Fahmi menunggu kesempatan untuk bertemu dengan Raz, dia akan meminta kesempatan agar adiknya di izinkan untuk keluar. Fahmi tak dapat tenang membayangkan ibunya berada di tebing menunggunya sendirian.
“Tuan, mengapa anda di sini bukannya tadi ingin istrahat?” tanya Krayn saat melewatinya.
“Aku tidak dapat beristirahat, aku ingin bertemu dengan tuan mu."
Krayn terkejut mendengar itu.
“Ada apa, Tuan? Jika saya bisa bantu, saya akan menyampaikan pesan Tuan kepada Tuan Raz.”
Fahmi memikirkan usul lelaki itu. Tidak ada salahnya mencoba, dia tak memiliki banyak waktu dan segala kemungkinan yang bisa dilakukan akan ditempuhnya.
Tanpa sepengetahuan mereka, Zean muncul dan mendengar pembicaraan keduanya.
“Aku ingin meminta izin dan pengawalan keluar dari istana, ibuku kini berada di lereng gunung. Hal ini penting dan mendesak.”
Krayn mengangguk dengan hormat.
“Baik, Tuan. Akan segera saya sampaikan. Lelaki itu langsung pergi melaksanakan tugasnya.
Hati Zeana meradang melihat itu, apalagi ekspresi Fahmi terlihat sangat lega setelah mengutarakan maksudnya. Rasa sesal timbul karena dia pernah merasa takjub dan mempercayainya selama di dalam perjalanan tadi.
“Oh, jadi kau berniat pergi?”
Fahmi terkejut, lelaki itu merasa jengah berhadapan dengan Zean. Fahmi menoleh ke belakang. Sejenak pandangan mereka bertemu, dan lelaki itu tidak menjelaskan apapun.
“Wow, kau sungguh hebat, lihat apa yang harus dilakukan Datuk untuk menyembuhkan adikmu dan kau dengan santainya menutup mata dan berniat pergi, kau pikir aku sangat ingin menikah denganmu!”
Ryan yang mendengar pembicaraan mereka lantas keluar menghampiri. Dia tak mau Zean semakin salah paham.
“Ada apa ini?”
Fahmi menoleh, dia tetap tenang dan memberi isyarat pada Ryan agar tetap diam.
“Abangmu meminta pengawalan dan izin untuk keluar dari istana, hal itu membuatku jijik. Kalian benar-benar tidak dapat dipercaya!"
Amarah Ryan tersulut.
“Hey, itu bukan untuknya tapi untukku. Ibu kami sedang menunggu, kami telah pergi selama satu minggu lebih kau pikir bagaimana perasaannya?” Ryan tidak tahan mendengar abangnya dihina.
“Kenapa kau jelaskan, biarkan saja dia dengan pandangan maha benarnya.”
Zeana merasa terpojok.
“Yang dia katakan pada Krayn tidak seperti itu,” ucap Zean berkeras.
Ryan ingin menyahut tapi Fahmi lagi-lagi menahannya.
“Dengar Zean, aku memang berjanji akan menikah denganmu.Tapi, bukan berarti aku dan Ryan tidak bisa pulang mengunjungi desa kami. Memangnya apa pantangannya? Pernikahan ini hanya menginginkan calon pemimpin yang baru setelahku, bukan?”
Wajah Zean bersemu merah, saat tatapan Fahmi tajam dan hanya tertuju kepadanya.
“L-lihatnya biasa aja! Nggak usah segitunya."
Fahmi berdecak, dia tahu berhadapan dengan Zean hanya membuang waktu dan energi saja. Lelaki itu memilih pergi demi mengakhiri perdebatan.
"Hey, aku belum selesai!"
Ryan menatap wanita itu, wanita yang mampu mengalihkan hatinya dari Nina.
“Selamat ya, tak di sangka sebentar lagi kau akan menjadi kakak iparku.”
Zean menatap kedua bola mata itu, tatapan Ryan, membuatnya tak tahan. Zean memilih membuang pandangan.
“Ada apa? Bukannya kau sangat takut jika bang Fahmi tidak menikahi mu. Kau sangat inginkan hal itu."
“Kau tidak akan mengerti, dan aku tidak mau membahasnya."
Ryan tak percaya hatinya bisa jatuh pada Zean. Mengetahui wanita itu akan menikah dengan Fahmi. Patah hati terbesarnya karena harus selalu melihatnya tersenyum tapi tidak dengannya.
"Aku akan menemanimu, kau akan keluar kan?”
Ryan mendongak, beberapa bulan yang lalu di saat pelariannya. Dia dan Zean sudah begitu akrab.
"Hey, kau melamun?"
Ryan kembali dalam kesadarannya. Lelaki itu menggeleng.
“Kau bercanda, bagaimana bisa calon ratu pimpinan klan kita ingin menemani calon adik iparnya.”
Wajah Zean berubah datar, persahabatannya dengan Ryan kini terasa hambar.
"Yan, kau tahu semua ini tak terduga. Aku pun tidak menyangka jika orang dalam ramalan itu ternyata saudaramu!"
Ryan tersenyum bodoh.
“Istrahatlah, Zee. Tolong jangan usik bang Fahmi saat dia cemas seperti sekarang, percayalah dia tidak akan menginkari janjinya.”
Ryan pergi meninggalkannya, wanita itu mematung dengan airmata membendung di kelopak mata.
Dia merasakan sesak atas apa yang baru saja dilakukan Ryan kepadanya.
**
Krayn berhasil mendapatkan izin dari Raz, berita baik itu langsung di sampaikan ke telinga Fahmi.
“Tuanku, Tuan Raz telah memberi perintah. Ryan akan kembali ke Desa didampingi oleh saya dan beberapa orang lainnya.”
Senyum sumringah terbit di wajah Fahmi.
“Syukurlah, baiklah bisakah kalian pergi sekarang. Krayn tolong siapkan orang mu dan tunggu di luar.”
“Baik, Tuan. Akan segera saya laksanakan.”
Ryan yang mendengarnya lalu menatap Fahmi.
“Bang. Aku tidak yakin.”
Fahmi memeluknya. Dia memeluk begitu erat seolah ini kebersamaan terakhir mereka.
“Pergilah, cari alasan yang bisa membuat ibu percaya. Terserah kau mau mengatakan apa.”
“Bagaimana dengan, Fizah?”
Hati Fahmi terenyuh saat nama kekasihnya di sebut. Sesak menggumpal dalam hati dan kerongkongannya.
“Jangan, tolong jangan katakan apapun tentang keadaan di sini, jangan membiarkan dia memikirkan jika aku menghianatinya.”
Ryan mengangguk lemah.
“Baiklah aku pergi, Bang.”
Fahmi menyeka airmatanya.
“Jika bisa, jangan kembali lagi kesini. Titip ibu dan Fizah.”
Netra Ryan memanas, dia tidak rela jika melepas Fahmi sendirian.
“Kau satu-satunya harapanku untuk menjaga keluarga kita, Yan. Jika abang tidak kembali, nikahi Fizah.”
“Kau gila! Aku tidak akan mengabulkan permintaan terakhirmu.” Ryan melenggang pergi dengan hati yang terluka, situasi ini membuat mereka benar-benar tidak berdaya.
Fahmi merasa tertekan, dia merasa tak memiliki hak atas dirinya sendiri.
Di luar ....
Zean tertegun melihat raut wajah Ryan yang terlihat tegang, lelaki itu melenggang tanpa menyapanya.
“Apa kau akan berangkat sekarang?” ucapnya meraih tangan kiri Ryan.
Langkah lelaki itu terhenti dan menatap setiap inci wajah cantik yang dikaguminya dalam diam.
“Kau mungkin tidak pernah merasakannya, Zean. Terpisah dengan orang yang kau cintai terasa sangat menyakitkan,” ucapnya dan melepas tangan wanita itu.
Zean terpaku di tempatnya.
“Kau bisa naik di atas ku,” Krayn membungkuk menawarkan diri.
“Tidak, aku bukan Tuan mu.”
Ryan bergegas, dan berubah di udara setelah melompat bebas meninggalkan istana. Dia merasa terluka karena membawa Fahmi dalam situasi sulit.
Kebahagiaan saudaranya terenggut karena ketidaktahuannya.
“Aachh!”
Zean bergidik mendengar jeritan Ryan yang tertahan.
Malik dan Juna tertunduk sedih mendengarnya.
“Mau kemana dia?” tanya Malik.
Zean menatap hingga sosok serigala hitam legam itu menghilang dari pandangan.
“Dia pulang, andai tidak ada larangan dari Tuan Raz untuk menyusulnya, aku pasti telah pergi dari tadi, aku hanya mengkhwatir kan keadaanya.”
Zean terpukul, suasana hatinya berubah mendung mendengar ucapan Ryan.
'Tahu apa dia. Dia tidak tahu apapun tentang diriku.'
**
Tidak butuh waktu lama bagi Ryan menuruni gunung dan tiba di tebing, langkahnya tertahan dan memandang gubuknya dari atas. Dia melihat Fizah dan ibunya sibuk di halaman kecil miliknya.
“Ryan.”
Bulu hitam itu menguar dan kembali berubah menjadi manusia.
“Kalian tunggu saja di sini, jangan memperlihatkan diri pada ibuku dalam wujud serigala.”
Krayn dan anak buahnya mengangguk.
“Kami akan berjaga, walaupun kau tidak akan kembali.”
Ryan menoleh menatap Krayn dengan beringas.
“Aku akan kembali, aku tidak akan membiarkan saudaraku berjuang sendirian," ucapnya lantang.
Krayn sadar dia salah bicara. Serigala itu pun memilih tertunduk.
Ryan bergegas turun, dia sangat berhati-hati dalam melangkah. Ibunya sangat senang saat pertama kali melihatnya.
“Ryan, kau kah itu, Nak?”
Ryan tersenyum dan berlari kecil memeluk wanita tua itu.
“Iya, Bu, apa yang ibu lakukan di sini?”
“Ibu rindu, kalian nggak pulang-pulang jadi ibu dan Fizah nekat untuk datang. Oh ya, dimana Fahmi kenapa tidak bersamamu?”
Fizah tersenyum, dia berdiri cukup jauh seolah sedang menjaga jarak dengan lelaki itu. Sosok Ryan dalam bentuk serigala pernah dilihatnya dan itu membuat Fizah trauma.
“Jawab, mana abangmu? Ibu dan Hafizah sudah dua hari di sini.”
Hati Bu Laksmi dan Fizah semakin uring-uringan. Masalahnya, dia tak menemukan sosok Fahmi di belakang lelaki itu.
“Abang, abang ikut dengan seseorang, Bu. Sampai sekarang belum pulang. Ryan sudah mencarinya kemana-mana tapi sampai sekarang belum bertemu juga."
Alasan Ryan sangat tidak masuk di akal.
"Apa maksudmu? Seseorang itu siapa. Kalian berada di hutan belantara bagaimana bisa Fahmi pergi bersama seseorang dan kau tidak menahannya?"
Ryan tertunduk merasa sangat bersalah.
“Pernikahan kami akan berlangsung besok, semuanya sudah siap. Apa maksudmu dia tidak dapat kau temukan?" Fizah pun ikut bersuara.
Gadis itu gemetar dan menatap dengan pandangan nanar ke arah Ryan.
“Kenyataannya memang seperti ini, aku masih berusaha mencarinya, Zah."
Bu Laksmi termenung, tangannya sedikit gemetar memikirkan nasib putranya yang menghilang tanpa jejak.
“Orang seperti apa yang mengajaknya pergi? Apa kau mengenalnya? Dia tidak boleh membawa Fahmi pergi.”
Ryan mulai kewalahan.
“Bu, tenanglah.”
“Tidak, kau harus menemukan saudaramu, Yan. Kita harus kembali ke desa dan meminta bantuan pada para penduduk. Atau ibu, ibu sendiri yang akan mencari anak ibu!"
Bu Laksmi histeris, Krayn dan anak buahnya ikut sedih menyaksikan itu. Ryan memeluk ibunya dan berusaha untuk menenangkannya.
"Ryan janji akan membawanya pulang, Bu. Untuk sementara, sebaiknya pernikahan mereka di undur dulu."
Fizah mendongak dengan airmata berlinang. Gadis itu mendekat, rasa takutnya menghilang entah kemana.
"Apa dia pergi karena tidak ingin menikah denganku?"
Ryan terkesiap mendengarnya, lelaki itu spontan menggeleng.
"Jika dia menghilang karena enggan menikah denganku, aku menerima pembatalan pernikahan ini. Tolong Ryan, pergi dan bawa dia kembali."
Bu Laksmi jatuh pinsan mendengar ucapan Fizah.