang tepat, aku akan mengakuinya di depan ibu. Percayalah." "Tapi, kapan? Ibu sudah tak sabar." Fahmi memberi ibunya teh, dia hanya tersenyum sebagai jawaban. "Kau membuat ibu selalu berharap, berdoa siang dan malam. Apa salahnya mengabulkan permintaan wanita renta sepertiku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN