Beberapa hari berlalu kaki Hafizah sudah sembuh dan kembali pulih, gadis itu telah kembali membantu Bu Laksmi menyiapkan makanan di dapur.
Setelah insiden terjatuhnya Fizah di gunung. Bu Laksmi kini mewanti-wanti gadis itu agar tidak meninggalkan rumah lagi. Alhasil, hanya Fahmi yang selalu ke kebun, kadang di temani Ibundanya, dadang sendirian.
Beberapa hari tingal di desa itu,
Fizah mulai beradaptasi, raungan serigala tidak lagi mengganggunya. Walau kadang dia bergidik mendengar suara serigala tertentu.Tapi, semenjak obrolan di halaman belakang dengan Bu Laksmi. Fizah mulai memahami tentang sejarah dan segala keanehan yang terjadi saat malam hari.
***
Tok ... tok ... tok ....
"Tuan, makan dulu," panggil Hafizah dari luar.
Sekarang waktunya makan malam.
Fahmi selalu mengunci pintu kamarnya, dia tidak membiarkan orang-orang masuk sembarangan. Terkadang. pemuda itu merasa kesakitan, dia akan menjerit dan seluruh tubuhnya memanas.
"Iya, sebentar," sahut pemuda itu.
Sosok mahluk misterius seringkali datang dan tersenyum di jendela kamarnya. Menyeringai menatap Fahmi seolah membawa pesan.
Fahmi tidak mengerti dengan kehadiran sosok itu mengartikan apa? Dia telah terbiasa. Sejak menginjak umur 18 tahun. Sosok itu sering datang dan pergi.
Fahmi selalu menunggu, berharap roh itu memberi petunjuk baginya.
Namun, sampai mahluk itu memudar. Tidak ada apapun yang berarti.
'Aneh, tadi itu apa?'
Sosok dengan aura gelap yang sangat pekat, hanya sorot matanya yang terlihat hidup dan menyeramkan, menatapnya tak berkedip. Fahmi baru melihatnya. Berbeda dengan sosok yang lain yang selalu datang mengunjunginya.
Kadang sosok itu terlihat tenang, kadang juga menangis.
Fahmi telah terbiasa dengan hal gaib dan berbau mistis seperti ini.
***
Fahmi bergegas keluar menyusul Ibunya dan Fizah di meja makan.
Kedua wanita itu tersenyum menyambutnya.
"Duduklah." Bu Laksmi, membuka piring untuk putranya.
Baru sesaat Fahmi duduk di kursi, gedoran di pintu mengalihkan perhatian mereka.
Tok tok tok
"Siapa yang datang malam-malam begini?" tanyanya.
Mereka jarang menerima tamu, hampir tidak sama sekali.
"Entahlah, Nak. Sana buka pintunya."
Fahmi pun beranjak, dia berjalan menuju ke pintu dengan santai.
Ceklek.
Pintu terbuka, seorang pemuda yang sangat di kenali oleh Fahmi berdiri di ambang pintu dengan senyum mengejek.
'Mau apa dia malam-malam ke sini?' Fahmi sangat kesal dan geram melihat pemuda itu.
Tanpa basa-basi, dia langsung menutup pintu, tidak peduli orang yang ada di hadapannya akan tersinggung.
Dia Ryan- adik sepupu Fahmi langsung menahan pintu dengan kaki dan tubuhnya. Pandangan mereka bertemu, mereka tidak akur satu sama lain.
"Mau apa, kau? Pergilah dan jangan buat keributan. Aku sedang tidak ingin menerima tamu!" usir Fahmi.
"Idih, aneh kau Bang. Awas! Aku datang untuk melihat calon Kakak Iparku," ucap Ryan dan mendorong pintu itu kuat.
Fahmi tak dapat menghentikannya.
Ryan adalah Adik sepupu Fahmi, dia adalah anak dari saudara uwa Magadang.
Tidak seperti biasanya, pemuda itu datang dan meninggalkan kediamannya di lereng gunung serigala.
"Selamat malam, Bu," sapa Ryan yang langsung mencium tangan Bu Laksmi.
"Selamat malam, Ryan putraku." Bu Laksmi sangat bahagia dengan kejutan ini. Dia menyambut Ryan dengan hangat.
Ryan dan ibu Laksmi tidak memiliki hubungan darah. Namun, karena Ryan di rawat sejak kecil oleh wanita itu. Hubungan mereka mengalahkan hubungan Ibu dan anak kandung.
"Tumben, turun gunung. Biasanya walaupun Ibu sampai ke kebun, kamu nggak pernah mau turun ketemu Ibu." Di peluknya putranya yang sudah lama tak dia jumpai.
"Ini juga tadi nggak dibiarkan masuk, Bu. Abang semakin galak saja," ucapnya melirik pada Fahmi.
Orang yang sedang dibicarakan, memukul kepala Ryan cukup keras.
Plakk
"Auw sakit, Bang!"
Fahmi tidak peduli dengan keluhannya, dia tak sudi berdampingan dengan Ryan lalu memilih duduk di samping Fizah.
Gadis itu diam dan menyimak pembicaraan. Dia terlihat canggung dengan kedatangan Ryan.
"Ya sudah, maafin Abangmu. Kamu kan tau dia orangnya bagaimana?" ucap Bu Laksmi membesarkan hati putranya.
"Sekali-kali ibu harus menghukumnya juga. Abang udah keterlaluan kan, Bu."
Fahmi melotot, Bu Laksmi mengusap pundak putranya.
"Ya, ibu pasti akan menghukumnya nanti."
Bu Laksmi lalu menyentuh tangan Hafizah, gadis itu tersentak karena tengah melamun.
"Kenalin, Nak. Ini, Fizah. Teman Abangmu dari kota," Bu Laksmi mengenalkan Fizah pada Ryan.
"Lah, bukanya Fizah calon istrinya Abang, Bu?" seru Ryan dan langsung duduk di kursi.
Pandangan Ryan dan Fahmi bertemu. Fahmi jelas tak menyukai apapun yang keluar dari mulut adiknya itu. Berbeda dengan Ryan, justru dia sangat menikmati segala.bentuk ketidak sukaannya.
"Hay, namaku, Ryan. Aku satu-satunya saudara yang di miliki oleh lelaki yang ada di sampingmu."
Fizah tertunduk sopan, dia akan menggapai tangan Ryan. namjn, segera di hentikan oleh Fahmi.
"Aku, F-fizah," ucapnya gugup tanpa menyambut tangan pemuda itu.
"Ehem ...." Melihat Fizah yang bingung dan ketakutan, Fahmi pun berusaha melunak pada adik sepupunya itu.
"Iya, dia calon istri abang, bersikaplah sopan."
"Wow, kau dengar itu, Ibu." Ryan sangat tertarik dengan Fizah. Gadis itu terlihat lugu dan polos, sangat cocok menjadi korban keisengannya.
"Tentu, kita adalah keluarga bukan. Aku pasti akan sangat menghormatinya."
Fizah menatap kaku, gadis itu tampak malu dengan rona berseri di kedua pipinya. Kini Fahmi juga mengakuinya di depan keluarganya.
"Apa ini nyata?" batin gadis itu.
"Tidak tentu saja, Tuanku hanya bercanda."
"Wah, ini berita bagus. Ibu akhirnya punya calon mantu."
Fahmi mulai gerah, pemuda itu berharap Ryan segera pergi dan dia bisa menjelaskan semuanya.
"Harus ku akui, dia memang cantik, Abang tidak salah memilihnya. Iya kan, Ibu?" Ryan terus menggoda dan melibatkan ibunya.
Wanita itu memang menyukai Hafizah, dengan senang hati dia menyetujui ucapan Ryan.
"Ya, kau benar. Dia cantik, dia juga sopan, sangat cocok dengan Abangmu."
Ryan menatap tetap di manik mata gadis itu, tatapannya yang tidak biasa membuat Fizah rizih.
Alarm di dalam diri gadis itu memperingatkannya. Dia merasa lelaki itu memiliki niat jahat. Fizah yang ketakutan lalu memiting ujung baju Fahmi.
Pemuda itu menatapnya, sama seperti biasa.
"Berhenti menatapnya seperti itu. Kau tahu dia milikku. Tundukkan pandanganmu jika kau tidak ingin mendapatkan masalah."
Ryan kehilangan selera makannya. Dia semakin tertarik dengan Hafizah. Sikap Fahmi memperlihatkan bahwa dia sangat melindungi gadis itu.
"Penduduk kampung sudah membicarakan hubungan kalian, aku harap Abang tidak mengulur banyak waktu. Tinggal satu atap seperti ini, apa kata orang nanti." ucapan Ryan menyentilnya.
Bu Laksmi menatap Fizah dan Fahmi bergantian, wanita tua itu bingung. Kenapa warga bisa membicarakan putranya.
"Itu urusanku, kau tidak perlu repot memikirkannya."
Pembicaraan mereka tidak ada habisnya, Bu Laksmi tak ingin mereka terus berseteru membuat Fizah tak nyaman.
"Nak, apa kau akan bermalam? Sudah sangat lama semenjak kepergianmu. Ibu harap kau akan tinggal beberapa hari lagi," bujuk Bu Laksmi.
Fahmi kehilangan mood karenanya.
Bu Laksmi mulai menyendok kan nasi untuk Ryan dan melayaninya sepenuh hati.
"Aku tidak tahu, Bu. Aku hanya akan tinggal jika Abang menginginkannya."
Sementara Hafizah mulai menyendok kan nasi untuk melayani Fahmi.
"Jika kau tahu kau tidak.di butuhkan, kenapa tidak pergi dari tadi. Makanlah, Ryan. Kau butuh tenaga untuk mendaki," ucap Fahmi dingin.
"Mendaki bagiku sangat muda, Bang. Begitupun menuruninya. Tak ku sia-siakan kemampuanku. Tidak sepertimu!" balasnya.
Pemuda itu berhasil memancing amarah Fahmi.
Ryan adalah pemuda yang sangat sembrono dan itu membuat Fahmi muak.
Melihat ketegangan yang terjadi Fizah memilih diam. Bahkan untuk menyentuh nasinya pun dia takut.
"Sudah, makanlah kalian. Ibu nggak mau, Fizah nggak kerasan disini. Karena kalian terus bertengkar," Bu Laksmi tak tahan melihat keduanya yang tak kunjung berbaikan.
Fahmi menatap kesal,
"Aku tak berselera makan," ucap Fahmi dan berdiri meninggalkan meja. Fahmi menggapai tangan Fizah di depan semua orang dan membawannya pergi.
Gadis itu kaget, dia merasa tak enak pada Bu Laksmi.
"Ayo Fizah, ikut bersamaku."