Malik dan Juna hampir tiba di Gunung Bayangan. Utusan Tuan Raz tidak sempat menyusul. Alangkah terkejutnya mereka saat akan memasuki wilayah tersebut. Tubuh Juna dan Malik terpental keluar, mereka seolah di tolak dan tidak di biarkan menembus perisai.
"Aneh," ucap Juna menatap kedua tangannya.
Para prajurit mencoba menerobos tetapi hasilnya sama saja.
Mereka terpental jauh seolah di dorong dengan tenaga dalam.
"Mundur! Tempat ini telah di mantrai."
Juna melihat tempat itu sekali lagi.
"Lalu bagaimana? Tuan Raz dan Datuk telah mempercayakan semuanya pada kita," ucapnya pada Malik.
Malik menggeleng.
"Hanya tempat ini yang tidak kami periksa waktu itu. Aku curiga, kawanan Rogiles bersembunyi di sini."
Pasukan Rogiles telah bersiap dan akan menyambut mereka, Malik dan Juna tak dapat melihat mereka dan sebaliknya, musuhnya itu mengintai dan siap untuk bertarung.
Juna dan Malik bersemangat untuk menerobos tempat itu. Lalu, tiba-tiba.
"Tuan!" Utusan Raz sampai di lokasi.
Malik dan Juna menghampiri dengan wajah bingung.
"Ada apa?"
"Kalian menyusul kami sampai sejauh ini?" Juna di buat terkesiap.
Pengawal itu melihat perbatasan Gunung Bayangan tepat di hadapannya. Pasukan yang ikut dengan Malik terbilang sedikit. Sangat tidak mungkin untuk menghadapi musuh.
Utusan itu mendekat dan berbisik pada Malik. Wajah lelaki itu berubah tegang setelahnya.
"Ada apa?" tanya Juna penasaran.
Malik mengangguk pelan dan menoleh ke adiknya. Dengan suara yang lantang, Malik meminta semua pasukannya mundur.
"Kita mendapatkan tugas penting dari Tuan Raz. Perbatasan dimasuki oleh musuh!" Malik terpaksa berbohong.
Juna panik dan meminta semuanya kembali.
"Ayo, Tuan Raz sedang membutuhkan kita."
Dalam sekejap, mereka berubah menjadi jelmaan serigala. Kawanan itu bergerak mundur dan kembali ke wilayahnya.
Rogiles mengepalkan tangan. Tatapannya tajam dan begitu marah.
"Mereka pasti mengetahui sesuatu. Perisai tempat ini masih tersegel. Artinya, tahanan kita masih berada di sekitar sini. Cari dan dapatkan mereka untukku!" ucapnya geram.
"Baik, Tuan," ucap anak buahnya serentak.
Gua yang di tempati Ryan tidak terlihat, hal itu di karenakan gua itu terbuat dari batu besar yang bagian dalamnya kosong atau melompong. Hanya ada satu pintu masuk dari selah kepingan. Itupun tak kasat mata. Jika tidak mengikuti kepingannya maka orang melihatnya hanya seonggok batu besar saja.
Ryan dan yang lainnya masih bertahan di dalam gua. Perut yang keroncongan menjadi masalah besar saat ini.
Zean menatap sang suami, sedang Fizah memilih diam menahan rasa lapar.
"Sepertinya ada yang datang," bisik Zean.
Ryan memberi isyarat agar istrinya diam.
Lagi-lagi anak buah Rogiles hanya melewati mereka.
"Jika seperti ini terus, kita akan mati kelaparan," ucap Zean tak tahan lagi.
Ryan mengusap pucuk kepalanya.
"Aku akan keluar mencari sesuatu setelah mereka pergi, bersabarlah.Tunggu sampai malam datang."
Hanya dengan cara itu Ryan merasa aman.
**
Waktu berlalu, siang berganti malam.
Malik dan pasukannya tiba di perbatasan. Di saat yang sama, Juna melihat api unggun tak jauh dari lokasi mereka.
"Apa musuh itu mereka? " tanya Juna pada Malik.
Pemuda itu menunjuk ke arah tandu yang mengibarkan bendera dari kerajaan Falena.
"Tidak, tidak ada musuh seperti yang aku katakan. Datuk telah mendapatkan penglihatan. Maka dari itu kita kembali."
"Benarkah? Apa ada berita baik?" Juna berharap ada setitik harapan di sini.
Malik mengangguk dan memegang bahu adiknya kuat.
"Rogiles dan kawanannya berada di Gunung Bayangan."
Juna tertegun, tubuhnya lemas seketika.
"Jadi benar, Zean berada di sana?" Juna merinding, seketika dia merasa ngeri.
"Entahlah, tapi sebaiknya kita segera mencapai istana. Semoga dugaan mu benar."
Mereka melanjutkan perjalanan, dari jauh, istana terlihat bersinar. Cahaya obor mengelilingi istana itu.
Malik dan Juna semakin cepat melangkah. Tak disangka kedua orangtuanya menyambut penuh haru.
"Kalian tidak apa-apa? tanya sang ibunda.
Juna menggeleng setelah melerai pelukan ibunya.
"Kami baik-baik saja, ibu. Aku dengar Rogiles berada di Gunung Bayangan, apa benar? Kami berusaha masuk tapi perisainya begitu kuat."
Wa Pasang menghela napas. Perisai itu tak dapat menolak keturunannya kecuali ada mantra yang lain yang telah memperkuat wilayah itu.
"Iya, benar. Putri Azura mendapatkan penglihatan. Pertempuran mungkin di percepat. Kita harus berjaga, karena sewaktu-waktu Rogiles bisa muncul kapan saja."
Malik dan Juna terkejut mendengar penuturan Datuknya.
"Lalu dimana Fahmi sekarang?" tanya Malik.
Dia tak sabar untuk menemui lelaki itu.
"Di menara, dia menemui putri Azura dan berharap wanita itu dapat melihat keberadaan Fizah dan yang lainnya."
Malik dan Juna segera bergegas, mereka sangat penasaran dengan keberadaan saudari mereka.
"Kalau begitu, kami akan menyusulnya, Wa."
**
Di puncak menara.
Azura duduk termenung menatap lelaki yang ada di hadapannya, Fahmi telah memohon sejak dua jam yang lalu. Tapi dia tidak menghiraukan.
"Aku ingin tahu keberadaan Hafizah, apa dia baik-baik saja atau sedang terluka."
Melihat kekhawatiran Fahmi membuat Azura luluh.
Malik dan Juna tiba-tiba masuk dan mengagetkan mereka. Pintu terbuka dengan kasar.
Brak.
Azura dan Fahmi terlonjak kaget.
"Kalian!" Fahmi memperingatkan dengan tatapannya.
Malik dan Juna segera bersimpuh.
"Maaf, kami juga ingin mengetahui keberadaan Zeana. Sebagai gantinya aku akan memberikan informasi penting untuk putri Azura."
Fahmi dan wanita itu terdiam.
"Informasi penting apa?" tanyanya.
Malik berpikir sejenak, dia sangat penasaran dengan keadaan saudarinya. Jadi, Malik berpikir tentang sesuatu yang tidak akan di tolak oleh wanita itu.
"Tentang ayahmu."
Sesuai dugaannya,
Putri Azura tersudut, dia pun menyanggupi keinginan para lelaki itu.
"Baiklah, berikan gaun itu."
Fahmi menyerahkan baju milik istrinya. Azura pun terpejam dan melihat dengan mata batinnya.
Sesaat, Azura menjadi sesak. Dia meringis dan sedih secara bersamaan.
"Ada apa?" Fahmi menerka wanita itu telah melihat sesuatu yang menyedihkan.
Sesaat hening dan mereka hanya fokus memandangi kecantikan wanita itu.
"Mereka di suatu tempat, hanya bertiga. Tidak ada pengawal atau lainnya."
Juna sangat bahagia.
"Itu artinya mereka sudah bebas. Syukurlah kalau begitu," ucap Juna lega.
"Apa benar kau melihat Fizah? Bagaimana ciri-cirinya?" Fahmi menguji penglihatan Azura.
"Dia memakai penutup mata. Dan terbaring lemah. Mereka kelaparan."
Fahmi tertekan mendengarnya.
"Apa kau bisa melihat dimana tepatnya mereka berada?" tanya Juna lagi.
Azura memaksakan diri untuk menerawang.
"Tempat itu berdindingkan batu, sepertinya tanpa pintu. Entahlah. Aku tidak bisa melihat lebih jauh."
Juna mengangguk paham.
Malik dan Fahmi kini menatapnya.
"Apa kau tahu dimana letaknya?" tanya Fahmi.
"Ya, sepertinya. Kami memiliki tempat rahasia yang tidak di ketahui oleh siapapun. Termasuk oleh Malik. Aku rasa Zean membawa mereka kesana."
Merasa puas dengan penerawangan yang dilakukan Azura. Fahmi pun melepas rantai yang membelit kaki wanita itu.
"Sebagai tanda terimakasih ku. Aku membebaskan mu. Kau boleh pulang ke kerajaanmu besok pagi dan tidur di kamar tamu."
Azura terkejut mendengar keputusan Fahmi.
"Benarkah?"
Fahmi tak bisa mengabaikan betapa besarnya bantuan Azura saat ini.
"Iya benar. Jika pertempuran itu benar adanya. Kau harus pergi sebelum istana ini di serang."
Putri Azura sangat senang. Dengan cepat dia bangkit dan mengikuti Fahmi meninggalkan menara.
"Ayahmu- Raja Falen berada di perbatasan. Sepertinya beliau datang untuk membantu kami," ucap Malik.
Azura kembali ke menara untuk melihat lebih jauh.
Malik dan Juna menatapnya bingung. Fahmi yang mengerti keadaan kedua pemuda itu. Memintanya untuk beristirahat karena perjalanan jauh yang telah di lewati.
"Kalian istrahat saja, biar aku yang menemaninya."
Juna dan Malik mengedikan bahu dan pergi secepatnya. Azura melihat api kecil dari kejauhan. Hanya melihat dari jauh dia dapat melihat ayahnya lewat penerawangannya.
"Kau sedang apa?"
Azura menoleh pada Fahmi yang baru saja menyusulnya.
"Aku melihat ayahku. Dia benar-benar ada disana."
Fahmi mengintip dari lubang yang sama.
"Letaknya sangat jauh tapi kau bisa melihat dengan jelas. Itu adalah anugrah," pujinya.
Sebaliknya, Azura menganggap itu kutukan.
"Melihat orang yang kita cintai dalam masalah atau bahaya, bisakah itu di sebut anugerah? Aku mendapatkan penglihatan sesaat sebelum ibuku di bunuh. Aku menganggap ini kutukan."
Fahmi termenung, dia tertunduk dan menunggu Azura selesai dengan apa yang dia lakukan.
"Ngomong-ngomong, aku lupa mengatakan satu hal," ucap wanita itu menghadap ke arah lubang kecil di hadapannya.
"Apa?"
Fahmi begitu penasaran.
"Kedua wanita itu sedang hamil, kalian harus segera menolongnya cepat atau lambat atau ...."
Azura menggantung ucapannya dan membuat Fahmi kesal.
"Atau apa?" Lelaki itu memegang tangan Putri Azura dengan kuat.
Secara langsung, Putri Azura dapat melihat kejadian beberapa jam dari sekarang.
"Atau kalian akan kehilangan bayinya, kondisi kedua ibunya lemah. Dan musuh mu sedang berjalan kesini. Tolong minta agar ayahku berlindung!"
Azura histeris dan segera turun dari menara. Fahmi segera mengikutinya dan mengatur rencana.