Penguntit

1209 Kata
Hari semakin gelap, Xue Mingyan telah menghabiskan seluruh uangnya. Sedikit menyesal tapi apa boleh buat, sudah terjadi ya sudahlah. Xue Mingyan sedikit kewalahan membawa banyak belanjaannya. Tanpa sengaja dia menginjak pakaiannya sendiri yang membuat dirinya tersandung ke depan. Tetapi seseorang menahannya dan membantu dirinya berdiri kembali. Xue Mingyan sangat penasaran siapa orang yang telah membantu dirinya ini. Dia memiringkan wajahnya untuk melihat orang yang telah membantu dirinya. Alangkah terkejut dirinya ketika mengetahui orang yang telah membantunya tadi. "Kaliann!" "Kami bersedia menjadi pelayanmu nona," ucap Lala dan Lusi bersamaan sambil menunduk hormat di depan Xue Mingyan. Xue Mingyan menatap tak percaya, "Tunggu sebentar! bukannya aku tadi sudah bilang, aku tidak akan memperkerjakan kalian berdua!?" "Kami melakukannya dengan senang hati," balas Lusi. Xue Mingyan menggelengkan kepalanya menolak ucapannya Lusi, "Tidak tidak tidak, aku tidak memiliki uang lagi untuk menggaji kalian. Aku tidak ingin menyimpan jasa pada orang lain!" bantahnya bersikeras. Lala dan Lusi saling menatap, kemudian mereka menatap Xue Mingyan dan tersenyum kepadanya. "Dengan memberi makan dan tempat tinggal untuk kami, itu sudah lebih dari cukup. Da ... dan kami juga bisa bela diri," ujar Lusi sedikit ragu. Xue Mingyan terdiam, memang untuk saat ini dia sangat butuh pelayan untuknya. Apalagi jika yang diucapkan Lusi benar bahwa mereka bisa bela diri, itu sangat menguntungkan dirinya. "Baiklah baiklah, terserah kalian saja," balas Xue Mingyan pasrah. Dia mengajak Lala dan Lusi pergi ke Pavilliunnya, karena hari sudah mulai gelap. Lala dan Lusi terkejut ketika Xue Mingyan membawanya ke kediaman Perdana Mentri. Mereka tidak menyangka bahwa tuannya ini adalah anak dari sang Perdana Mentri. "Kalian tidak perlu terkejut, aku adalah anak dari Perdana Mentri," jelas Xue Mingyan saat melihat Lala dan Lusi yang terkejut. Mereka terus saja berjalan ke arah timur dan sampailah di paviliun Awan milik Xue Mingyan. Lala dan Lusi dibuat terkejut kembali karena melihat Pavilliun milik tuannya itu sangat menyedihkan. Di Pavilliun itu ada seorang wanita yang tak lain adalah kepala pelayan yang sedang menunggu Xue Mingyan. Saat melihat Xue Mingyan datang, wanita itu menghampirinya dengan wajah kesal. "Darimana saja kau!? Aku sudah menunggumu lama. Jika bukan karena perintah tuan aku tidak ingin kemari!" hardiknya. 'Wanita tua ini! berani sekali membentakku! huuh jika bukan karena tanganku yang penuh dengan barang seperti ini, mungkin aku sudah menghilangkan nada suaramu yang membentakku barusan!' batin Xue Mingyan kesal. "Memangnya ada apa?" tanya Xue Mingyan mencoba untuk membuat dirinya tidak emosi. "Besok adalah hari penting bagi Perdana Mentri, karena besok tamu terhormat kita akan mengunjungi tempat ini. Kau! jangan mempermalukan kediaman Perdana Mentri!" ancamnya sinis sambil berkacak pinggang. Xue Mingyan tersenyum sinis mendengarnya, bukankah seharusnya dia itu ikut menyambut kedatangan tamu penting itu, tetapi malah bersembunyi. Benar benar miris sekali. Xue Mingyan mengangguk mengerti lalu mengatakan sesuatu. "Baiklah, aku tidak akan pergi kemana mana besok, sudah cukup aku membebani ayahku dengan kehadiranku," balas Xue Mingyan sedih. "Tahu diri juga, ya sudah aku tidak akan berlama lama di sini. Tapi siapa di belakangmu?" "Mereka teman temanku, aku ingin mengajaknya tinggal bersamaku," balas Xue Mingyan. Kepala Pelayan itu tertawa mendengarnya, karena menurutnya itu sangatlah lucu. "Kumpulan orang orang bodoh!" hinanya dan langsung pergi keluar Pavilliun. Lusi yang mendengarnya tersulut emosi, dia melangkah maju tetapi langsung saja Xue Mingyan menahannya agar tidak terjadi kerusuhan. "No ... nona ..." tanya Lusi bingung karena tuannya malah menahannya. Xue Mingyan menggelengkan kepalanya menolak permintaan Lusi. Lusi menurut, dia mengurungkan niatnya untuk memberi pelajaran kepada Kepala Pelayan tadi. "Nona, kenapa kau melarangku?" tanya Lusi penasaran. "Benar, nona tidak perlu khawatir. Perintahkan kami untuk membalas perbuatannya yang tidak sopan itu," pinta Lala mendukung Lusi. Xue Mingyan terdiam, kemudian dia tersenyum. Dia berjalan menghampiri Lala dan Lusi, lalu memegang bahunya masing masing. "Jika begitu, aku perintahkan kalian untuk ..... makan, kalian pasti lapar bukan? sekarang kita makan terlebih dahulu," perintah Xue Mingyan menghiraukan pertanyaannya Lusi. Lala dan Lusi membatu mendengar ucapannya Xue Mingyan, mereka kira tuannya akan memerintahkan sesuatu yang menantang nyali. "No ... nona, apa maksudmu?" tanya Lusi bingung. "Kalau ingin membalaskan dendam bukankah harus dalam stamina yang kuat? jangan terlalu terburu buru, kita nikmati saja permainannya. Karena terburu buru itu tidak baik," balas Xue Mingyan sambil mengedipkan sebelah matanya. "Sekarang, kita makan terlebih dahulu, ayo!" ajak Xue Mingyan. *** "Ibu, kepalaku masih terasa sakit," keluh Shu Hang pada selir Niang mengingat dirinya yang telah dijambak oleh Xue Mingyan di danau. "Tahan sayangku, ingatlah besok Jendral Yuan akan datang kemari. Kau harus menarik perhatiannya!" balas Selir Niang. Shu Hang menjadi semangat mendengarnya, seketika rasa sakitnya langsung hilang. "Tapi ibu, aku khawatir Xue Mingyan akan mengacaukan segalanya," tukas Shu Hang sedih. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu, dia tidak akan berani keluar dari Pavilliunnya tanpa perintahku. Aku sudah menyuruhnya untuk tetap diam di Pavilliun seharian besok. Sekarang, fokuslah untuk menarik hati Jendral Yuan," panjang Selir Niang. "Tapi, jika dia menanyakan Xue Mingyan bagaimana ibu?" tanya Shu Hang khawatir. Selir Niang tersenyum sinis mendengar anaknya yang begitu khawatir pada jalang seperti Xue Mingyan. "Kau tidak perlu khawatir anakku, ada ibumu di sini. Lagipula siapa sih yang peduli pada jalang itu?hm," tanya Selir Niang yang diakhiri dengan tertawa puas. Shu Hang ikut menertawakan Xue Mingyan. Dia begitu menjadi sangat percaya diri saat ini. *** "Hang er bisakah kau menemani Jendral Yun jalan jalan di kediaman kita?" tanya Perdana Mentri pada Shu Hang. "Dengan senang hati ayah," balas Shu Hang dengan malu malu. Shu Hang mempersilahkan Jendral Yun untuk berjalan berdampingan dengan dirinya. Sepanjang perjalanan, Shu Hang terus saja menceritakan dirinya pada Jendral Yun. Jendral Yun malas menanggapinya, dari awal dia tidak suka pada Shu Hang yang terlalu membangga banggakan dirinya. Menerimanya untuk menemaninya jalan jalanpun karena menghargai ayahnya, Perdana Mentri. Bukan ada maksud lain ataupun semacamnya. Saat sampai di taman, Shu Hang mempersilahkan Jendral Yun duduk untuk beristirahat sebentar. Jendral Yun memasang wajah datar, dia sama sekali membenci situasi ini. Ingin rasanya dia pergi meninggalkannya begitu saja. Tiba tiba Jendral Yun mendengar sesuatu yang sangat familiar dengannya. 'Apa mungkin seseorang tengah melatih pedangnya di sekitar sini?' tanya Jendral Yun di dalam hatinya. Langsung saja dia berdiri dan mengikuti arah suara tersebut. "Jendral Yun, kau akan pergi kemana?" tanya Shu Hang penasaran. "Tunggulah sebentar, jangan mengikutiku," balasnya tanpa menatapnya. Shu Hang tersenyum senang, dia berpikir apakah hati Jendral Yun telah berhasil ia curi? dan mungkin Jendral Yun pergi karena ingin memberinya hadiah? Baru membayangkan hal itu saja membuat dirinya senang, akhirnya dia menunggunya dengan sabar. Jendral Yun berjalan mengikuti suara tersebut. Suaranya semakin terdengar saat dia berjalan mendekati Pavilliun Awan. Sampailah dia di pintu masuk Pavilliun Awan, dirinya bertanya tanya siapakah yang tengah berlatih pedang saat ini. Jendral Yun perlahan membuka pintu itu dan melihat seorang gadis tengah berlatih ilmu pedang bersama kedua pelayannya mungkin. "Menarik."  Jendral Yun tersenyum melihatnya, dia menatap ke sekelilingnya berniat mencari posisi yang pas untuk melihatnya. Ketika melihat sebuah pohon tinggi, langsung saja dia meloncat dan bersembunyi di atas pohon. Dia menyaksikannya sampai akhir, ketika kedua pelayannya pergi, tanpa pikir panjang Jendral Yun mendekati gadis tersebut. Jendral Yun sedikit terkejut ketika gadis itu mengetahui keberadaannya dan langsung menodong dirinya dengan pedang kayu miliknya. Jendral Yun tersenyum, belum pernah dia menemukan seorang wanita yang seperti ini. "Hati hati nona, kau bisa melukaiku dengan pedangmu ini." "Melukai seorang penguntit sepertinya tidak akan menjadi masalah besar," balasnya dengan masih menodongkan pedang kayunya pada Jendral Yun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN