Hari-hari berlalu dengan memikirkan ucapan ibunya. Pikiran Fahmi mulai tak tenang.
'Mungkinkah, aku harus menikah dengan Fizah? Aku tidak tau bagaimana perasaan Hafizah terhadapku. Bagaimana dia akan menilai aku nanti. Bagaimana jika dia berfikir aku mengambil keuntungan dari menolongnya. Atau dia menerima semua ini karena rasa balas budi. Sesuatu hal yang di lakukan tanpa ketulusan. Meski aku monster. Aku takan jadi monster dalam sebuah ikatan. Memaksakan kehendak mengatas namakan balas budi. Hafizah wanita baik-baik. Dia pantas mendapatkan laki-laki yang baik pula," batinnya.
Fahmi mengurungkan niat untuk membawa Fizah pergi. Dan lagi, pemuda itu juga tidak tau bagaimana caranya menjelaskan semuanya.
Pov Bu Laksmi
Pertama kali bertemu Hafizah. Gadis yang di bawah Fahmi pulang ke rumah. Katanya bertemu di jalan. Entah nasib buruk apa yang telah menimpa gadis cantik itu. Kadang ku temukan dia dalam keadaan melamun. Sampai sekarang, aku tak berusaha mencari tau kesedihan nya. Aku hanya berusaha membuat gadis itu nyaman. Sampai nanti dia siap untuk bercerita.
Apa yang membuat seorang ibu bahagia? Cinta dari anak-anaknya. Kenyamanan yang rukun. Sekian lama tak pernah kedatangan Ryan. Anak dari adik suamiku dia ku rawat dari kecil. Melihat Ryan dan Fahmi tumbuh menjadi pemuda yang ramah dan bijaksana. Menjadi kebahagiaan tersendiri buatku.
Setelah kepergiannya yang mendadak. Membuatku bingung kala itu. Dan tiba-tiba,
"Bu, biarkan Ryan menenangkan diri, Bu. Ryan sayang sama ibu, Ryan pergi nggak jauh kok, Bu. Ryan akan datang sesekali menjenguk ibu," ucapnya kala itu memelukku erat.
Aku tidak tau apa yang telah menimpa Anakku sehingga ingin meninggalkan rumah.
Tapi Fahmi selalu membujukku.
"Ryan mau belajar mandiri, Bu. Ryan akan membuat gubuk di dekat tebing. Ibu nggak usah khawatir, Ryan akan disana agar tidak capek naik turun gunung. Rencananya Ryan akan bércocok tanam disana."
Jarak dari rumah ke tebing sama dengan seharian berjalan kaki.
Aku mangut saja dengan ucapan Anakku Fahmi. Tapi alangkah senangnya mendapatkan kejutan. Saat Ryan datang makan malam. Anehnya Fahmi merasa tak nyaman duduk bersama dengan saudaranya. Bahkan dapat kulihat mereka saling menentang dan Fahmi berlalu membawa Fizah.
Hati ibu mana yang tak kecewa. Ku pandangi Ryan. Alhamdulillah anaku tumbuh dengan baik. Walau tinggal sendiri.
"Makan yang banyak, ya, Nak" Aku terus melayaniny. Dia bercerita kalau tinggal di gunung membuatnya merasa tenang. Ryan merasa nyaman. Sesekali ku usap d**a ini, hatiku perih. Bagaimana jika dia sedang sakit, siapa yang mengurusnya? Tinggal sendirian dan jauh dari kami membuatku mengkhawatirkan Ryan setiap waktu.
Tak terasa air mataku luruh, Ryan yang menyadarinya berhenti makan demi mengusap air mata di wajah tua ini.
"Ibu, nggak usah khawatir, Ryan disana ada temanya, kok. Banyak malah. Ibu jaga kesehatan, ya. Ryan nggak bisa terus-menerus menjenguk ibu. Tapi, Ibu tenang saja. Kapanpun ibu rindu, Ryan akan datang."
Hatiku semakin teriris mendengarnya.
"Tapi, Ibu masih rindu, Nak. Kamu nginep, ya," Bujukku, Ryan menggeleng dengan sorot mata sayu.
"Nggak bisa, Bu. Nanti, Abang marah. Besok Ryan janji deh, bakalan tunggu Ibu di kebun," ucapnya menyentuh wajahku.
Rasanya begitu sedih, melihat keduanya tak akur seperti ini.
"Janji ya, Nak!"
"Iya, Bu."
Aku memikirkan apa yang membuat Anak-anakku tidak akur. Kemarahan jelas terlihat di wajah Fahmi jika bertemu Ryan.
Seperti saat mereka bertemu di kebun siang ini. Fahmi sangat marah mengetahui Ryan telah menunggu kami. Untuk pertama kalinya kulihat Fahmi berlaku kasar pada adiknya.
Fahmi mendorong Adiknya dan itu membuatku sedih. Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku berputar pada waktu Ryan akan meninggalkan rumah. Tapi, pada saat itu mereka juga baik-baik saja. Tidak ada yang aneh. Mereka naik turun gunung. Tertawa sampai masuk ke dalam rumah. Saat itu Fahmi terus bersamaku. Tiba-tiba Ryan datang dan langsung pamit membawa baju- bajunya.
Dan ya sekarang Fahmi mengutarakan niatnya untuk membawa Hafizah pergi dari rumah. Aku hanya berkata untuk menikahi Fizah jika dia ingin nekat melakukannya.
Aku mengatakan itu karena yakin Fahmi takkan mau melakukannya. Dari dulu dia telah ku jodoh-jodohkan. Tapi Fahmi selalu bersih keras belum mau menikah. Kalaupun dia mau. Aku akan senang bermenantu kan Hafizah. Gadis manis yang cantik. Cantik paras dan hatinya. Beruntung lah orang yang akan menjadi Ibu mertuanya
Berjalan terus sampai di rumah kulihat Fahmi tak ada di belakangku. Benar-benar aneh anakku yang satu itu.
**
Setelah mengetuk pintu, Fizah datang untuk membukanya. Bu Laksmi pun masuk, semua pekerjaan rumah telah selesai dan Bu Laksmi semakin takjub dengan Hafizah.
"Ibu udah pulang, Fahminya dimana, Bu?"
Bu Laksmi hanya diam saja. Fizah dengan cekatan membawakan air minum untuk wanita tua itu.
"Ibu pasti lelah, istrahatlah, Bu. Sayurannya serahkan pada Fizah saja."
"Baiklah, Nak."
Fizah mengambil keranjang dan menyiapkan bahan untuk masakan makan siang.
Lama merenung, Bu Laksmi pun memutuskan untuk bertanya pada gadis itu.
Fizah tampak lihai memotong sayuran. Gadis itu sangat cekatan karena terbiasa.
"Fizah, ibu boleh nggak nganggap Fizah sebagai anak sendiri?" Sedikit ragu Bu Laksmi ungkapkan maksudnya.
"Tentu, Bu. Fizah sangat senang jika Ibu berkenan, Fizah tak punya siapa-siapa lagi, tak memiliki kerabat yang peduli." Fizah merasa terharu karena Bu laksmi menyayanginya.
"Fizah kalau Ibu mau melamar Fizah untuk anak ibu. Apa Fizah mau?" tanya Bu Laksmi lagi.
Kali ini, Fizah benar-benar tidak menyangka.
"Ibu punya dua anak bujang. Fizah tinggal pilih yang mana?"
Fizah termenung, pertanyaan itu begitu cepat dan tiba-tiba.
"Sekarang ibu mau melamar kamu untuk, Fahmi. Tapi kalau kamu tak berkenan. Kamu jadi anak Ibu juga nggak apa-apa,"
Mendengar nama Fahmi di sebut, wajah Fizah berubah menjadi lebih tenang.
Fahmi adalah lelaki yang baik dan mulai dikagumi Fizah sekarang
"Ibu tidak akan memaksamu, jika kau memiliki jawaban, Nak Fizah tolong katakan pada ibu, ya."
Fizah tersenyum malu.
"Baik, Bu."
**
Fahmi kebingungan melihat sikap Hafizah. Gadis itu selalu ceria, kadang bernyanyi kadang tersipu malu. Sedikit risih melihat tingkahnya. Fahmi meninggalkannya menuju ke halaman belakang. Tempat ternyaman untuk rehat.
Menyadari ada sesuatu yang tidak beres di antara kedua putranya. Bu Laksmi tidak pernah lagi membahas Ryan. Begitupun Ryan tak pernah lagi muncul di hadapan mereka. Fahmi merasakan damai untuk sesaat.
Karena penasaran dengan tingkah Fizah belakangan ini. Fahmi berniat menanyakan hal itu pada Ibunya.
'Mungkin Ibu tau kenapa Fizah bersikap aneh belakangan ini.'
Tak lama Bu Laksmi keluar dari rumah dan bergabung dengan Fahmi
Pucuk di cinta wulan pun tiba, Fahmi tak perlu bersusah payah masuk kedalam rumah
"Bu. Ibu gak ngerasa ada yang lain dengan Fizah. Aku perhatikan dia selalu senyum-senyum sendiri?" tanya Fahmi dan berbaring di pangkuan Ibunya.
"Oh, itu. Ibu sudah mengutarakan niat untuk melamarnya. Entah untuk kamu atau Ryan,"
Fahmi tertegun, pemuda itu terbelalak saat nama Ryan di sebut
"Tapi dia diam saja, malahan hampir nangis karena lamaran Ibu."
"Terus, kenapa dia begitu bahagia, Bu?" Fahmi semakin penasaran, apalagi Ibunya telah melamar tanpa persetujuan darinya.
"Ibu bilang sebenarnya ibu pengennya kamu yang jadi calon suami untuknya. Tapi kalau keberatan. Fizah boleh jadi anak perempuan ibu saja. Setelah itu dia terlihat lebih tenang." Fahmi mengerutkan kening memikirkan ucapan Ibunya.
Ada sedikit rasa kecewa setelah mengetahui itu.
"Jangan membawanya kemana-mana, dia nyamannya sama Ibu," ucap Bu Laksmi
Fahmi menatap datar. Pemuda itu diam cukup lama, malu rasanya mengetahui bahwa dirinya telah ditolak.
"Ibu ke dalam dulu," Bu Laksmi pergi meninggalkan Fahmi sendirian.
Duduk di bale-bale membuatnya tak lagi nyaman, ada baiknya Ibunya telah melamar Fizah. Jadi, dia sudah mengerti perasaan gadis itu.
Larut dalam pikirannya, diapun memutuskan untuk keluar. Fahmi dan Fizah berpapasan di dapur. Gadis itu tersenyum tapi tidak dengan Fahmi.
'Ya Tuhan, begini kah rasanya di tolak.'
Melihat Fahmi bengong, Fizah pun menyapanya.
Gadis itu menatapnya bingung.
"Apa kau butuh sesuatu?"
Fahmi tidak menjawabnya, lelaki itu memilih pergi dari sana.