Para serigala licik yang melukai Ryan memasuki gua, mereka datang untuk melaporkan apa yang telah mereka temukan pada sang pemimpin.
"Tuan, maaf mengganggu tidurmu."
Raksana sedang nyaman di atas singgah sana sederhana miliknya.
"Sebaiknya kau membawa kabar baik atau kau akan menyesal karena mengganggu tidur nyenyak ku."
"Tentu, Tuan. Kami baru saja kembali dari berburu. Kami menemukan sesuatu yang ganjal jadi segera kembali."
Raksana penasaran mendengar penuturan anak buahnya, di dalam gua yang begitu gelap dia telah mengasingkan diri selama bertahun-tahun. Tidak ada semangat baginya melanjutkan hidup tapi, Rogiles selalu menjaganya dan tidak membiarkan dia mengakhiri hidup. Hidup Raksana sangat berharga untuk merebut kepemimpinan.
"Katakan!"
“Tuan, kami baru saja bertemu dengan sang pemilik darah suci, putra Magadang.”
Raksana tidak tertarik mendengar itu.
“Dia berada tak jauh dari Gunung Bayangan, kami juga bertemu dengan sosok manusia jelmaan dengan bulu hitam legam. Sangat mengkilat seolah dia memilik gen dari Tuanku. Dan sepertinya dia berteman dengan putra Magadang."
"Kau bilang dia memiliki bulu yang sama sepertiku?"
"Benar, Tuan. Sayangnya, salah satu dari kami melukainya."
Raksana bangkit dan berjalan mendekati anak buahnya.
“Apa maksud kalian?”
Serigala-serigala itu mundur, takut akan tatapan Raksana yang begitu tajam.
“Kami curiga dia adalah tuan muda yang hilang beberapa tahun yang lalu.”
Minat Raksana akan cerita itu semakin besar, dia telah kehilangan putranya saat masa pelarian. Raksana juga menikahi seorang manusia, karena istrinya yang tidak mengetahui asal usulnya. Mereka hidup damai di kaki gunung. Namun, saat anak mereka lahir. Istrinya meninggal karena shock. Anak yang di lahir kan nya menjadi serigala kecil dan berubah menjadi manusia dua jam setelah di lahir kan.
Raksana mendekat dan mencekik serigala itu.
Hewan buas itu mengejang hampir kehabisan napas.
“Tuan, sadarlah. Dia tidak bersalah.”
Serigala lainnya memperingatkan Raksana.
“Kau bilang kau mencelakainya? Dimana dia, bagaimana rupanya?”
Raksana melempar serigala itu, terdengar suara pekik yang tertahan menahan sakit. Serigala mengeluh.
“Salah satu dari anak buah kita mencakar nya, anak lelaki itu terluka dan kami tidak tahu bagaimana nasibnya.”
Wajah Raksana menegang, emosinya siap untuk meledak.
“Dasar tidak berguna, apa kau tidak menyuruh anak buah mu untuk mengawasinya?”
“A-ada, Tuan. Tapi dia belum juga kembali.”
Jantung Raksana berdebar, dia berharap orang yang di maksud anak buahnya benar-benar putranya yang telah hilang.
“Kau pergi dan temukan dia. Aku ingin bertemu dengannya.”
“B-baik Tuan.”
Anak buah Raksana langsung menyebar melaksanakan tugas. Rogiles yang mendengar percakapan mereka dari tadi keluar dari tempat persembunyiannya.
“Ternyata kau belum berubah juga.”
Raksana terkejut dan menoleh menghadap pimpinannya itu.
“Ingat, sebentar lagi purnama dan kau harusnya menyiapkan diri untuk merebut tahta. Jangan biarkan putra Magadang duduk di singgah sana.”
Raksana tak bisa membohongi hati kecilnya, ancaman Raz saat terakhir kali bertemu masih tergiang di telinga.
“Aku tidak peduli dengan tahta, yang aku pikirkan sekarang hanya anakku yang telah kau hilangkan beberapa tahun yang lalu.”
Rogiles mencekik lehernya, sama seperti yang dilakukan Raksana pada anak buahnya. Rogiles benci jika Raksana membangkang.
“Kau mungkin lupa kenapa kau bisa aman dan tinggal bersamaku. Kau harus menduduki tahta agar kita bisa menguasai tempat ini. Apa kau lupa bagaimana manisnya daging manusia? Apa kau ingin hidup dalam pelarian terus, tinggal dalam gua yang lembab seperti orang menyedihkan!”
Napas Raksana tersenggal.
“Ini peringatan untukmu. Bersiaplah kita akan melakukan p*********n demi merebut tahta dari tangan Raz. Berhenti melakukan hal yang percuma."
Rogiles melepaskannya saat detik-detik terakhir.
Raksana jatuh tersungkur, dia kesakitan tapi Rogiles tidak memperdulikannya. Belenggu kekuasaan yang menjeratnya tak bisa di tepis begitu saja. Rogiles begitu kuat untuk di tentang seorang diri.
**
Di Tebing saat ini.
Bu Laksmi baru saja tertidur, wanita tua itu jatuh terlelap setelah kelelahan menangisi keadaan, Ryan terus berada di sampingnya sedang Fizah duduk di luar menatap langit yang hitam. Tidak ada bintang malam ini, semuanya terlihat hampa sama seperti hubungannya. Ryan diam-diam memperhatikan Hafizah. Wajah itu sayu dan begitu sedih menunggu Fahmi kembali.
“Aku akan keluar mencari sesuatu untuk di makan,” ucap Ryan menyadarkan Fizah dari lamunan.
Ryan ingin menemui Krayn dan memintanya membawa Fahmi keluar walau hanya sebentar saja.
“Tidak perlu, aku tidak lapar, untukmu dan ibu masih ada lauk yang di masak tadi siang.”
Langkah Ryan berhenti dan duduk di samping gadis itu.
“Apa yang kau pikirkan?”
Fizah menatap dengan tatapan sendu, dia menggeleng. Berusaha tegar menerima semuanya.
“Jangan berpikir yang tidak-tidak, dia pasti akan pulang walau itu mungkin butuh waktu yang lama.”
Fizah menatap ke tebing, lempengan batu besar itu mengingatkannya pada sang kekasih.
“Dia pernah menghindar dariku, hal ini bukan hal yang baru. Jadi, tenang saja. Aku harusnya tidak tinggal dan menjadi beban untuk kalian.”
Ryan menghela napas, dia lalu bersandar di dinding.
“Jangan pernah katakan itu, Zah, Bang Fahmi sangat mencintaimu, dia bahkan tidak ragu menemui Juragan biadab itu untukmu.”
Airmata Fizah jatuh berlinang. Hatinya tidak meragukan Fahmi sama sekali.
“Besok aku akan ke bawah dan menjelaskannya pada warga jika pernikahan kalian akan di undur untuk sementara waktu.”
“Ryan, apa kau benar-benar tidak tahu dimana keberadaanya?” Tatapan Fizah dalam dan kuat.
Sesaat hening, Fizah menunggu jawaban. Ryan sedikit gugup, lelakk itu goyah dan hampir mengatakan semuanya.
“A-aku ….”
Pembicaraan mereka terhenti saat Bu Laksmi mengigau memanggil nama putranya.
“Fahmi pulanglah, Nak. Dimana kau?”
“Fahmi ….”
Fizah dan Ryan saling menatap, melihat kondisi ibunya, mereka pun memutuskan tidak melanjutkan percakapan. Fizah masuk ke gubuk dan berbaring di samping wanita tua itu.
Apa yang terjadi membuat Ryan merasa sangat bersalah. Anak buah Raz masih setia menjaganya. Ryan melihat mereka di antara semak-semak.
**
Malam telah sangat larut saat Krayn tiba di istana. Serigala itu langsung menghadap ke Fahmi untuk menyampaikan berita. Ryan memintanya kembali melaporkan bahwa semuanya baik-baik saja.
“Tuan, saya sudah kembali.”
Fahmi tak dapat tidur, dia sedang duduk sendirian di taman. Mendengar suara Krayn, dia langsung menoleh dengan wajah berbinar.
“Krayn, bagaimana disana? Apa ibu baik-baik saja?"
Krayn mengangguk dan menyampaikan semuanya. Wajah Fahmi terkejut saat mengetahui Fizah juga berada di tempat itu.
“Ibu Tuanku sempat pinsan tadi, beruntung Ryan cepat menangkapnya. Anak buah saya masih berjaga di sana, jika ada apa-apa mereka akan langsung melapor, Tuan.”
Fahmi mengangguk.
“Terimakasih, Krayn. Aku sangat menghargai ini.”
Krayn menunduk dengan hormat, dia lalu undur diri agar Fahmi bisa beristirahat.
“Tuan, kalau begitu saya pamit. Tuan istrahatlah malam semakin larut.”
Fahmi menurut dan berjalan memasuki istana, dia merasa tak tenang. Fizah berada di lereng sungguh hal yang sangat luar biasa, Fahmi sadar perjuangan itu di tempuh Fizah dengan susah payah.
“Maafkan aku yang mengecewakanmu, Fizah. Sungguh bersanding denganmu adalah impianku.”