Chapter 25 Rencana untuk pergi

1826 Kata
Berangsur-angsur kesehatan Ryan telah sembuh sepenuhnya, kekuatan mustika itu tidak diragukan. Ryan sudah dapat berdiri dan berjalan seperti orang normal. Fahmi teelihat pucat dan duduk di tepi ranjang adiknya, dia ingin sekali keluar dari gunung itu dan kembali menemui ibunya. “Bang.” Ryan mendekat, bersamaan dengan itu, anak buah Raz tiba, dan akan mengawal mereka secara khusus. “Hari ini kita akan meninggalkan gunung ini,” ucap Wa Pasang memegangi dadanya. Malik, Juna juga Zean terkejut mendengar itu. “Bukannya di luar sangat berbahaya?” Zean dan ibunya mengingatkan. “Sangat, sangat berbahaya makanya Raz mengirimkan anak buahnya untuk mengawal kita. Fahmi mendongak, pikiran gila terbesit di sana. “Kapan kita berangkat?” tanya Ryan. “Krayn yang akan memutuskan.” Krayn adalah ketua pimpinan pengawal yang akan membawa mereka pergi. Lelaki itu menatap Fahmi dan tertunduk hormat. “Sore ini, berjalan terang-terangan di siang hari membuat kita dalam masalah. Itu karena mereka bisa melihat kita dari jauh.” Dalam diam, Fahmi tidak sabar untuk memulai perjalanan. “Kita akan langsung ke istana. Nyawa Tuanku Fahmi dan Nona Zean menjadi prioritas utama.” Fahmi menoleh ke Ryan. "Aku baik-baik saja, Bang. Jangan khawatir." “Baiklah, berarti empat jam lagi. Ryan sebaiknya kau istrahat dulu agar stamina mu cukup melakukan perjalanan.” Ryan menurut dan pergi berbaring di ranjangnya. Zean dan Wa Pasang saling menatap. “Malik dan Juna akan menjaga ibumu, kau harus sampai di istana dengan selamat, Zean.” Wa Pasang memeluk putrinya, berbeda dengan Ryan dan Fahmi. Kecemasan yang luar biasa justru dirasakan oleh keluarga Zean. ** Di desa saat ini. Bu Laksmi bersiap menyusul kedua putranya ke lereng gunung. Wanita tua itu tak bisa berdiam diri lebih lama lagi. Persiapan pernikahan hampir selesai sepenuhnya. Dan calon mempelai lelaki tak muncul juga. Hafizah mengingat betul pesan kekasihnya sebelum meninggalkan rumah. Dia memilih percaya dan menunggu dengan sabar. “Bu, ibu mau kemana?” Hafizah mengejar langkah Bu Laksmi saat akan membuka pintu. “Ibu harus ke tebing sekarang, tidak ada waktu lagi.” “Bu, jangan. Mas Fahmi udah janji sama Fizah bakal pulang tepat waktu.” “Tapi firasat ibu nggak enak, Ibu harus kesana.” Fizah membayangkan jalanan terjal, yang akan dilalui wanita tua itu, jika terjadi sesuatu pada Bu Laksmi tentu itu akan menjadi tanggung jawabnya. “Baiklah kalau begitu Fizah akan ikut sama ibu.” Bu Laksmi menggeleng. “Tidak, Nak. Calon pengantin tidak boleh pergi terlalu jauh dari rumah." “Jika Fizah di rumah sendirian, Fizah akan khawatir sama ibu. Walau tetangga kita banyak, Fizah nggak nyaman, Bu.” Bu Laksmi tampak berpikir keras. “Baiklah kalau begitu.” Fizah tersenyum dan segera membawa bekal untuk perjalanan. Kali ini dia membuat persiapan dan memakai sepatu yang nyaman. Fizah sedikit gugup, karena tebing itu memiliki ceritanya sendiri. “Ayo, Bu. Fizah udah siap.” Mereka pun berangkat, Fizah sedikit terengah saat menanjaki gunung yang ada di hadapannya. Dia merasa salut melihat langkah Bu Laksmi yang tak sedikit pun kendor walau usianya sudah tak muda lagi. Gunung itu cukup tinggi, Fizah dapat melihat semua desa dari tempatnya berdiri. Beberapa jam berjalan, mereka pun tiba di kebun, tidak ada tanda-tanda Fahmi atau Ryan pernah kesana. “Ini aneh, jika mereka pergi bersama biasanya kebun kita bersih.” Fizah menoleh, keringat membanjiri keningnya. Cuaca begitu panas dan dia sudah tidak tahan. “Bu, kita istrahat dulu. Fizah lelah.” Bu Laksmi menatap ke arah tebing. Dua jam lagi perjalanan dan mereka bisa segera sampai. “Baiklah, kita istrahat dulu." Batin keduanya berkecamuk, jika Ryan dan Fahmi tidak berada di kebun lalu mereka kemana? ** Kembali ke Gunung Bayangan. Krayn sudah bersiap. Mereka kini berada di perbatasan. Fahmi dan Ryan berdiri berdampingan. “Kita harus berangkat sekarang,” ucap Krayn memberi komando. Malik bergegas dan berubah menjadi Serigala, dia akan membawa ibunya di punggungnya. Grmm, perubahan wujud yang dilakukannya membuat anak buah Krayn mundur beberapa langkah. Malik tampak bersahaja dengan otot yang besar bersembunyi di balik bulu-bulu halus itu. “Wa, biarkan Zean membawa Uwa.” Zeana memohon pada Wa Pasang. Kesehatan lelaki itu semakin memburuk. “Jangan khawatirkan uwa, jaga saja ibu dan saudara-saudaramu. Salah satu anak buah Krayn akan menjadi tunggangan uwa.” Krayn menatap salah satu rekannya, dengan cepat satu jelmaan serigala membungkuk di hadapan Zean. Wa Pasang naik di atas tunggangannya dengan susah payah. Dia tak ingin putrinya merasa cemas dan berusaha terlihat baik-baik saja. Ryan dan Fahmi saling menatap. “Naiklah di punggungku. Kau masih lemah,” ucap Fahmi. Ryan tidak setuju, baru saja dia akan menolak tapi Krayn dan anak buahnya berlutut di hadapannya. “Tuan, kami tidak akan membiarkan Tuanku melakukan itu. Biar anak buahku yang menghandle semuanya termasuk menjadi tunggangan Tuanku.” Zeana menatap mereka. “Tidak ada waktu sebentar lagi akan gelap,” ucapan wanita itu membuat Fahmi segera naik ke punggung serigala jelmaan Krayn. “Ryan jangan coba berjalan sendirian,” ucap Fahmi tegas. Ryan pun naik ke atas punggung serigala lainnya. Di ikuti dengan Zean. Dia tidak diizinkan berjalan sendiri. “Baiklah, mari kita berangkat.” “Auwww.” Lolongan panjang Krayn mengisyaratkan pergerakan. Mereka pun meninggalkan Gunung Bayangan. Langkah serentak ynag dilakukan terlihat indah dengan ketukan kaki-kaki kekar menghantam tanah. Fahmi berbisik di telinga serigala tunggangannya. “Aku ingin kau menjaga semua orang dengan tetap berada di belakang barisan. Aku tidak mau seseorang celaka lagi karenaku.” Krayn yang mendengar itu sontak saja melangkah pelan, dia berada di belakang dengan pengawalan para serigala lainnya. Ryan dan Zean menoleh bersamaan saat posisi Fahmi mendadak mundur dan berada dibelakang mereka. “Fokuslah, Aku dan Krayn akan menjaga dari belakang.” Zean menatapnya takjub. “Baik.” “Hati-hati, Bang,” ucap Ryan. Fahmi mengangguk, mereka melewati gunung pertama saat memasuki tengah malam. Beberapa serigala mulai kewalahan. Dan Wa Pasang terlihat lemah. Serigala yang di tumpangi lelaki tua itu tiba-tiba melambat. "Berhenti," titah Fahmi. Perlahan semuanya berhenti dan Fahmi turun untuk menolong Wa Pasang. "Ada apa, Wa? Apa kita istrahat dulu?" Malik dan Juna menatap khawatir. "T-tidak, jangan lakukan itu. Raksana bisa muncul kapan saja dan melukai mereka. Dampak teringan yang kita terima jika kondisinya seperti Ryan, kalau tidak mereka hanya tinggal nama." Fahmi tersentak mendengarnya. Semua itu adalah resiko yang besar. "Kalian pergi lah lebih dulu, nanti aku akan menyusul." Zean lantas turun dari tunggangannya. Wanita itu siap untuk berkorban. "Pergilah kalian, aku akan menyusul bersama Uwa." Tatapan Zean telak menyentuh hati Fahmi. "Apa yang kau bicarakan, Zee. Pergi, kau harus menjaga ibu dan saudara-saudaramu," bisik Wa Pasang lemah. Ibunda Zean menatap mereka. "Ada apa?" teriaknya. Zean menoleh dengan netra berkaca-kaca. Kedua saudaranya jelas mendengar pembicaraan mereka, pendengaran mereka lebih tajam dari manusia biasa. "Tidak ada apa-apa," ucap Zean gemetar. Fahmi tidak bisa meninggalkan lelaki tua itu sendirian, sisi kemanusiaannya tak bisa mengabaikan begitu saja. "Krayn mendekat," ucap Fahmi dan memapah Wa Pasang untuk satu tunggangan dengannya. "Apa yang kau lakukan?" "Aku tidak akan meninggalkanmu, kau telah menyelamatkan nyawa adikku. Maka aku akan melindungi seluruh keluargamu." Fahmi memegang tubuh Wa Pasang erat. Krayn melolong panjang. Auuww. Zean menatap Datuknya. "Apa yang kau tunggu Zean? Kita harus tiba lebih cepat untuk mengobati, Uwa," ucap Ryan. Zeana pun segera menaiki tunggangannya. Tatapannya tidak lepas pada Fahmi. "Ayo jalan!" ucap Fahmi lantang. Perjalanan pun berlanjut. Wa Pasang memegang lengan Fahmi. "Terimakasih karena tidak meninggalkan aku." Fahmi tersenyum dan mengeratkan pegangannya. Mereka kini melewati gunung kedua. Saat jarak mulai mendekati istana Raz. Fahmi dan Ryan menoleh ke tebing yang cukup jauh dari tempat mereka, keduanya terkejut saat melihat api yang bersinar dari gubuk milik Ryan. Obor yang sengaja di simpan di luar gubuk menyala. Dan sinarnya terlihat seperti titik. Keduanya saling menatap, sadar jika ibunya telah sampai di tempat itu. “Tuan, istana sudah ada di depan sana. Apa Tuan ingin istrahat dulu?” tanya Krayn. Fahmi tidak memiliki banyak waktu. Dan kondisi Wa Pasang menjadi prioritasnya. “Jangan, kita tidak bisa membiarkan mereka dalam bahaya. Tetap lanjutkan perjalanan aku tak mau ada korban lagi.” “Baik, Tuan.” Zean terus mencuri pandang ke arah belakang, dia mengawasi Fahmi dan juga Datuknya. Matahari terbit. Fahmi dan Ryan sejenak terpesona melihat sang surya muncul dari balik gunung. Krayn dan anak buahnya begitu kelelahan. Langkah mereka perlahan melambat saat tiba di istana. Raz berdiri dan menyambut mereka. "Selamat datang." Wajahnya yang ceria mendadak tegang saat melihat sahabatnya direngkuh oleh Fahmi. "Ada apa ini?" Zean segera melompat dan membantu Fahmi turun dari tunggangan. Semua orang berdiri di depan sang penguasa. "Kondisinya sangat lemah," ucap Fahmi. Raz tak tanggung-tanggung langsung memapahnya. “Bagaimana bisa, bukannya Ryan yang sedang terluka?" “Datuk menyerahkan mustikanya pada Ryan demi menyelamatkan nyawanya,” ucap Zean lugas. Raz menoleh ke Ryan. Wajah lelaki itu terlihat bugar. Sahabatnya baru saja berkorban. "Aku akan mengobatimu," ucap Raz. Salah satu pengawal menggantikan Fahmi memapah Wa Pasang masuk ke dalam. Krayn berubah wujud menjadi manusia. “Antar mereka ke kamarnya masing-masing,” ucap Raz sebelum berlalu bersama Wa Pasang. “Baik, Tuan.” Kini hanya tinggal mereka, Malik dan Juna tampak terpesona melihat kemegahan istana milik Raz. "Aku tidak percaya jika istana ini benar-benar ada," ucap Malik. Juna mengangguk-angguk dan menggandeng ibunya. "Terimakasih," ucap Zean canggung. Fahmi hanya menatapnya sekilas. "Tidak masalah." Krayn mengantar mereka sesuai perintah, Zean mendapatkan kamarnya sendiri, sedang ibu dan kedua saudaranya berada di kamar yang terpisah. Fahmi berusaha pergi dari sana, penjagaan begitu ketat membuatnya susah bergerak. “Tuan, mari saya antar ke kamar," ucap Krayn pada Fahmi. Lelaki itu tersentak dari pikirannya. “A-aku ingin satu kamar dengan Ryan, jangan pisahkan kamar kami,” titahnya. "Baik, Tuan." Krayn mengangguk dan membawanya ke sebuah ruangan yang terlihat megah. Ryan sama gelisahnya dengan dirinya. Jarak kamar mereka hampir berdempetan kecuali milik Fahmi dan Zean. “Aku sangat lelah, ku harap aku bisa langsung istrahat,” ucapnya lagi. “Tentu, Tuan. Pelayan akan membawakan makanan ke kamar anda.” Fahmi merasa lega mendengarnya. Mereka pun memasuki istana dan langsung terpisah dengan keluarga Zean. “Silahkan masuk, Tuan. Kalau butuh apa-apa silahkan panggil saya.” Fahmi mengangguk dan tersenyum. Dia lalu memegang lengan Ryan, dan menuntun adiknya masuk. "Kau lihat api yang ada di gubuk?" ucap mereka bersamaan. Ryan dan Fahmi meremas rambut mereka sendiri. "Ibu pasti di sana, Yan. Aku sangat yakin." Fahmi mondar-mandir tak menentu. "Lalu bagaimana? Kau jelas tak bisa meninggalkan istana, Krayn sangat disiplin. Dia pasti melakukan penjagaan ketat." Fahmi sangat frustasi mendengar penjelasan Ryan. "Besok hari pernikahanmu dengan Fizah, dan tujuh hari lagi pernikahanmu dengan Zean. Sungguh kau laki-laki yang paling beruntung." Fahmi menatapnya nyalang. "Kau tahu aku hanya mencintai Fizah, kau membawaku dalam ketidak berdayaan." "Mana kutahu kalau kau seorang calon raja, Bang. Raz tidak mengatakan apa-apa padaku. Jika kita tidak menemui ibu, kau tahu bagaimana cemasnya beliau. Jangan sampai dia dan Fizah berpikir kita mati di terkam serigala." Fahmi semakin gelisah. "Apapun yang terjadi, kau harus keluar hari ini, Yan. Ajak Krayn bersamamu." Ryan terbelalak mendengarnya. "Apapun alasan yang kau sampaikan pada Ibu itulah kenyataan yang akan mereka terimah." "Apa?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN