Fahmi duduk termenung di tengah hutan, dia tak dapat mengendalikan hati. Rasa kecewa dan patah sekaligus melandanya.
Perasaan suka tumbuh tanpa dia sadari.
Fahmi bahkan belum mengungkapkan rasa, tidak berani untuk jujur. Belum melangkah, dia menyerah kemudian.
Fahmi kalah sebelum berperang.
"Menyedihkan," ucapnya pada diri sendiri.
Pemuda itu memutuskan untuk menenangkan diri. Menunggu suasana hatinya tenang. Fahmi tidak mau, berubah menjadi monster. Apalagi jika sampai diketahui Fizah dan Ibunya.
Emosi yang tidak terkontrol. Hanya membuatnya dalam masalah besar.
**
Hari menjelang sore, sebentar lagi akan gelap. Fahmi tidak beranjak dari tempatnya. Samar-samar terdengar langkah kaki dan pemuda itu memilih tak peduli.
Saat sang serigala hitam muncul, Fahmi sedang duduk bersandar pada salah satu pohon. Lelaki itu bersikap acuh tak acuh, dia tahu siapa yang telah mengunjunginya.
"Yang benar saja."
Fahmi berdecih melihat jelmaan Ryan yang berjalan mengelilinginya.
Dia merasa dirinya telah di ikuti.
Perlahan serigala besar itu berubah wujud menjadi sosok manusia. Ryan sang adik berdiri tepat di hadapannya.
"Ada apa, Bang? Hari sudah gelap, mengapa tidak pulang?" Ryan mendekat, penasaran dengan tingkah Abangnya yang tidak biasa.
"Apa Peduli mu!" Fahmi menatapnya berang.
Melihat gelagat Abangnya, Ryan memilih duduk agak jauh.
"Kau kenapa, Bang? kau tau Ibu akan khawatir jika kau tidak pulang," ucap Ryan mengingatkan.
"Tinggalkan aku sendiri," pungkasnya.
Ryan tidak menyerah, dia terus di sana membuat Fahmi sangat kesal.
"Pulanglah, jangan seperti anak kecil. Kau sangat tahu ibu akan menunggumu terus di luar jika kau tidak pulang." Kali ini nada suara Ryan naik beberapa oktaf.
Fahmi sontak menoleh kearahnya.
"Aku ingin sendiri. Pergilah, jangan membuatku marah!"
Ryan diam mematung.
"Ada apa, apa kau patah hati?" tebaknya dan tertawa sinis.
Fahmi menatapnya tajam, pemuda itu sangat sensitif.
"Apa, calon kakak ipar sudah mengetahui siapa dirimu? Apa yang telah dia lakukan hingga kau se kacau ini?" Fahmi semakin meradang melihatnya.
"Semua wanita sama saja, mereka tidak akan bertahan. Cinta itu omong kosong, Bang. Sadarlah, jangan mau di jadikan b***k dari rasa yang di sebut dengan cinta,"
"Cih, lihat siapa yang berbicara. Nasehatmu itu pantas untuk dirimu sendiri," ucap Fahmi.
Amarah Ryan ikut tersulut.
"Kau akan menyesal, jika berharap lebih padanya. Tinggal kan dia. Pulangkan pada keluarganya. Kau hanya diperdaya, cinta tidak mudah tumbuh seperti rasamu itu. Belum genap sebulan, apa yang terjadi pada dirimu? Kau ingin di kendalikan oleh gadis yang tak jelas asal-usulnya itu, hah!"
Telinga Fahmi panas, sebagian dari hatinya tidak terima Fizah di nilai demikian.
Perlahan bulu-bulu halus memenuhi wajah dan lengannya. Fahmi berubah menjadi serigala dan melompat untuk menerkam Ryan.
Sleet.
Ryan berhasil menghindar dengan mudah.
Fahmi tak menyerah, serigala putih itu mengeram dengan napas yang memburu.
Ger ger germ,
Serigala putih itu terlihat mencolok di tengah gelapnya hutan rimbun.
Fahmi terlihat bijaksana dengan bulu halus walau tampang garangnya menegaskan keangkuhan.
Ryan tersenyum sinis, akhirnya Fahmi keluar dari pantangan yang dia ciptakan sendiri.
"Apa ini, Bang. Kukira kutukan itu tak mempan padamu. Kau bisa mengerikan juga ternyata," ejeknya.
Tangan Fahmi terangkat saat hendak mencakar wajah adiknya. Namun, Ryan dengan sigap berubah dan menghindar.
Ini pertarungan pertama mereka. Bukan hanya sebagai Serigala, tapi juga sebagai saudara. Fahmi terus menyerang Ryan dengan membabi buta. Amarah membuatnya di luar kendali.
Ryan selalu berhasil menghindar. Tapi, tidak mencoba untuk melawan. Pemuda itu lebih menguasai pertarungan dan pengendalian diri sebagai manusia serigala di banding Fahmi.
Seringkali berubah membuat Ryan lebih berpengalaman.
Pertarungan mereka berjalan cukup lama, Fahmi melakukan serangan tiba-tiba yang tak mampu di baca Ryan menyebabkan sang adik terluka di bagian kakinya.
Sret.
Darah segar menetes dari paha serigala hitam itu. Tatapan sang serigala terlihat kecewa membuat Fahmi semakin membenci dirinya sendiri.
Ryan tidak percaya ini.
"Ada apa denganmu? Bagaimana pun juga aku tetap saudaramu, Bang."
Fahmi tertegun dengan perasaan bersalah.
"Kau benar-benar berubah," ucap Ryan dan berlalu.
Fahmi mengaum melepaskan amarah yang tertahan sedari tadi.
"Auw ... auw ... auw ...."
Fahmi mengaum hingga suaranya terdengar serak. Pemuda itu pilu meratapi kebodohan, menyerang Ryan adalah kesalahan. Tubuh Fahmi melemah hingga berubah dengan sendirinya.
Airmatanya jatuh, sesak menyeruak membuat napasnya tersengal.
"Bodoh! Apa yang telah aku lakukan," Menjadi serigala membuat Fahmi kehilangan sebagian kewarasannya.
Itulah mengapa dia menghindari perubahan itu.
Anak buah Raz berada tak jauh darinya, mereka mengawasi Fahmi sedari tadi. Melihat Fahmi tak membutuhkan bantuan, membuat para utusan Raz hanya mengintai dari jauh.
Malam semakin pekat, Fahmi pun memutuskan untuk pulang. Berjalan gontai di tengah kegelapan tidak menghambatnya. Insting sebagai manusia serigala memudahkannya untuk keluar dari hutan. Berkah tersendiri baginya.
Jalan tertatih dengan rasa sesal di hati.
Di kejauhan.
Bu Laksmi dan Fizah telah menunggu di teras rumah. Cemas, jelas terlihat di wajah keduanya.
"Kamu dari mana, Nak? nggak biasanya kamu pergi nggak pamit dulu sama, Ibu. Pulang sampai larut malam kayak gini. Kamu nggak apa-apakan?"
Fahmi begitu lemah, dia terus memikirkan perbuatannya terhadap Ryan tadi.
"Nggak apa-apa, kok, Bu. Fahmi istrahat dulu, ya. Fahmi lelah," Fizah mendekat.
"Tuan Fahmi, Fizah buatkan minum, ya." Gadis itu menawarkan.
Fahmi menggeleng,
"Tidak, perlu." Sikap dingin Fahmi membuat Fizah dan Bu Laksmi saling tatap.
Fahmi berjalan melalui mereka dan masuk ke dalam kamar.
"Fahmi, makan dulu, kamu belum makan malam, Nak," ucap Sang ibu dari luar.
Pemuda itu terpejam dan membuang diri di atas kasur. Lelah menghadapi semuanya.
"Fahmi nggak lapar kok, Bu. Biarin Fahmi istrahat dulu," ucapnya.
Tak lama hening.
Bu Laksmi tidak bertanya lebih.
***
Pagi bersinar cerah, lelaki itu bangun dengan suara perut keroncongan minta di isi.
Fizah seperti biasa telah menyiapkan sarapan dan menggedor pintu kamar lelaki itu agar bangun untuk sarapan.
"Fahmi, waktunya sarapan. Ibu sudah menunggu di meja makan," sahutnya dari luar.
Hening
Fahmi tidak menjawab panggilan gadis itu.
"Tuan, kami tunggu di luar," ucap Fizah pada akhirnya.
Setelah beberapa menit, Fahmi keluar kamar dan berlalu tanpa pamit pada Ibunya maupun pada Fizah. Lelaki itu berusaha menghindar.
Fizah dan Bu Laksmi sama-sama bingung dengan apa yang terjadi.
Pemuda itu berjalan cukup jauh dan berpapasan dengan warga.
"Nak Fahmi, tumben sendirian. Neng cantik, kok ngga diajak?" tanya salah satu warga.
Hati yang gelisah mendengar pertanyaan itu seperti ejekan.
"Iya, Bu. Fizah ngga ikut. Dia di rumah jaga Ibu saya,"
"Kapan mau di halalkan, nak Fizahnya. Lebih cepat lebih baik. Kita nggak sabar liat kalian jadi suami istri." Lagi pertanyaan itu seakan menertawakannya.
Fahmi berusaha bersikap sopan
"Maaf ya, Bu. Saya buru-buru," ucapnya dan berlalu begitu saja.
Sepanjang jalan, Fahmi teringat saat mengendong Fizah. Bagaimana gadis itu berusaha keras agar tidak tertinggal. Fahmi teringat ekspresi Fizah saat dia mengatainya Keong.
Lelaki itu mengembuskan napas kasar.
Tiba di kebun. Fahmi melampiaskan kekecewaannya dengan berbenah, membersihkan ladang. Menanam bibit membuat pegangan untuk tanaman dan memetik sayuran yang sudah siap. Pemuda itu menyibukkan diri, sebisa mungkin.
Tapi, sekuat apapun dia. Wajah Fizah terus terbayang-bayang.
Panas terik tak membuat Fahmi terbakar. Hatinya saat ini lebih panas dari apapun.
"Kenapa aku begini? Memangnya kenapa kalau dia menolak. Itu adalah haknya dan aku tidak pantas memaksakan kehendak."
Lelaki itu melempar cangkul yang di pegangnya dan berjalan ke bawah pohon yang rindang untuk berteduh.
Dia ingin melupakan ucapan ibunya dan bersikap biasa saja.
"Harusnya aku tidak bersikap kekanak-kanakan seperti ini."
Menyadari kesalahannya, Fahmi pun bergegas pulang. Sampai di rumah, ibundanya baru saja akan bersiap ke kebun.
Melihat Fahmi pulang membawa sekeranjang sayuran membuat wanita itu kaget.
"Loh, kamu kapan berangkatnya? Kok, Ibu nggak tau?"
"Tadi, Fahmi janjian sama Ryan, Bu. Jadi sengaja berangkat duluan."
Bu Laksmi tersenyum mendengar kebohongan yang di ucapkan putranya.
"Benarkah?"
Lelaki itu mengangguk.
'Maafkan Fahmi, Bu. Fahmi udah bohong sama ibu," batinnya.
"Bu. Aku lapar," keluhnya mengalihkan pembicaraan.
"Ayo, masuk. Ibu Akan siapkan makanan yang enak untukmu," Bu Laksmi sangat bersemangat. Apalagi setelah mendengar cerita Fahmi.
Sampai di dapur, Fizah masih berbenah dan menoleh saat melihat lelaki itu duduk di kursi meja makan. Gadis itu akan bangkit untuk melayani.
"Bu, aku ingin mencoba masakan ibu."
Fizah berhenti di tempatnya saat mendengar permintaannya.
Sesak bersarang di hati keduanya.
"Iyah, Nak. Kamu ini, baru ketemu Ryan bentar. Sifat manjanya uda nular ke kamu," Bu Laksmi melempar candaan.
Fahmi hanya tersenyum masam menanggapi.
Sesekali, pemuda itu melirik Fizah yang melamun. Wajah gadis itu tak secerah sebelumnya.
"Bu, setelah ini Fahmi akan menemui Ryan di gubuknya. Mungkin akan menginap, jadi jangan tunggu aku pulang."
"Baiklah, terserah kau saja. Asal kalian bisa kembali akur."
Fizah merasa ada yang tidak beres, sikap dan pembawaan lelaki itu sangat berbeda.