Setelah pulang sebentar untuk ganti baju dan mengambil moge kesayangan, Yonas bergegas segera kembali ke rumah sakit. Namun Yonas ingat bahwa semalam saat membawa Kal El ke UGD, ia tak membawa apapun selain pakaian yang melekat di tubuh. Termasuk handphone sekalipun.
Kal El yang harus rawat inap pasti kebosanan tak ada hiburan. Makanya Yonas berinisiatif ke kost Kal El terlebih dahulu untuk mengambil handphone dan juga beberapa kebutuhan lain.
Selesai dengan urusan kost, Yonas kembali tancap gas. Sayang, lagi-lagi niatnya untuk pergi ke rumah sakit harus tertunda lagi. Motornya kembali terhenti. Tepatnya di depan sebuah lounge super ramai bernama LUA.
Meskipun LUAlounge sudah tersohor, namun Yonas belum pernah mampir ke tempat ini. Mengingat ia bukan tipe anak muda hits yang merasa wajib mencicipi satu per satu tempat yang sedang digandrungi.
Yonas berhenti di sini, karena ia teringat dengan gadis kecil yang ia sebut sebagai bidadari. Kata Kal El ia adalah anak sulung dari pemilik LUAlounge. Saat pertama melihatnya, jantung Yonas berdebar tak karuan. Melihat senyumnya, terasa menyenangkan. Membuat hati tentram.
Yonas bahkan tak sadar kapan dirinya menuntun moge ini menuju ke parkiran. Tiba-tiba sudah ada seorang tukang parkir yang menyerahkan nomor padanya. Yona menerima nomor itu dengan pasrah. Ia masih ragu hendak melangkahkan kaki ke dalam lounge. Ia hanya diam menatap gambar bulan dan juga papan reklame bertuliskan LUAlounge yang menjadi ikon dari tempat ini.
“Monggo, Mas, silakan!” ramah si Tukang Parkir. Ia kasihan melihat Yonas yang terlihat bingung.
Yonas masih ragu untuk melangkah. Namun ucapan si Tukang Parkir mensugesti dirinya untuk berani. Perlahan namun pasti langkah Yonas mengayun. Hingga ia benar-benar berdiri di antara banyaknya pengunjung lain.
Pandangan Yonas menyapu seluruh isi LUAlounge, hingga ia menemukan Namira yang berdiri di depan counter, sambil membawa nampan. Gadis itu terlihat cantik bahkan hanya dengan mengenakan kaos kedodoran dan celana legging. Apron berwarna hitam khas LUAlounge membuatnya terlihat keren.
“Monggo, Mas!” Seorang laki-laki berambut kriting dan berkacamata mempersilakan Yonas untuk duduk di salah satu kursi kosong.
“Pesen apa, Mas?” tanya laki-laki lain yang bertubuh lebih kecil. Garis wajah lelaki itu terlihat mirip dengan Namira.
“Mas Monas!” Namira tiba-tiba datang. Gadis itu terlihat antusias sekali. Bahkan dua gelas milkshake di nampannya nyaris jatuh. “Bentar, ya, bentar!” Namira melanjutkan kewajibannya mengantarkan pesanan.
“Monas?” ulang si Kriting dan si Lelaki Mungil. Entah hilang ke mana keramah-tamahan mereka tadi. Mereka menyilangkan tangan di d**a, menatap Yonas dengan tatapan menghakimi.
“Mas Monas!” seru Namira lagi saat ia sudah selesai mengantar pesanan. Ia duduk di kursi kosong yang berhadapan dengan kursi Yonas.
“Y-Yonas, Nam!” Yonas sampai tergagap. Ia senang karena Namira tidak melupakannya. Namun ia gugup karena si Kriting dan si Lelaki Mungil terlihat semakin mengerikan.
“Oh, iya, Nami lupa lagi!” Namira memukul kepalanya sendiri. “Mas Yonas kenalin, ini Oom-Oom aku. Yang kriting Koko, yang mungil imut-imut kayak aku, Oyang!”
Benar dugaan Yonas. Pantas saja garis wajah si Oyang mirip dengan garis wajah Namira. Yonas menyapa mereka dengan takut-takut. Sapaannya berbalas dengkusan benci dari dua lelaki itu.
“Yang berdiri di balik counter itu ayahnya Nami. Ganteng, kan?” Namira menunjuk Yas yang sibuk membuat kopi. “Kalo yang di kasir, itu Bunda-nya Nami. Cantik, kan?” Namira gantian menunjuk meja kasir. “Kalo anak kecil yang pakek apron warna pink itu adeknya Nami, Mas.” Namira berakhir menunjuk Eren yang sibuk dengan buku PR-nya.
“Nami sebenernya masih punya satu Oom lagi, tapi … nggak usah disebutin, deh. Toh orangnya lagi tepar di dalem.” Namira cengengesan.
“Nami nggak boleh durhaka sama Oyo!” omel Ustadz Chico.
“Iya, Ko, iya!” jawab Namira sekenanya.
“Kamu nggak pernah akrab sama Oyo, tapi gampang banget akrab sama Mas-Mas nggak jelas!” timpal Elang.
“Oyang, tuh, gimana, sih? Dibilangin ini namanya Mas Monas, eh, Yonas. Bukan Mas-Mas nggak jelas!”
Elang mendengkus frustasi. Ia ingin mengomel pada Namira. Namun sadar, bagaimana gadis itu menjawab dan mementahkan perkataan-perkataannya, itu adalah hasil dari ajarannya sendiri di masa lalu.
Ingin rasanya Chico dan Elang tetap berada di sana, mengawasi sang Keponakan yang sedang asyik berduaan dengan Mas-Mas nggak jelas. Namun pelanggan berdatangan. Mereka harus melayani mereka bersama dengan pelayan lain. Apalagi Theo sedang sakit, jadi mereka kekurangan tenaga mala mini. Dengan terpaksa merekapun pergi. Namun mata mereka tetap mengawasi Namira dari jauh.
“Ngomong-ngomong, Kang Cilok ke mana, sih, Mas? Kok hari ini nggak jualan?” Namira kembali membuak pembicaraan. Menyampaikan sebuah tanda tanya besar yang membuat hatinya galau sepanjang sore.
“Kang Cilok?” Yonas mengingat-ingat. “Oh, si Kal El?” Ia hampir lupa dengan panggilan Namira pada Kal El itu.
“Iya, Kal El!”
“Dia s- ….” Yonas menghentikan kata-katanya. Ingat bahwa Kal El tidak akan suka jika ia mengatakan perihal penyakit itu pada sembarang orang. “Dia s-sibuk. Mungkin beberapa hari lagi baru jualan.”
“Yah ….” Namira terlihat kecewa dengan jawab Yonas. Tidak bertemu sehari saja rasanya ia sudah rindu setengah mati. Bagaimana mau menunggu beberapa hari? “Tapi nggak apa-apa, deh. Biarin Kang Cilok selesaiin urusannya dulu. Dan Nami lega. Nami pikir Kang Cilok nggak jualan karena lagi sakit.”
Yonas menggigit bibir bawahnya. Ia sudah merasakan keakraban antara gadis ini dengan Kal El saat mereka bertemu kemarin. Namun Yonas pikir keakraban itu hanya wujud ramah-tamah antara penjual dan pembeli. Apalagi Namira adalah seorang pelanggan setia.
Tapi melihat bagaimana Namira membicarakan Kal El, binar matanya yang mengerling terang, dan juga keantusiasannya. Jangan lupakan dengan kesedihan yang tersirat karena ia tidak bertemu dengan Kal El hari ini. Hati Yonas merasa tidak nyaman. Seperti ada yang meremas dari dalam.
“Uhm, Nam, aku pamit, ya!”
“Lhoh, kok buru-buru? Belum aku bikinin minum, lho!”
“Nggak usah repot-repot, Nam. Aku pamit, ya!” Yonas benar-benar beranjak. Dengan cepat lelaki itu menyelinap di antara kerumunan orang-orang yang baru datang.
Namira heran sendiri dengan kelakuan Yonas. Jika ia tidak ingin membeli sesuatu di sini, lalu untuk apa ia ke mari? Namira menghela napas. Ia berusaha berpikir positif. Mungkin tadi Yonas lupa bahwa ia memiliki urusan yang lebih penting ketimbang hanya nongkrong sambil minum kopi.
“Nami, ayo sini, buruan!” seru Elang meminta Namira untuk ikut melayani tamu-tamu baru.
“Ini cuman nggak ada Mas Bro, tapi kok kayaknya kita kekurangan tenaga banget, ya? Kayak ada yang ilang lagi satu!” oceh Chico panjang lebar.
Namira, Elang, dan beberapa pelayan lain segera merespon ocehan itu dengan saling melihat satu sama lain. Mencari tahu siapa kira-kira yang hilang.
“Mas Johnny yang ilang!” tembak Namira.
“Oh, iya, si Johnny! Aduh, ke mana coba perginya?”
Seorang lelaki dengan tinggi setara dengan Chico tergopoh-gopoh bergabung bersama mereka. “Maaf, tadi kebelet.”
“Ealah, kirain ke mana ilang lo, John!” Chico terlihat lega karena personilnya yang hilang sudah ketemu.
“Yaudah. Lanjut, kerja!” perintah Elang.
Mereka memencar menuju meja-meja yang belum dilayani. Sembari menunggu pelanggan menentukan menu mana yang akan dipesan, Johnny melirik area parkir. Yonas sudah tidak ada. Ia sudah benar-benar pergi. Untunglah, ia tadi segera bersembunyi setelah kedatangan pemuda itu. Untunglah mereka tidak bertemu.
***
Mata Kal El menatap perutaran jarum detik jam dinding. Sudah cukup malam, Yonas belum juga kembali. Kal El kehilangan minat menonton televisi. Tidak ada handphone untuk dimainkan. Berbaring dalam diam, membuat perasaannya menjadi peka.
Perasaannya tidak enak semenjak tadi. Rasa takut bertemu dengan sang Ayah terus bertumbuh tanpa henti. Kal El benar-benar tidak mau bertemu dengannya. Setidaknya tidak sekarang. Apalagi di mana ada Papa, pasti ada si Jalang Ichal.
Suara perputaran jarum detik semakin terdengar jelas. Senada dengan detak jantung Kal El yang berdetak semakin cepat.
***
“Ehem!” Dokter Yongki berdeham begitu memasuki ruangan seniornya, Dokter Hengki.
Dokter Hengki terlihat terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Begitu pula dengan asistennya, Ichal.
Saat Dokter Yongki masuk tadi, mereka terlihat berdiri saling berhadapan. Entah apa yang mereka lakukan. Dokter Yongki tidak curiga sama sekali. Namun dengan sikap mereka yang sangat aneh sekarang, perasaan curiga itu menjadi ada.
“Lupa caranya ngetuk pintu, Yong?” sindir Dokter Hengki.
Dokter Yongki tertawa geli. “Sorry. Lupa!” jawabnya santai.
Ichal terlihat tidak senang dengan kehadirannya. Kalau begitu sama. Dokter Yongki juga tidak senang dengan keberadaan Ichal di sini.
Lelaki itu memancarkan aura negatif, yang membuat orang lain merasa tidak nyaman sekaligus kesal.
“Ada hal penting yang mau saya omongin.” Dokter Yongki mulai serius.
“Hal penting apa?”
“Sebenernya saya nggak boleh ngomong ke anda, tapi saya rasa … saya harus ngomong. Karena ini menyangkut kondisinya.”
Tanpa dijelaskan lebih detailpun, Dokter Hengki sudah bisa menebak arah pembicaraan Dokter Yongki. “Kal El ada di sini?”
“Ya, sejak semalam. Dia datang dalam keadaan nggak sadar dan kritis. Untunglah sekarang sudah lebih stabil.”
“Dia dirawat di mana?”
“Anda jangan gegabah! Tenangkan diri anda dulu! Kalau anda ke sana dalam keadaan marah, Kal El jadi takut. Apapun yang akan anda sampaikan, lagi-lagi tidak akan didengar olehnya.”
“Seharusnya dia yang mendengarkanku.”
“Tapi ….”
“Dia anakku, Yong. Aku yang tahu apa yang terbaik buat dia.”
Dokter Yongki terhenyak. Kal El memang putra Dokter Hengki. Namun pribadinya yang tak lagi sama seperti dulu, meresahkan banyak pihak. Tujuan Dokter Yongki mengatakan keberadaan Kal El adalah demi kebaikan.
Bukannya malah disambut murka seperti ini. Jika Dokter Hengki benar-benar mendatangi Kal El dengan amarah seperti sekarang, bisa-bisa Kal El tak mau lagi menjalani perawatan.
Dokter Yongki memang belum tahu detail masalah yang sedang dialami oleh keluarga Dokter Hengki. Namun melihat dari gerak-gerik Kal El dan Yonas, dari gerak-gerik Dokter Hengki sendiri, masalah yang sekarang adalah serius.
Entah hanya perasaannya saja, atau memang benar semua dimulai semenjak kedatangan Ichal.
“Katakan dia dirawat di mana, Yong?”
“Tapi ….”
“Yongki!”
Dokter Yongki mengembuskan napas pasrah sembari berpikir keras. Kalau sudah begini, ia tidak bisa membantah lagi. Namun ia tidak mau menghentikan usahanya demi kebaikan Kal El. Maka lagi-lagi ia harus menengahi perdebatan sengit sepasang ayah dan anak ini.
***
TBC