Fahmi terjaga sepanjang malam, dia terus memandang wajah Fizah yang terlelap di sampingnya. Kedua tangan wanita itu terikat rapi, sungguh pemandangan yang menyayat hati. Fahmi terlelap saat matahari mulai terbit.
Istana tengah sibuk dari pagi tadi, Ryan memberi perintah untuk mengumpulkan semua orang. Pemuda itu meminta haknya untuk duduk di atas singgasana.
Wa Pasang dan seluruh keluarganya bersiap, begitupun dengan Raz juga Bu Laksmi.
“Ada apa, ya? Tumben pagi-pagi kita di minta untuk berkumpul,” tanya ibunda Zean.
Juna dan Malik mengedikan bahu. Jika Wa Pasang saja tidak tahu bagaimana mereka.
Raz bergabung saat wa Pasang membuka pintu, saat mereka masuk. Ryan dan Zeana sudah berada di dalam. Bu Laksmi tampak tenang dan berdiri di samping besannya.
“Terimakasih sudah memenuhi panggilanku,” ucap Ryan.
“Ada apa? Kenapa meminta kami datang sepagi ini.”
Zeana tertunduk di samping suaminya, semalam saat Ryan kembali dan membicarakan maksud dan tujuannya. Wanita itu seketika terdiam.
“Begini, maafkan aku jika aku telah lancang. Kalian berkata aku adalah Raja, benar?”
Raz dan Wa Pasang mengangguk. Sedang yang lainnya mendengarkan.
“Benar, lalu?”
Ryan berjalan ke singgasana dan duduk di kursi tempat dimana sang pemimpin berkuasa. Wa Pasang dan kedua putranya tercengan melihat apa yang baru saja dilakukan oleh Ryan.
“Kau! Jangan keterlaluan.” Wa Pasang sangat malu di hadapan Raz sekarang.
“Kenapa? Bukan kah aku adalah Raja sekarang? Aku belum di nobatkan sampai hari ini.”
“Lancang! Kau …,”
Raz menghentikan Wa Pasang.
“Mengapa kau marah, apa yang di katakan Raja memang benar. Saatnya aku menyerahkan apa yang menjadi haknya.”
Bu Laksmi terkesiap melihat sikap putranya.
“Tuan, bukan seperti ini seharusnya.” Wa Pasang ragu dengan menantunya sendiri.
Ryan menatap kedua orang itu.
“Aku tidak gila tahta, jika itu dalam pikiran kalian. Hanya saja, aku tidak mengerti bagaimana bisa aku dan istriku menjadi Raja dan ratu kalian, sementara tak pernah ada penobatan disini.”
Zean semakin tertunduk. Raz berjalan mendekat dan menanggalkan mahkotanya. Mahkota itu akan dia letakkan di kepala Ryan.
“Cukup.” Langkah Raz berhenti sebelum benar-benar tiba di samping Ryan.
Raz dan yang lainnya menatap bingung.
“Aku tak bisa duduk terus menerus di sini, aku hanya butuh kuasa dan mahkota itu tetap pada pemiliknya.”
Bu Laksmi mendekat, melihat wajah tegang semua orang, wanita tua itu menjadi gugup. Takut Tuan Raz akan marah dan mencelakai putranya yang begitu kurang ajar.
“Ryan, Nak. Apa yang kau lakukan? Sebaiknya hentikan.”
Wanita tua itu merasa sungkan di hadapan semua orang. Ryan bangkit dan menenangkan ibunya.
“Seperti yang aku bilang, aku ingin kuasa. Aku ingin kalian menghormati setiap keputusan atau perintahku walau mahkota itu tidak berada di atas kepalaku. Menjadi Raja mengharuskan aku tetap duduk disini sedang jiwaku harus berperang di luar sana.”
Raz kini paham maksud pemuda itu.
“Baiklah, katakan apa perintah pertamamu?”
Senyum Ryan tersirat, istrinya mendongak tak percaya.
“Aku akan mengerahkan beberapa prajurit untuk memeriksa sesuatu. Dan beberapa orang untuk menjaga perbatasan. Beberapa lagi tinggal di tebing memantau desa kami.”
Raz menoleh pada Wa Pasang.
“Hanya itu?”
Ryan menghadap pada Tuan Raz dengan gagahnya.
“Beberapa diantaranya akan ikut bersamaku.”
Zean dan semua orang dalam ruang itu menatap dengan tanda tanya besar.
“Kau mau kemana?” tanya Zean cemas.
“Aku akan memeriksa sesuatu, Malik akan ikut bersamaku. Aku harap kalian tidak akan menghentikan aku.”
Wa Pasang tidak bisa membaca rencana yang tengah dilakukan sang menantu.
“Baiklah, aku tidak akan menghentikan mu.”
Zean menggeleng.
“Kau tidak boleh pergi jika aku tidak ikut bersamamu!” ucapnya tegas.
Raz dan Wa Pasang juga yang lainnya tidak mengizinkan jika Zeana meninggalkan istana.
“Zean, tunggulah di sini. Aku pergi tidak lama.”
“Tidak, aku tidak mau.”
Melihat kedekatan keduanya membuat Raz sangat senang.
“Raja benar, seorang Ratu tidak boleh berkeliaran di luar istana. Dan jika keduanya meninggalkan istana, maka siapa yang akan memimpin?”
Zean tidak berani menentang ucapan Tuan Raz, orang yang sangat di hormati oleh kedua orangtuanya juga klan mereka.
“Ratu akan tetap di istana memimpin bersamaku.”
Ryan merasa lega setelah Raz setuju. Kedua mertuanya pun tidak keberatan. Percakapan pun berakhir dan Ryan bersiap untuk petualangannya.
**
“Kita aan kemana?” tanya Malik pada Ryan saat mereka keluar dari ruangan.
“Mencari Raksana. Aku berpikir dia berada dalam kawasan kita.”
Malik terkejut mendengar alasan Ryan meminta keluar karena ingin mencari Raksana.
“Lalu, apa yang ingin kau lakukan jika menemukannya di kawasan kita?”
Tatapan Ryan berubah serius. Air mukanya menjadi tegang.
“Maka pertarungan akan terjadi, aku tidak suka dia berada dalam kawasan tanah yang di lindungi Magadang dari dulu.”
“Bagaimana jika dia tidak melakukan apa-apa? Tidak mencoba mencari masalah. Kenapa kau harus mengusiknya?” ucapan Malik membuat kening Ryan berkerut.
“Apa kau tahu dimana dia?”
Malik tersentak dan menggeleng pelan.
“Jangan jadi penghianat terhadap klan mu sendiri, dia telah membuat kekacauan di negeri kita. Rogiles menyerang desa karena hal ini.”
Malik menghela napas di depan Ryan, hal itu membuat Ryan merasa curiga.
“Tunggu lah di sini, aku akan menemui Bang Fahmi untuk berpamitan.”
Malik mengangguk pasrah. Ryan menuju ke kamar Abangnya, mengetuk pintu beberapa kali tapi Fahmi tidak kunjung membuka pintu. Beberapa detik berdiri dengan sabar, Ryan pun memutuskan untuk masuk.
Wajah pemuda itu shock dengan netra membulat sempurna. Fizah sedang berusaha menggigit tali pengikat di tangannya sedang Fahmi masih tertidur pulas. Ryan segera mendekat dan mencari sesuatu untuk mengamankan Fizah.
Menutup mulutnya dengan kain adalah jalan satu-satunya.
“Bang, bangun!”
Fahmi menggeliat di bawa selimut. Fizah meronta dan berusaha membebaskan diri.
“Maaf Fizah, tapi jika kamu bebas, kau akan mencelakai Bang Fahmi lagi.” Ikatan tangan Fizah semakin di eratkan.
“Bang, aku jalan dulu.” Fahmi perlahan membuka mata mendengar ucapan Ryan.
“Jalan,” gumamnya.
“Ya, aku telah mengirim orang untuk menjaga desa dan juga menjaga perbatasan. Semua sesuai pintamu. Dan sekarang aku akan keluar bersama Malik.”
“Kemana?” Fahmi menyibak selimut dan duduk menatap Fizah yang di bekap.
“Maaf soal dia. Aku melihatnya menggigiti talinya tadi. Aku dan Malik akan memeriksa sesuatu dan akan kembali secepatnya.”
Entah apa yang akan di lakukan Ryan dan Fahmi mengizinkannya.
“Baiklah, berhati-hatilah.”
Ryan mengangguk dan pergi dari sana. Malik dan seorang lelaki menunggunya di luar. Perjalanan mereka akan segera di mulai.
“Dia siapa?” tanya Ryan.
Orang yang bersama Malik tak pernah di lihatnya sebelumnya.
“Dia adalah salah satu pengawal istana, dia akan bertugas menyediakan keperluan kita selama perjalanan.”
“Tapi, aku tidak memintamu untuk menambah orang. Minta dia kembali,” tolaknya dengan tegas.
Ryan berjalan menuju ke kamarnya.
“Zeana tidak ingin bertemu, dia kecewa karena kau berencana pergi tanpa membahas dengannya terlebih dahulu.”
Langkah Ryan pun terhenti tepat di depan pintu.
“Benarkah?” Kecewa itulah yang dia rasakan.
“Ya, dia hanya memintaku menjagamu dan membawa pengawal suruhannya.”
Ryan menatap lelaki yang ada di samping Malik sekali lagi.
“Baiklah, dia boleh ikut.”