Dokter Yongki berlari mengejar Dokter Hengki dan Ichal yang sudah cukup jauh di depan sana. Dokter Yongki memang belum memberitahu mereka di mana kamar Kal El. Tapi Dokter Hengki pasti akan bertanya pada receptionist. Mereka pasti tidak akan bisa tutup mulut lagi tentang keberadaan Kal El di sini. Mengingat tabiat dokter yang dulunya sangat baik itu.
“Dok, dengarin dulu penjelasan saya! Kondisi Kal El saat ini benar-benar belum baik. Saya takut kalau ….”
“Kondisinya memang nggak baik, bahkan semenjak penyakit itu belum terdiagnosa, Yong!”
“T-tapi ….”
“Sudahlah, aku ayahnya. Aku tahu apa yang terbaik buat anakku!”
Dokter Yongki terhenyak. Seketika ia sadar. Statusnya hanya sebagai dokter dari Kal El. Ia memang tidak memiliki hak apapun untuk terlalu mencampuri urusan mereka. Meskipun ia sadar bahwa hal ini tidak adil bagi Kal El.
Dokter Yongki terdiam, tak lagi mengejar Dokter Hengki dan Ichal. Sebelum Dokter Hengki dan si Asisten melenggang tadi, Ichal menatapnya dengan sinis. Entah apa yang salah dengan lelaki itu. Yang jelas semenjak pertama melihatnya, Dokter Yongki sudah tak suka padanya.
Untuk saat ini, Dokter Yongki akan membiarkan Kal El bertemu dengan ayahnya. Tak peduli dengan fakta, bahwa setelah ini anggapan Kal El padanya tak akan pernah sama lagi.
Apapun yang akan terjadi setelah ini, Dokter Yongki hanya perlu memikirkan cara agar Kal El tetap mau melanjutkan pengobatan.
***
Entah seberapa besar perubahan pada dirinya—perubahan yang ia sadari, namun tak kuasa ia cegah, ia sudah berubah menjadi sekejam monster—namun ia tetaplah seorang ayah. Ia memang kecewa dengan keputusan Kal El yang memilih pergi dari rumah setelah ia membawa Ichal pulang. Ia marah pada Kal El yang bahkan tak sudi untuk mencoba beradaptasi dengan kehadiran Ichal di rumah.
Dokter Hengki berusaha menekan semua emosinya itu. Selain karena kondisi Kal El yang masih belum baik, juga karena … sekali lagi, ia adalah seorang ayah.
Dokter Hengki sengaja melambatkan langkah. Juga meringankannya, supaya derap langkahnya tak terdengar oleh Kal El. Dokter Hengki juga meminta Ichal melakukan hal yang sama. Supaya Kal El tidak mencurigai kehadirannya. Seseorang yang sudah lama tinggal bersama—apalagi Kal El sejak lahir belum pernah pergi ke manapun, pasti akan menghapal bunyi langkahnya. Sehingga ada kemungkinan ia akan memberontak bahkan sebelum Dokter Hengki masuk ke kamarnya.
Jemari kokoh itu mulai menyentuh knop pintu, memutarnya perlahan. Ia mengayunkan daun pintu, kemudian membeku dengan apa yang ia dapati. Amarahnya tiba-tiba kembali memuncak.
“Dia ke mana? Katanya ini kamar Kal El, kan?” Ichal yang pertama kali memberi tanggapan.
Dokter Hengki masih membeku di tempat. Hanya saja, kedua telapak tangannya mengepal menahan amarah tak terbendung. Susah payah ia menahan amarah itu. Tapi Kal El menyia-nyiakan begitu saja.
***
Yonas melihat kerumunan perawat bersama sekuriti yang berlarian di lorong. Entah mengapa perasaannya jadi tak enak. Benar saja, dari kejauhan, ia melihat Dokter Yongki berlari ke arahnya. Dan rupanya Dokter Yongki tidak sendirian, melainkan bersama Dokter Hengki, dan juga lelaki putih mulus berambut panjang sebahu.
“Nas ….” Dokter Yongki terengah.
“Kenapa, Dok?” tanya Yonas segera. Kedua mata Yonas melirik Dokter Hengki dan lelaki yang ia yakini sebagai sang Kekasih, tengah menatapnya penuh amarah.
“Kal El nggak ada!” kata Dokter Yongki akhirnya.
“Apa maksud Dokter Kal El nggak ada?”
“Dia kabur, Nas!”
“Kok bisa? Emang nggak ada yang ngawasin?”
“Entahlah, Nas. Dia kabur di saat yang tepat. Para penjaga CCTV sedang tidak ada di tempat. Mereka melalaikan tugas karena menganggap tidak akan ada yang terjadi.” Dokter Yongki menjelaskan. “Kamu tahu dia ke mana, Nas? Waktu itu kamu sempat bilang tentang ….”
“Biar aku cari di sana!” Yonas segera menyela ucapan Dokter Yongki. Karena Yonas tidak mau jika Dokter Hengki ikut ke kost bersamanya. Ia hanya berusaha mengerti pemberontakan Kal El. Sahabatnya itu pasti kabur masih karena hal yang sama—tidak ingin bertemu ayahnya.
“Nas, bujuk dia biar balik ke sini, ya! Karena saat ini dia benar-benar butuh perawatan.”
“Iya, Dok. Aku bakal bawa dia balik ke sini. Kalo gitu aku langsung ke sana sekarang, ya.” Yonas berpamitan pada Dokter Yongki, kemudian juga menunduk hormat pada Dokter Hengki.
***
Namira melipat kedua tangan di d**a. Ini sudah jam sembilan malam. Yas sudah meminta semua anggotanya pergi dari LUAlounge untuk beristirahat dan tidur di kamar masing-masing. Sayangnya Namira, Elang dan Chico masih betah terjaga di ruang tamu. Mereka masih membahas tentang Mas-Mas nggak jelas aka Yonas yang menemui Namira tadi sore.
“Dibilangin Nami nggak ada apa-apa sama Mas Monas. Orang baru kenal kemarin.”
“Terus ngapain dia tadi dateng, nggak beli apa-apa, cuman duduk, terus pergi lagi? Udah jelas, tujuannya ke sini mau nemuin kamu.” Elang bersikeras pada pendapatnya.
“Terserah Oyang, deh. Yang jelas Nami emang nggak ada apa-apa sama Mas Monas.”
Ustadz Chico juga mulai berceramah. “Nam, seperti kata Ayah ke Nami. Nami boleh berteman seluas mungkin. Tapi Nami harus inget, Nami itu cewek. Cewek nggak boleh sembarangan temenan sama cowok. Bukan muhrim. Dosa!”
“Ya Allah, Ko! Emang Nami yang maksa Mas Monas dateng ke sini? Kan dia ke sini dengan keinginannya sendiri. Nami cuman bersikap sopan. Nami kenal sama dia, ya Nami temuin.”
“Emang kamu kenal di mana sama dia?” tanya Elang akhirnya. “Heran, kamu kok sukanya sama yang udah dewasa. Temenan sama yang sebaya ajalah. Kayak si Jalu itu.”
Namira memutar matanya. Jalu lagi disebut-sebut. Setelah peristiwa sore itu—peristiwa yang menurut Namira memuakkan—semua orang mendukungnya untuk menerima cinta Jalu. Tapi, please, Namira tidak suka Jalu. “Kalo Jalu ada di sini, bisa terbang dia. Jangan melulu puji-puji si Jalu, deh!”
“Ya daripada kamu sama Tukang Cilok atau sama si Monas, mending kamu sama Jalu.”
“Kenapa, sih, Oom-Oom semua pada dukung aku sama Jalu? Apa kelebihan Jalu dibanding Kang Cilok?”
“Jalu baik dan seumuran sama kamu.”
“Meskipun Kang Cilok lebih dewasa, bukan jaminan dia nggak baik. Dia baik kok. Baik banget malah!”
“BERISIK!” Theo berteriak dari posisi berbaringnya.
Namira, Elang dan Chico seakan lupa bahwa sedari tadi Theo masih bertahan tidur di sofa ruang tamu. Alasannya masih sama, masih terlalu lemas untuk naik ke kamarnya sana. Tapi dilihat dari kuatanya teriakan yang ia lakukan barusan, kondisinya sudah jauh lebih baik.
“Tidur lagi, Mas Bro! Masih malem. Mau dianter ke kamar?” tawar Chico.
“Kalo masih malem kenapa kalian ribut?” sungut Theo.
“Itu, ponakanmu tercinta kenalan sama cowok lain lagi. Bukan si Tukang Cilok. Tapi kelihatannya seumuran.”
Mata Theo memicing ke arah Namira. Menelisik sang Keponakan yang sepertinya semakin menjadi-jadi. Ia bangkit dari pembaringan, mengabaikan serangan pusing yang mendera.
“Oyo nggak usah ikut-ikutan ngomel, please! Aku nggak ada apa-apa sama Mas Monas. Cuman sekedar kenal.”
“Monas? Namanya aja aneh begitu!”
“Eh, Yonas, bukan Monas!” koreksi Namira.
“Kenal di mana?”
“Di perempatan depan.”
Theo geleng-geleng heran. “Kamu tiap kenal sama cowok nggak jelas kok selalu di perempatan depan, sih, Nam? Jangan kebanyakan nongkrong di sana! Serem lama-lama. Kamu kenal sama Tukang Cilok nggak jelas itu di perempatan juga, kan?”
“Kang Cilok bukan orang nggak jelas!”
Theo tidak setuju. “Dia itu udah nggak jelas, nggak baik!”
“Kang Cilok itu baik!”
“Baik apanya? Giliran dibutuhin, dia malah nggak lewat. Padahal Oyo pengen makan cilok!” Theo membahas kejadian tadi sore.
“Ih, Oyo, mah! Kata Mas Monas, Kang Cilok ada urusan. Makanya nggak jualan. Salah sendiri Oyo pengen makan cilok pas Kang Cilok-nya lagi ada urusan. Lagian bukannya situ tadi udah kenyang, habis dibikinin bubur ayam sepanci sama Bunda.”
Theo terbahak mendengar omelan Namira. Itu memang benar. Karena ia mual makan nasi, dan si Tukang Cilok tidak lewat, akhirnya Bu Alila membuat bubur ayam super enak untuknya.
“Eh, tapi tunggu sebentar!” Theo baru menyadari keanehan dalam kata-kata Namira. “Si Monas kok tahu kalo Tukang Cilok ada urusan? Mereka saling kenal?”
Namira menarik napas dalam sebelum menjelaskan sebuah fakta lagi tentang kedua Mas-Mas nggak jelas versi Trio Tabanas. “Gini lho, Oom-Oom semua, Mas Monas itu temennya Kang Cilok. Kemarin dia ikut Kang Cilok jualan keliling. Makanya pas lewat sini, jadi ketemu sama Nami juga. Terus kenalan. Gitu!”
Mendengar penjelasan Namira, tiga laki-laki seumuran itu segera memberi reaksi yang beragam. Meskipun reaksi mereka memiliki konotasi yang sama.
“Nah, jadi temennya Tukang Cilok. Pasti sama-sama nggak jelas.”
“Sama-sama nggak baik.”
“Satu kloter. Fix, Nami nggak boleh deket-deket sama mereka.”
Namira menutup kedua telinga dengan rapat. “Stop, Nami nggak mau denger! Koko juga, nih, katanya nggak boleh fitnah orang sembarangan. Malah ikut-ikutan Oyo sama Oyang yang suka menebar fitnah! Besok Nami mau lapor sama Banyu. Biar Banyu ngadu ke Tante Rara. Biar Tante Rara mutusin Koko!”
“Eh, Nam, jangan!” Chico hendak mencegah Namira.
Terlambat, gadis itu sudah berlari menaiki tangga. Meninggalkan Oom-Oom anggota Trio Tabanas.
“Co, lo nggak boleh goyah! Demi ponakan kita!” Theo segera mendoktrin Chico.
“Tapi Mas Bro ….”
“Nggak ada tapi-tapian!” sela Elang. “Ini cuman akal-akalan anak umur dua belas tahun. Yakali lo kenal gitu aja? Rara pasti bisa ngerti kok.”
Chico diam tanpa kata dengan kedua tangan meremas ujung kaos oblongnya. Mungkin Rara memang akan mengerti nanti. Tapi apa yang dikatakan oleh Namira tadi adalah benar. Selama ini ia, Theo dan Elang selalu serta merta menyatakan bahwa si Tukang Cilok bukanlah laki-laki baik-baik. Mereka asal menuduh tanpa bukti. Dan menuduh tanpa bukti itu … namanya memang fitnah.
***
Yonas memutar knop pintu kamar kost Kal El dengan cepat. Ia mendapati Kal El bergulung di bawah selimut. Tubuhnya bergetar kedinginan. Yonas membuka selimut yang membungkus tubuh sahabatnya. Menjadikan Kal El mendekap tubuhnya sendiri dengan erat, menahan dingin yang menusuk.
“Ayo balik ke rumah sakit!”
“Nggak mau.”
“Ayo, Kal! Lo mau sembuh nggak, sih?”
“Gue nggak bakal sembuh, Nas. Dan lo udah tahu itu!”
Yonas terdiam. Jemarinya meremas selimut yang ia bawa dengan erat. Ia tahu persis, sesuai dengan apa yang dijelaskan Kal El dulu. Penderita penyakit itu belum pernah ada yang sembuh sampai sekarang.
“Ayolah, Kal. Setidaknya sampai keadaan lo lebih baik.”
“Ada bokap di sana, Nas. Gue nggak mau ketemu dia.”
“Ke rumah sakit lain? Biar Dokter Yongki yang ngurus semuanya.”
“Percuma. Apapun yang gue lakuin, ke manapun gue pergi, bokap pasti tahu. Ke rumah sakit lain, cepat atau lambat dia bakal nyamperin. Seenggaknya jika gue di sini, dia nggak bakal pernah mau nemuin gue sendiri, melainkan lewat orang-orang berseragam serba hitam mirip mafia itu.”
Yonas menggigit bibir bawahnya, kembali menyelimuti Kal El yang masih menggigil. Meskipun yang dikatakan oleh Kal El itu benar adanya. Dokter Hengki tidak akan pernah menginjakkan kaki ke daerah ini. Hanya saja, Yonas tetap ingin Kal El mendapatkan perawatan yang baik sampai keadaannya stabil.
***
TBC