Waktu berlalu dengan cepat, sudah satu minggu Fahmi terus menghindari Fizah. Lelaki itu lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Selama itu, Fahmi pun melewatkan sarapan, wangi masakan nasi goreng buatan Fizah sangat menggoda seleranya.
Apalah daya, gengsi mengalahkan segalanya. Tak ada lagi sapa saat berpapasan, Fizah pun tahu diri dan menjaga jarak, meski bingung dengan tingkah Fahmi. Gadis itu memilih menjauh.
Pagi ini, Fahmi melewatkan sarapan seperti biasa. Bu Laksmi pun mulai terbiasa dengan kebiasaan Putranya. Tak ada kecurigaan. Toh, Fahmi dan Ryan sudah baik-baik saja menurutnya.
Fizah gelisah dengan keadaan yang ada.
Gadis itu tak bisa menghadapi sikap dingin Fahmi terus menerus.
Awalnya Fizah mencari tahu pada bu Laksmi, tentang apa yang terjadi.
"Bu, Fahmi kenapa, ya?" tanya Fizah saat sarapan pagi ini.
Bu Laksmi terlihat santai. Baginya memang tidak ada masalah serius yang terjadi.
"Emang, Fahmi kenapa? Ibu lihatnya nggak kenapa-napa."
Fizah menghela napas, napsu makannya menguar begitu saja. Sudah beberapa hari ini. Gadis itu lemas dan hilang mood. Apalagi Fahmi selalu menghindar untuk makan satu meja dengannya.
"Kalau karena Fahmi nggak makan di rumah, kamu nggak usah khawatir. Dulu, Ryan dan Fahmi sangat mandiri, mereka bisa memasak kebutuhan mereka di kebun. Jadi Jarang pulang, Zah."
Fizah tetap tidak tenang, mendengar cerita bu Laksmi
"Apa Mas Fahmi marah sama aku, Bu?" tanyanya.
Gadis itu memberanikan diri.
Bu Laksmi menghentikan suapannya demi mendengar cerita Fizah.
"Kamu bicara apa, Zah. Fahmi tidak mungkin marah sama kamu, memangnya kamu salah apa?"
Fizah menggeleng pasrah, raut wajahnya terlihat murung. Fizah memutuskan untuk membicarakan semuanya pada pemuda itu. Dia tidak bisa terus-terusan berdiam diri tanpa tahu apa penyebab Fahmi mendiamkannya.
Tetiba Fizah teringat dengan lamaran yang di ucapkan Bu Laksmi.
'Apa lamaran itu bukan kehendak Mas Fahmi, jangan-jangan. Mas Fahmi tidak setuju di jodohkan denganku,' tebaknya.
Hati Fizah semakin tak karuan, pikirannya mulai tak tenang.
Mereka masih di meja makan, Bu Laksmi menikmati makanannya sedang gadis itu gelisah dengan pikirannya sendiri.
"Bu, boleh nggak kalau Fizah ingin menyusul Mas Fahmi ke kebun. Fizah bosan di rumah terus." Fizah sangat berhati-hati menyampaikan maksudnya.
"Jangan, Zah. Ibu tidak ingin kamu terluka seperti sebelumnya. Kita tunggu Fahmi di rumah saja, ya."
Fizah nyaris putus asa, dia ingin meluruskan semuanya. Bicara saat Fahmi kembali adalah hal yang sangat mustahil
"Bu, hanya sebentar. Fizah ingin menikmati udara segar disana," bujuknya.
Wajah Fizah memelas berharap mendapatkan izin dari wanita itu.
Ibunda Fahmi terpaksa menyetujui keinginan Fizah.
"Baiklah, tapi Ibu harus ikut."
Gadis itu melotot. Bagaimana mungkin baginya bicara dengan Fahmi saat Bu Laksmi ikut serta.
"Jangan, Bu." Ucap Fizah spontan.
Wanita du hadapannya menatap lucu.
"Ibu di rumah saja, F-fizah hanya mengantarkan minuman."
Bu Laksmi tidak ingin melepaskan Fizah berjalan sendirian. Tapi, gadis itu terus bersih keras.
"Aku bisa jalan sendiri, Bu. Lagi pula, Fizah sudah hapal jalannya."
"Baiklah, jika itu mau mu. Tapi ingat, kamu harus berhati-hati."
Fizah tersenyum dan segera membuat bekal untuk di bawah.
"Baik, Bu."
Hanya ini kesempatan baik yang bisa dia pergunakan. Fizah tak ingin jadi benalu apalagi jadi beban bagi Fahmi yang telah menolongnya.
"Fizah berangkat, Bu," ucapnya dan mencium tangan Bu Laksmi.
"Hati-hati, jangan sampai tersesat." Bu Laksmi terus menatap Fizah hingga sosok gadis itu menghilang dari pandangan.
Fizah menyusuri jalan dengan sangat hati-hati, kenangan bersama Fahmi terlintas di benaknya saat melalui tempat itu.
"Bodoh, apa yang terjadi padaku. Kenapa aku sedih, hanya karena ini." Dia terus meracau.
Fizah menahan sesak dan menghapus airmatanya. Gadis itu sangat bahagia dengan lamaran yang di tujukan untuknya.
"Aku tidak boleh cengeng, siapa aku? Pertemuan dengan Mas Fahmi baru menghitung hari dan aku sudah berharap lebih."
Kekagumannya terhadap Fahmi hadir begitu saja. Fizah berhenti sejenak, lelaki yang di carinya berada tepat di atas gunung. Pekerjaan Fahmi sangat terlihat jelas dari bawah. Tak ada lagi rumput yang hijau, semuanya telah di tanami dan di rawat dengan baik.
Hafizah kembali melangkah.
Akhirnya gadis itu tiba di bawah pohon jati. Tepat di kebun milik Fahmi. Fizah menatap lelaki itu dari kejauhan, orang yang di carinya sibuk berkebun sampai tidak menyadari kehadirannya.
Fizah tertegun, gadis itu deg-degan.
"Aku harus bisa menyelesaikan masalah ini, jika Mas Fahmi tidak mau menerima perjodohan ini. Akan lebih baik, jika kami melupakannya saja."
Tekad Fizah sudah bulat.
"Mas! Mas Fahmi, istrahat dulu," teriaknya dan melambaikan tangan.
Fahmi menatapnya, lelaki itu kaget melihatnya.
"Mas! Fizah bawa minum," teriaknya lagi.
Fahmi tidak bisa mengabaikannya, lelaki itu menatap ke sekeliling, memeriksa jangan sampai ada yang memergokinya.
"Apa yang dia lakukan disini?" ucapnya dan meninggalkan pekerjaannya.
Pemuda itu melangkah mendekati Fizah. Gadis itu berusaha terlihat baik-baik saja dan bersikap sangat ramah.
Tubuh Fahmi penuh dengan keringat, matahari begitu terik membuat cuaca sangat panas. Dia tampak lesu akibat perut yang sudah keroncongan.
Pemuda itu duduk di atas batu besar dan meraih teko untuk menuang minuman ke dalam gelas dan meneguk isinya hingga tandas.
Glek glek glek.
Angin berhembus, dedaunan kering pohon jati berjatuhan.
Fizah menggigit bibir bagian dalamnya, entah kemana perginya keberanian yang terkumpul tadi. Fizah diam seribu bahasa menatap Fahmi yang kelelahan membajak kebun.
"Kenapa kemari?" tanya Fahmi dingin.
Lagi, pemuda itu membuang pandangan membuat sesak di hati Fizah semakin menjadi.
Fizah tertunduk menahan bulir bening yang siap untuk keluar.
Sedang lelaki di hadapannya, merasa sangat heran melihat kedatangan Fizah yang sendirian.
"Aku ingin bicara, Mas. Empat mata, makanya aku datang," ucap Fizah.
Mereka saling pandang, Fahmi menatapnya lekat. Fizah memulai obrolan.
"Mas, aku tau kau bangun lebih pagi hanya untuk Menghindari aku. Waktu makan mu sampai terlambat karena menunggu aku selesai. Aku meminta maaf, jika aku punya salah."
Fahmi tak bersuara.
"Mas, kau tau betapa senangnya aku saat ibu bilang ingin melamarku, untukmu?" Sesaat hening.
Fahmi tertegun menatap Fizah, ucapan gadis itu membuatnya tak bisa berkata-kata.
"Aku terlalu senang sampai lupa bahwa mungkin hanya aku yang bahagia, sedang kau tidak." Airmata Fizah mulai luruh. Tapi, segera di usapnya agar tidak tampak menyedihkan.
Sementara Fahmi masih mematung.
"Aku terlalu percaya diri. Menganggap kau punya rasa yang sama. Aku minta maaf, Mas. Dengan menolongku aku sudah sangat bersyukur. Kau tak perlu terbebani untuk menikahi ku. Aku akan bicara pada ibu untuk membatalkan semuanya."
Hati Fizah hancur, gadis itupun tidak menyangka akan jatuh cinta dengan cepat.
"Ibu bilang, aku bisa memilih untuk menjadi saudaramu. Berjanjilah untuk tidak menghindari aku lagi, Mas."
Fizah merasa tak memiliki harga diri, pemuda yang di ajaknya bicara hanya diam sedari tadi tanpa mengeluarkan satu kata pun.
Tidak mendapatkan jawaban membuat Fizah memunggungi lelaki itu. Air matanya terus jatuh tak tertahankan.
"Aku tidak ingin kau terus menghindar, tidak pulang ke rumah hanya karena masalah ini. Kau harusnya membicarakannya padaku."