Chapter 5 Menggendong Fizah pulang

1813 Kata
Mereka akhirnya tiba di kebun, Fahmi mengajak Fizah duduk di bawah pohon besar yang dia tunjuk tadi untuk beristirahat. "Duduklah sebentar Fizah. Kita butuh tenaga untuk memetik sayuran. Sinar matahari sedang terik-teriknya." Fizah menurut dan duduk di samping Fahmi. Mereka menikmati pemandangan yang berada di bawah sana. Sesekali Fizah menatap Fahmi yang berada tepat di hadapannya. Lelaki itu lebih indah dari apapun. "Ada apa, kenapa melihatku seperti itu?" tanya Fahmi. Fizah kelabakan, dia pun segera menampik omongan lelaki itu. "Tidak. Pemandangannya sangat indah. Dan terimakasih sudah mengizinkan aku ikut bersamamu," ucapnya. Angin menerbangkan rambutnya. Gadis itu tampak mempesona, Fahmi tidak menyangka jika gadis kucel dan dekil kemarin bisa berubah menjadi bidadari. "Iya tidak masalah, apa kau senang berada disini? Apa mungkin kau akan ke suatu tempat melanjutkan perjalanan." Fizah tertunduk. Gadis itu diam cukup lama. Tidak ada lagi kerabat yang bisa dia temui. "Ada apa?" Fahmi melihat kesedihan di wajah gadis itu. "Maaf, tetapi. Aku tak punya tujuan. Apa kau akan mengusirku?" Netranya berkaca-kaca, Fahmi merasa kasihan dan merasa bersalah telah menanyakan banyak hal. 'Apa aku baru saja melukainya?' batin Fahmi. "Tidak. Ibu senang kau ada di sini. Aku hanya bertanya, kau boleh tinggal selama yang kau mau." Fizah mendongak menatapnya. Dadanya bergemuruh, sesak takut tidak memiliki tempat untuk berteduh. "Jika aku pulang. Aku akan dipaksa untuk menikah dengan juragan. Dunia sangat kejam, bibi lah yang berhutang tetapi mengapa aku yang harus di korbankan. Orang-orang yang mencegat kita di jalan, sebenarnya orang suruhannya.Jika kalian menginginkan aku pergi. Entah kemana yang harus aku tuju. Satu-satunya jalan aku akan terus melangkah sampai tak ada satu pun orang yang akan mengenaliku." Fizah tampak begitu tegar, dia tahu tak bisa berharap banyak pada apapun yang tak memiliki hubungan dengannya. Bahkan kerabat sendiri memilih menyingkirkannya apalagi Fahmi, mereka hanya orang asing satu sama lain. Fahmi meraih batu kecil dan melemparkannya ke bawah. "Kau tidak akan kemana-mana, Fizah. Kau akan tetap disini. Sampai kau sendiri yang memilih untuk pergi." Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Fahmi. Fizah menatapnya dalam, gadis itu bersyukur tapi tak dapat percaya begitu saja. Apa yang di ucapkan Fahmi belum tentu sama dengan pemikiran ibunya. "Baiklah, Fizah. Kita harus memetik sayurannya dan segera pulang." Fahmi bangkit dan membawa keranjang yang tersedia di gubuk kecil milik ibunya. Fizah mengikuti langkah pemuda itu dan memetik berbagai jenis sayuran. Ada tomat dan cabe, juga terong dan sayuran lainya. Orang-orang yang berada di samping kebun mereka menatap penasaran. Seorang gadis cantik bersama dengan Fahmi, tentu kabar itu langsung menggemparkan. Setelah selesai, Fizah kembali dengan pertanyaan lainnya. Gadis itu sangat tertarik melihat tebing yang ada di puncak gunung. "Tebing itu tinggi sekali. Apa ada yang berkebun didekat sana? Jalan dari bawah sampai di sini saja aku ngos-ngossan. Gimana jika tiba diatas sana." Fizah menunjuk pada tebing yang menjadi icon kampung itu. Fahmi menegakkan badan dan melihat ke arah yang di tunjuk gadis itu. "Oh itu, itu adalah tempat tinggal para leluhurku di jamannya. Belum ada rumah saat itu, hanya ada gua. Masyarakat percaya serigala yang kau dengar semalam berasal dari sana." Fizah tersentak dan langsung mendekat. Suara semalam bukanlah ilusi baginya, dia merasa serigala itu nyata. Rasa takut menyergap hatinya, bagaimana jika serigala-serigala itu keluar dan mengejarnya. "Tidak!" Gadis itu spontan memilin ujung baju Fahmi. Sama seperti yang dia lakukan saat orang-orang mencegat mereka di jalan. "Aku, b-bisakah kita ..." Fahmi menyadari satu hal, Fizah akan melakukan hal itu saat dia merasa takut. "Ayo pulang, sayurannya sudah cukup." Fahmi menyadari jika gadis itu merasa takut. Mereka pun memutuskan untuk turun gunung. Kecemasan yang luar biasa terlihat di mata Fizah, dia masih gemetar, raungan serigala semalam membuatnya bergidik bagaimana jika mereka bertemu hewan buas itu nanti. "Jalannya hati-hati, jangan sampai terjatuh." Fahmi menuntunnya dengan hati-hati, jalanan terjal dan bebatuan sering kali membuat orang terpeleset dan terjungkang, alur jalan dan medan yang di tempuh memang tidak mudah. Fahmi mendahuluinya, agar Fizah dapat mengikuti jejak langkah pemuda itu. Fahmi berpikir hal yang dilakukannya akan memudahkan wanita itu melangkah dan berpijak. Tapi, dasar Fizah. Dia lengah dan terjatuh. Krak. "Auw!" Fizah meringis kesakitan. Tempurung lututnya terbentur ke batu besar yang ada di hadapannya. Gadis itu merasa ngilu dan kesakitan di waktu bersamaan. "Auw, sakit!" ucapnya tertahan. Fizah memejamkan mata, lututnya kini mengeluarkan darah karena tergores batu. "Astaga, Fizah. Kenapa kau jalan terburu-buru. Apanya yang sakit? Coba saya lihat." Fahmi panik saat melihatnya meringis. "Aku ketakutan. Kau membiarkan aku berjalan di belakang, bagaimana kalau serigala itu muncul dan menerkamku," ucapnya setengah terisak. Fizah berusaha menahan sakit dan menggigit bibir bagian dalamnya agar tidak ada rintihan yang keluar dari mulutnya. "Apa kau bisa berdiri?" tanya Fahmi setelah mengecek lukanya, Pemuda itu ingin memastikan jika Fizah tidak terkilir. "Aku, bisa," ucapnya yakin, Fizah bersiap bangun. Tetapi, baru saja dia berdiri, gadis itu kembali terjatuh. Kali ini, dia tidak bisa menahan sakit. Fizah menutup mulutnya dengan punggung tangan berharap suara pekikannya tidak terdengar oleh Fahmi. 'Ini benar-benar gila. Bagaimana caraku bisa membawanya pulang,' batin Fahmi meracau. Lelaki itu menatapnya putus asa. Fizah terus berusaha, gadis itu mencoba lagi dan lagi. Fahmi hanya memperhatikan usahanya. Baru selangkah gadis itu mengangkat kakinya. Fizah malah jatuh dan berakhir di pelukannya. Pandangan mereka tertaut, wajah cantik itu berjarak begitu dekat. Fahmi terpukau, hanya seaat lalu dia tersadar. Keduanya menjadi canggung satu sama lain. "Eh, maaf. Aku tidak sengaja," gadis itu gelagapan dan segera mundur. Sebaliknya, Fahmi terlihat sangat cuek. Dia tidak terlalu memikirkan kejadian tadi. "Apa kau bisa membawa keranjang ini di punggungmu?" tanya Fahmi dan menyodorkan keranjang sayur yang telah di petiknya tadi kepada Fizah. Gadis itu menatap Fahmi tak percaya. 'Apa! Kenapa dia menatapku seperti itu?' batinnya. Kening Fahmi berkerut membalas tatapan Fizah yang begitu berani. "Bagaimana aku bisa?Jangan kan membawa keranjang, bawa diri saya saja, saya tidak mampu," ucap Fizah dengan nada suara memelas. Gadis itu hampir tergelincir lagi karena salah bertumpu. Beruntungnya Fizah reflek berpegang pada bahu Fahmi hingga keseimbangannya bisa kembali dan dapat berdiri dengan tegak. Fahmi menatap bahunya dan melihat tangan Fizah di sana. Tatapan mereka kembali bertemu. Fizah tersadar dan menarik tangannya kembali. Karena sungkan. "Baiklah, sekarang berdirilah, Jangan banyak bergerak," titahnya. Gadis itupun memilih menuruti keinginannya. Fahmi memakaikan tali keranjang ke pundak Fizah hal itu membuatnya terkejut. Gadis itu ingin protes, mimik wajahnya seolah akan menangis tapi urung di lakukan. 'Kenapa dia begitu tega, apa dia tidak mengerti bahwa aku terluka,' gumamnya. "Apa kau bilang sesuatu?" Fizah menggeleng kuat. Fahmi berhasil memakaikan keranjang dan membelakanginya. Wajah Fizah berubah masam. Dia sangat kecewa untuk saat ini. Mengabaikan ekspresi gadis itu. Fahmi mengambil posisi di hadapannya. Fizah menatap heran, karena yang di lakukan Fahmi saat ini adalah berjongkok. "Naiklah, aku akan mengendongmu sampai rumah," ucapnya tegas. Fizah mematung tak percaya, Lama Fahmi bersiap tapi Fizah masih diam saja. Saat Fahmi berbalik dan menoleh ke arah gadis itu. Dia masih mematung. 'Asatga gadis ini!' Fahmi menghela napas. "Ada apa lagi, Fizah?" tanya Fahmi gemas. 'Entah apa yang ada di dalam pikirannya,' gumam Fahmi. "Kau yakin? Mau menggendongku pulang?" tanyanya masih tak percaya. Fahmi tersenyum kecut. "Baiklah, kalau kau mau berjalan sampai rumah. Silahkan saja," ucapnya cuek. Fahmi bergegas akan berdiri. Bersamaan dengan itu. Tangan Fizah melingkar dengan manja di bahunya. Fizah naik ke punggung Fahmi tanpa suara. Mereka terdiam cukup lama dengan rasa yang menyelinap tanpa permisi. "Terimakasih," Fahmi mulai berdiri, dengan beban tubuh Fizah di punggungnya. Fizah merasa canggung. Punggung itu begitu kokoh menopang tubuhnya. Fahmi mulai bergerak, pemuda itu memilih jalur yang aman, dia sangat berhati-hati. Fizah diam tanpa kata, lidahnya keluh. Tak tahu harus bicara apa. Dengan jarak yang begitu dekat, bahkan Fizah dapat mencium aroma tubuh lelaki itu. ** Jalanan menurun telah dilewati dengan usaha yang cukup keras. Fahmi merasa lega saat mereka tiba di jalan setapak menuju pemukiman. Bersamaan dengan itu, ibu-ibu pun baru kembali dari kebun. Tampa sengaja mereka berpapasan dengan Fahmi dan juga Fizah. "Eh, Nak Fahmi sudah pulang dari kota?" sapa salah satu penduduk yang merupakan tetangganya. Langkah lelaki itu terpaksa berhenti. "Iya, Bu. Semalam," ucap Fahmi pendek. Pemuda itu merasa risih, bagaimana tidak. Ibu-ibu itu menatap Fizah lalu asyik berbisik. "Nak Fahmi, ini siapa? Kok di gendong segala, calon istrinya, ya? Cantik sekali," tanya salah satu dari ketiga Ibu-ibu tadi. Fahmi tidak bisa membedakan, apa pertanyaan itu pujian atau sindiran. Fizah dan Fahmi saling bertatapan. Saat pemuda itu menoleh, Fizah pun menatapnya. Bingung mau menjawab apa? Fahmi pun mengiyakan ucapan Ibu-ibu tersebut. "Iya, Bu. Dia, Fizah calon istri saya." Fizah tertegun mendengarnya, sedang Ibu-ibu tadi bungkam. "Mari, ya, Bu. Saya duluan, calon istri saya cidera, saya buru-buru agar bisa mengobatinya," terang Fahmi. Pemuda itu lalu melanjutkan perjalanan, meninggalkan ibu-ibu yang terus menatapnya. Sesaat lelaki itu tersadar dengan ke konyolannya. 'Apa yang telah aku lakukan?' batinnya meracau. Fizah hanya diam, ucapan Fahmi tadi juga membuatnya shock. Fizah mulai gelisah, Fahmi yang merasakannya menebak jika gadis itu akan mulai bertanya. "Em, aku ... ." "Sudahlah, Fizah. Kita bicarakan di rumah," potong Fahmi membuat Fizah terdiam menggigit bibirnya. Pemuda itu lelah menggendong Fizah sepanjang perjalanan. *** Bu Laksmi sudah berada di teras menunggu kedatangan mereka. Melihat Fizah di bopong membuat Ibunda Fahmi tersenyum ceria. Dia memiliki impian kecil walau Hafizah baru bersama mereka beberapa saat. "Selamat siang, Bu," ucap Fahmi dan Fizah bersamaan. Fahmi mendudukkan Fizah di kursi lalu merenggangkan badan yang kaku karena menahan beban. "Ah, biarkan aku berbaring." Bu Laksmi menggapai keranjang berisi sayuran itu. "Apa kau menikmati pemandangannya?" Fahmi dan Fizah hanya diam. Bu Laksmi menyadari luka yang ada di kaki gadis itu. "Astaga, bagaimana bisa kamu terluka separah ini?" Kaki Fizah terluka dan lebam. Bu Laksmi yang melihatnya ikut meringis. "Dia terkilir, ibu tahu kan. Hal ini bisa terjadi jika orang tidak terbiasa untuk menanjak." Wanita itu duduk di sebelah Fizah dan memeriksa lukanya. "Tapi, Fahmi. Apa kau tidak menjaganya. Kalian harusnya berjalan pelan saja. Tidak usah terburu-buru." Bu Laksmi tadi mengira Fizah di gendong karena lelah di perjalanan. Tapi nyatanya salah. Wanita itu terus mengintrogasi putranya. "Kamu nggak ngerjain dia kan?" tanya Bu Laksmi yang di rasa Fahmi sangat berlebihan. "Tidak, Bu. Aku jatuh atas kelalaianku sendiri," sahut Fizah. "Ibu ini lucu, untuk apa Fahmi ngerjain. Fahmi harus menggendongnya dari atas sampai ke rumah. Aku harap ibu bisa menilai betapa lelahnya aku sekarang." Fizah terdiam setelah melihat Fahmi yang juga menatapnya, Bu Laksmi tak bertanya lagi dan memilih menyiapkan obat untuk Hafizah. "Ibu akan mengobatinya. Tunggu lah di sini." Wanita itu berlalu ke dapur. Kini tinggal lah Fahmi dan Fizah berduaan di teras. Mereka menjadi canggung, apalagi saat teringat ucapan Fahmi pada ibu-ibu tadi. "Sebaiknya kau jangan lagi ke kebun. Kau lebih baik di rumah, kau tahu. Kau sepertinya tidak terbiasa dengan rutinitas seperti ini." Fizah lagi-lagi hanya mengangguk. Pembicaraan mereka di dengar oleh Bu Laksmi. "Ya sudah, kalau gitu dia nggak boleh lagi ikut ke gunung. Fahmi benar, maafkan ibu karena semua ini usul ibu." Fahmi bisa melihat, betapa Ibunya sangat menyanyangi Fizah. Walau jatuhnya terlihat sangat berlebihan. "Tidak, Bu. Hafizah yang tidak berhati-hati."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN