Dokter Hengki membenarkan posisi kacamatanya yang melorot. Ia membaca hasil pemeriksaan para pasien untuk mendapatkan diagnosa yang tepat. Sejujurnya ia sadar sepenuhnya bahwa lelaki itu sedang menatapnya. Satu-satunya lelaki yang ia cintai dengan sepenuh hati.
Bukannya Dokter Hengki sengaja mendiamkan Ichal. Hanya saja ini masih jam kerja. Ia harus fokus pada pekerjaan jika tidak ingin lembur dan berujung mendapat teguran dari rumah sakit karena terlambat dalam menentukan diagnosa para pasien.
Dokter Hengki sangat mengenal bagaimana tabiat Ichal yang sulit mengendalikan diri jika sudah dilirik sedikit saja.
Di samping itu, ini adalah bentuk usaha Dokter Hengki dalam melindungi dirinya, profesinya, keluarganya, dan Ichal sendiri tentu saja. Ia harus sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengendalikan Ichal. Jika mereka sampai kehilangan kendali, dan akhirnya ketahuan … bisa hancur semua hal dalam hidupnya.
“Daddy!” lirih Ichal.
Dokter Hengki mendengarnya. Namun ia tetap tenang, berkutat pada dokumen-dokumen.
“Daddy!” ulang Ichal.
Pertahanan Dokter Hengki masih kokoh. Ia sama sekali tak goyah. Ichal yang kesal, berjalan cepat menghampirinya. Ichal berdiri di belakang punggung Dokter Hengki, dan mulai memeluknya dari belakang.
Dokter Hengki terlihat gusar. Ia menarik napas dalam. “Why are you like this?”
“I’m always like this.”
“Harus berapa kali aku bilang sama kamu? Jangan seperti ini saat kita sedang kerja. Kamu mau ketahuan?”
“Di sini nggak ada orang selain kita.”
Dokter Hengki melirik kamera cctv yang terpasang di sudut ruang. “Kamu tahu apa fungsinya benda itu, kan?”
“Tentu aku tahu. Tapi apa masalahnya? Benda itu tak bisa merekam dengan jelas apa yang sedang kita lakukan. Mungkin di sana, kita hanya terlihat sedang ngobrol.”
“But you’re backhugging me!”
“I am!”
“Chal, kalau kamu kayak gini terus, aku bakal pindahin kamu. Aku bakal bikin kamu jadi asisten dokter lain!”
“Aku justru untung kalo dokternya ganteng!”
Lagi-lagi Dokter Hengki menarik napas dalam. Berhadapan dengan Ichal memang tak pernah mudah. Otaknya sungguh cerdik. Salah Dokter Hengki sendiri memang, yang justru mempekerjakan lelaki itu sebagai asisten pribadi.
Seharunya Dokter Hengki mencarikan Ichal pekerjaan lain yang terpisah. Sehingga hidupnya tak akan selalu berada dalam ancaman ketahuan seperti ini. Sayang, semua sudah terlanjur.
“Well, lakukan sesukamu! Tapi setelah itu aku bakal balikin kamu ke Singapura. Biar kamu sebatangkara lagi di sana.”
Ichal segera melepaskan pelukannya. Tanpa berkata apapun, lelaki berkulit seputih s**u itu berjalan menjauh. Kembali menata dokumen-dokumen yang memang sudah menjadi pekerjaannya sekarang.
Netra Dokter Hengki masih terpatri menatap pasangannya. Tahu bahwa ia sudah menyakiti Ichal. Sangat menyakitinya. Tapi itu hanya satu-satunya cara agar Ichal menurut.
***
Ini sudah ketiga kalinya Namira masuk ke LUAlounge untuk melihat jam. Sekarang sudah jam lima lebih, tapi Kal El belum juga terlihat batang hidungnya. Padahal biasanya ia lewat sekitar jam empat.
“Kenapa?” tanya Yas, menyadari putrinya yang terlihat galau.
“Kang Cilok belum lewat.”
“Nggak jualan mungkin. Asik, uang Ayah nanti balik, dong!”
Nami tidak menanggapi kata-kata Yas yang menurutnya tidak jelas. Namira hanya cemberut, kemudian kembali ke depan, menunggu sang Pujaan Hati datang. Matanya fokus menatap perempatan di mana Kal El biasa berbelok, kemudian ke mari. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit. Ada seseorang yang berbelok di perempatan, menuju ke mari. Sayang, itu bukan Kal El, tapi Bu Alila.
“Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam!” jawab Namira tak bersemangat.
“Anak Bunda kenapa lemes begitu?”
“Kang Cilok belum lewat.”
“Kok tumben?”
Namira menaikkan bahu. Mana ia tahu Kal El ke mana. Benar-benar menyebalkan. Kal El selalu menolak tiap kali Namira meminta nomor handphone. Seandainya Kal El tidak menolak, Namira tidak perlu kebingungan dan galau seperti ini. Tinggal tanya saja pada yang bersangkutan. Beres!
“Mungkin Kang Cilok-nya Nami lagi ada urusan. Jadinya hari ini libur dulu jualannya.” Bu Alila mengelus-elus rambut panjang putrinya.
“Tapi Nami pengen ketemu Kang Cilok.”
“Besok kalo urusannya udah selesai, pasti Kang Cilok-nya Nami jualan lagi, dan Nami bakal ketemu sama dia.”
“Tapi Nami mau ketemu sama Kang Cilok sekarang.”
Bu Alila tidak menjawab. Hanya tangannya yang masih senantiasa mengelus rambut Namira, memaklumi bagaimana seorang remaja anyaran yang baru merasakan indahnya cinta pertama.
***
“Kenapa lo bawa gue ke sini?”
“Lalu gue harus gimana? Diemin lo di kamar kos tanpa lakuin apa-apa?”
“Bokap ….”
“Bokap lo nggak tahu. Gue udah bilang sama Dokter Yongki buat nggak ngasih tahu dia.”
“Dokter Yongki nggak ngasih tahu. Tapi gimana sama para suster dan dokter yang lain?”
Yonas terdiam. Sudah menduga hal seperti ini akan terjadi. “Daripada lo marah-marah, mending lo makan.” Yonas mengambil nampan berisi bubur dan s**u. “Mau gue suapin?”
Kal El menyingkirkan nampan yang Yonas bawa. Untung kondisnya masih lemah, sehingga nampan itu tak sampai jatuh.
“Lo harus makan biar cepet baikan. Setelah lo baikan, lo bisa cepet rilis. Sehingga kemungkinan lo untuk ketemu sama Oom Hengki menipis.”
Kal El harus mengakui bahwa ia menyetujui pendapat Yonas. Sayang, egonya masih belum bisa menerima keberadaannya di sini. Ia terlalu takut untuk bertemu Ayahnya sendiri. Ia takut diseret pulang. Demi apapun, Kal El tak sudi kembali ke rumah itu.
Daripada menjawab kata-kata Yonas dengan ucapan yang menyakiti hati, Kal El memilih untuk mengganti posisi berbaringnya. Ia kini membelakangi Yonas. Memutuskan untuk tetap diam sembari berpikir.
Yonas tahu kenapa Kal El seperti itu. Nampan kembali ia letakkan di atas nakas. Ia beranjak dari duduknya. “Gue bakal balik nanti. Pikirin baik-baik semuanya, jangan bertindak bodoh!”
Kal El lagi-lagi tidak memberi tanggapan, hanya menatap Yonas melenggang pergi dari bangsal ini. Kal El terlalu sering merepotkan Yonas. Seakan-akan hidup Yonas hanya untuk mengurusi kehidupan Kal El. Terhitung semenjak insiden waktu itu. Insiden yang memisahkan dirinya dari Element. Insinden yang terpaksa membuat Yonas menghilangkan nyawa seseorang.
Yonas sering mengatakan bahwa Kal El sudah seperti kakaknya—mengesampingkan fakta bahwa Kal El berusia lebih muda.
Heningnya suasana membuat indra pendengaran Kal El dapat menangkap bunyi jarum detik pada jam. Alunan irama yang teratur itu berhasil mensugesti indra penglihatan Kal El untuk merespon. Kal El akhirnya menatap jam itu. Sudah hampir jam enam. Pantas di luar sudah gelap.
Kal El memejamkan matanya. Muncul sekelebat bayangan gadis kecil dengan senyuman cerianya. Namira, anak dari pemilik LUAlounge yang tersohor seantero Kediri. Anak yang baru beranjak remaja, yang selalu setia menunggunya di depan rumah untuk memborong cilok.
Mengingat bagaimana Namira selalu tersenyum saat berbicara dengannya. Gadis itu memiliki sebuah lesung pipit di sudut bibir. Selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya cukup frontal, namun dengan nada dan mimik yang polos. Anehnya Kal El selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan frontal Namira seputar dirinya. Termasuk tentang orientasi seksual Ayahnya yang menyimpang.
Tapi … Kal El segera membuka mata.
Kenapa ia jadi memikirkan Namira?
***
TBC