Pagi-pagi sekali Yonas sudah rapi. Ia akan segera pergi setelah sarapan yang ia pesan datang. Kal El juga sudah bangun. Namun masih sama seperti semalam, ia hanya berbaring di atas ranjang. Udara di Kediri sangat dingin akhir-akhir ini. Membuat Kal El betah bergelung di bawah selimut. Meskipun itu hanya selimut tipis ala kadarnya.
“Rapi banget, mau ke mana, sih?” Kal El akhirnya bertanya. Ia benar-benar heran karena Yonas memakai kemeja yang sudah licin disetrika. Padahal biasanya tak pernah. Semua baju dipakai apa adanya.
“Gue ada kuliah.”
“Sejak kapan lo peduli sama kuliah? Jujur, deh. Mau kuliah apa mau datengin undangan tawuran?” Kal El terkekeh.
“Anjir … makasih, lho, atas fitnah manisnya, Kakak.” Yonas sok tersipu-sipu. “Gue selalu serius dalam urusan kuliah. Karena gue nggak mau berakhir jualan cilok kayak lo, Kal.”
Hanya satu kata dari Kal El. “F*ck!”
“Lagian ngapain juga gue tawuran mesti nyetrika baju dulu?”
Terdengar suara pintu diketuk. Yonas bergegas membuka. Ia antusias karena yakin itu adalah petugas delivery. Benar saja, lelaki itu membawa dua kotak nasi Padang pesanannya. “Makasih, Mas."
“Sama-sama.” Si Petugas mengacungkan jempol. “Besok pesan lagi ya, Mas!”
“Tapi gratis ya, Mas?”
Senyum si Petugas hilang sudah. “Yaudah, saya permisi, Mas. Selamat makan!”
Yonas terkikik sendiri, mengambil dua buah sendok dari satu-satunya meja di kamar kost Kal El ini. “Makan, gih!” Yonas memberikan satu kotak beserta sendoknya pada Kal El.
“Ntar aja. Belum pengen makan.”
“Dipaksa, dong!”
“Muntah, Bego!”
“Yaudah, tapi nanti beneran dimakan, lho!”
“Cerewet!”
“Uh, so sweet!” Yonas mengambil duduk dan memakan nasi Padangnya dengan lahap.
Selesai sarapan, Yonas bergegas pergi. Meninggalkan Kal El sendirian di dalam kamar. Yonas lega karena berhasil membodohi Kal El sejauh ini. Tidak, bukan membodohi dalam konotasi negatif. Ini semua demi Kal El sendiri.
Benar apa kata Kal El. Yonas tak pernah peduli dengan kuliah. Saat ke kampus, ia hanya berkumpul dengan Element, untuk membicarakan siasat yang akan mereka lakukan, sebelum memenuhi undangan tawuran.
Yonas sengaja berdandan serapi mungkin agar Kal El percaya dengan tipuannya. Agar ia bisa melaksanakan niat untuk memenuhi janjinya bersama Dokter Yongki. Yonas sedang dalam perjalanan menjemput dokter itu ke jalan raya--tak jauh dari sini. Dengan berjalan kaki seperti ini, hanya membutuhkan sekitar lima belas menit.
Salahkan kost-kost-an Kal El yang letaknya terlalu strategis. Berada di jalan tikus, berliku-liku, yang baru bisa ditemukan setelah berputar-putar dan kesasar ratusan kali.
Yonas terpaksa harus menipu, agar Kal El menurut untuk mendapatkan perawatan. Setidaknya walaupun tidak kembali ke rumah sakit, ia bisa dirawat di rumah oleh Dokter Yongki. Yonas mengenal Kal El sudah lama. Ia pasti akan menolak jika Yonas serta merta mengatakan rencana ini secara gamblang.
Kal El hanya terlalu paranoid. Takut jika ayahnya datang bersama Dokter Yongki—meskipun ia sendiri tahu itu tidak mungkin—tapi Kal El tetap ketakutan. Sementara Yonas percaya pada Dokter Yongki sepenuhnya. Dokter itu baik dan tidak akan berkhianat meskipun ia notabene belum tahu tentang masalah apa yang membuat Kal El bersitegang dengan ayahnya sampai-sampai kabur dari rumah.
***
Seseorang mengetuk pintu kamar Kal El. Karena Kal El tak kunjung membukanya, seseorang itu mengetuk kembali. Semakin lama ketukannya semakin keras dan cepat. Sudah cukup untuk dikatakan brutal.
“Sebentar!” Kal El bangkit dari ranjangnya dengan gerakan lambat. Kesal juga rasanya karena seseorang di luar itu tidak sabaran sekali.
Kal El mematung setelah membuka pintu. Ternyata yang datang adalah pemilik kost ini. Kal El baru ingat. Ini sudah seminggu semenjak deadline p********n kamar kost. Sementara uang yang ia kumpulkan sudah terlanjur dibelikan obat.
“Mas Kas El, saya cuman mau menging- ….”
“Mohon maaf, saya belum ada uang, Pak.”
Lelaki paruh baya itu senantiasa tersenyum. Kal El tidak membalas senyumnya. Bukan karena sombong atau tidak sopan. Tapi karena selama tiga bulan ini, Kal El sudah cukup mengenal bagaimana tabiat lelaki ini.
“Seperti perjanjian yang kita lakukan dulu.” Lelaki itu mengeluarkan sebuah ma berisi perjanjian mereka dulu—perjanjian yang ditandatangani oleh seluruh penghuni kost di sini. “Jika nunggak lebih dari dua minggu, wajib segera hengkang dari sini.” Pak Kost menunjuk tulisan yang sebenarnya sudah di-bold pengetikannya.
Kal El menarik napas dalam. Tak usah dipertegas seperti ini, ia juga sudah tahu. Seandainya ada tempat kost lain di gang tikus ini, Kal El akan dengan senang hati pindah ke sana. Sayang, ini hanya satu-satunya.
Satu-satunya kost yang sulit ditemukan karena tidak strategis. Dan juga satu-satunya kost yang biayanya sangat terjangkau.
“Iya, Pak. Saya ngerti,” jawab Kal El akhirnya.
“Oke. Kalo gitu saya tunggu seminggu lagi. Permisi.”
Kal El kesal sekali dibuatnya. Tapi tak tahu harus melampiaskan kekesalan pada apa. Atau pada siapa. Ia hanya bisa menahan. Orang-orang dewasa memang kadang aneh. Jarang ada yang mau berempati. Contohnya saja, Pak Kost itu dan ayah Kal El sendiri.
***
“Nggak mau, Yah. Nami lagi dapet. Sakit perutttt!” Namira lagi-lagi menolak permintaan ayahnya.
“Tolonglah, Nami. Cuman ke rumah Uyut. Deket!” Yas tidak menyerah.
“Tapi naik sepeda ke sana juga butuh tenaga, Yah. Nanti perut Nami tambah sakit.”
“Oyangmu lagi kerja. Kokomu belum pulang dari majelis. Bundamu belum pulang dari apotek. Yakali Ayah mau minta tolong Eren? Kan kasihan. Eren masih kecil!”
“Kenapa Ayah nggak berangkat sendiri aja, sih?”
“Nak, hari ini Minggu. Bentar lagi LUAlounge harus dibuka. Tuh, udah banyak yang ngatre di depan. Nami mau gantiin Ayah bikin kopi?”
“Kan Mas Johnny udah Ayah ajarin bikin kopi.”
“NAMI!” Yas akhirnya meninggikan suaranya. Sekali-sekali perlu sedikit keras pada anak ini. Hanya agar ia mengerti.
Namira terlihat takut. Gadis itu menunduk dalam diam. Apalagi ia sedang haid. Pasti perasaannya sensitif.
Yas berusaha mengontrol emosinya. Memutuskan untuk menjelaskan secara baik-baik. “Ayah minta tolong. Ayah ngerti, perut Nami sebenernya nggak sakit-sakit amat, kan? Nami nggak mau dimintain tolong minta obat herbal ke rumah Uyut, karena obat herbalnya bakal dikasih ke Oyo, kan? Kenapa Nami jahat banget, sih, sama Oyo? Jangan gitu terus dong, Nak! Oyo itu udah baik banget sama Nami lho selama ini.”
Namira menggigit bibir bawahnya. Ia sendiri juga bingung kenapa sikapnya sangat keterlaluan pada Theo.
Dulu karena Theo adalah anak bungsu. Semua orang perhatian padanya, apalagi saat Theo sakit seperti ini. Semakin lama, kekesalan Namira pada Theo semakin terpupuk. Terakumulasi menjadi sebesar sekarang ini. Meskipun pada kenyataannya Theo sudah tidak manja seperti dulu. Dan ia juga sudah lama tidak sakit-sakitan. Hanya beberapa waktu terakhir saja penyakitnya sering kambuh lagi.
Tanpa berkata apapun pada Yas, Namira melenggang pergi. Ia akhirnya berangkat juga, mengambil sepeda, mengayuhnya ke rumah Nenek Widya.
Yas menatap putrinya dari kejauhan. Entah kapan Namira dan Theo akan berdamai. Entah bagaimana cara membuat mereka berdamai.
***
Nenek Widya memberikan ramuan kunyit asam yang sudah dibuatnya pada Namira. Gadis itu menerima dengan setengah hati. Saat ini ia sedang memakan tahu isi super enak buat sang Uyut tercinta.
“Nami kenapa cemberut terus, sih?”
“Lagi kesel. Uyut tahu, nggak, kapan Bunda Caca sama Ayah Jodi balik ke Kediri?”
Nenek Widya menggeleng. “Uyut nggak tahu. Dua-duanya sibuk banget di Jakarta. Jarang ngasih kabar ke Nenek.”
“Mereka juga jarang ngasih kabar ke Nami. Pengen, deh, Bunda Caca sama Ayah Jodi pulang ke sini.”
“Emangnya kenapa? Sebegitu kangen, kah?”
Namira mengangguk yakin. “Nanti kalau mereka pulang ke sini, aku mau pindah. Aku mau tinggal sama mereka aja.”
Nenek Widya terkejut sampai hampir menyemburkan air putih hangat yang sedang diteguknya. “Nami ada masalah sama Ayah dan Bunda?”
"Bukan sama Ayah Bunda, tapi sama Oyo!”
Nenek Widya geleng-geleng. “Kalian, tuh, kebiasaan. Kenapa lagi, sih? Sekarang aja Oyo lagi sakit. Makanya Nenek dimintai tolong ayahmu buat bikinin kunyit asem.”
“Biasalah, Yut. Ih, pokoknya Nami kesel sama Oyo.”
“Nami nggak boleh gitu, lho! Nami sekarang udah besar. Harusnya bisa lebih dewasa.”
Namira menutup rapat-rapat kedua telinganya. “Nami pulang, Yut. Assalamualaikum.” Gadis itu pergi secepat kilat.
Nenek Widya tahu, Namira buru-buru pergi karena tidak tahan dengan nasihatnya tentang Theo. Tapi nasihat itu benar adanya. Tak hanya Yas, Nenek Widya-pun bingung kapan Namira dan Theo bisa berdamai. Uhm … tak hanya Yas dan Nenek Widya sepertinya. Semua orang memiliki pemikiran dan harapan yang sama.
***
Yonas melangkah cepat menuju ke kamar kost Kal El. Di belakangnya ada Dokter Yongki yang membawa peralatan medis lengkap. Mereka harus berjalan melewati jalan tikus, karena mobil Dokter Yongki tidak muat melewati jalanan ini—saking luasnya.
Seharusnya Yonas hanya pergi sebentar. Sayangnya Dokter Yongki terlambat datang. Yonas menunggu di pinggir jalan raya cukup lama. Ingin rasanya Yonas menyemprot dokter itu saat ia akhirnya datang. Tapi Yonas tahan. Mengingat di sini posisinya sedang minta tolong. Ditambah lagi, Dokter Yongki juga pasti sangat sibuk di rumah sakit.
Napas Yonas memburu saat tahu ternyata kamar kost Kal El terkunci. Ia berusaha membuka tapi tak bisa. Ia juga tidak menemukan kunci di bawah pot. Sialan, Kal El benar-benar menuruti nasihatnya waktu itu untuk tidak lagi menyimpan kunci di bawah pot. Tapi … ke mana perginya Kal El dalam kondisi sakit seperti itu?
“Kenapa, Nas?” tanya Dokter Yongki.
Yonas tidak menjawab. Hanya mendengkus penuh amarah. Kemudian menendang pintu kamar Kal El berkali-kali.
***
Niat Kal El pergi adalah untuk menuju ke rumah bosnya. Ia ingin mulai jualan lagi karena tak ingin ditagih Pak Kost sampai dua kali. Namun belum juga Kal El sampai di rumah bosnya, ia sudah dikejar-kejar oleh orang-orang berpakaian serba hitam itu.
Sialan memang. Karena dirinya kabur dari rumah sakit, pasti ayahnya meningkatkan kinerja orang-orang itu supaya lebih rajin mengejar-ngejar Kal El. Sehingga Kal El jengah dan lama-lama menyerah, kemudian pulang dengan sendirinya. Tidak, Kal El tidak selemah itu.
Meskipun saat ini napasnya sudah mau habis rasanya. Kal El tidak akan menyerah.
Kal El berpegangan pada sisi dinding rumah orang di sepanjang jalan. Matanya mulai berkunang-kunang. Pandangannya buram. Napasnya naik turun tak karuan. Entah di mana orang-orang ayahnya sekarang. Mumpung mereka belum terlihat lagi, Kal El memutuskan untuk beristirahat sejenak.
“Kang Cilok!”
Sayup-sayup Kal El mendengar suara Namira. Tapi apa yang dilakukan gadis itu di sini? Pasti ini hanya perasaan Kal El saja.
“Kang Cilok!”
Suara Namira terdengar lagi. Kal El mulai ragu jika dirinya benar hanya berimajinasi. Suara Namira terdengar sangat nyata.
“Kang Cilok!”
Sekarang Kal El benar-benar yakin bahwa Namira benar-benar sedang memanggilnya. Pemuda itu menoleh, mencari-cari ke arah sumber suara. Sampai ia menemukan gadis belia itu sedang berdiri bersama sepedanya, tidak jauh dari dirinya.
“Nami nggak sekolah?” tanya Kal El.
Namira menggeleng sok imut. “Ngapain Minggu-Minggu sekolah, Kang Cilok?”
Minggu? Jadi, ini hari Minggu. Kal El baru menyadari itu. Jika ini Minggu, lalu kenapa Yonas berangkat kuliah? Ia bukan mahasiswa kelas karyawan ataupun univeritas terbuka, yang kuliahnya di hari Minggu. Lagipula saat Kal El juga masih kuliah dulu, ia tak pernah mendapat jadwal kuliah di hari Minggu. Yonas pasti juga sama. Mengingat dulu mereka satu angkatan, satu jurusan, dan satu kelas.
Jadi Yonas berbohong padanya? Lalu ke mana perginya si Spongebob? Ia pasti udah merencanakan sesuatu yang tak diketahui Kal El.
“Kang Cilok juga ngapain di situ? Nggak jualan?”
“Aku ….”
Belum selesai Kal El bicara, orang-orang berpakaian serba hitam itu mulai terlihat. Mereka bersorak karena akhirnya menemukan Kal El. Mereka bersama-sama sedang berlari menghampiri Kal El.
Tak hanya Kal El yang panik, Namira-pun sama. Mengingat gadis itu tahu tentang fakta bahwa Kal El sering dikejar-kejar oleh orang-orang itu.
Namira buru-buru menuntun sepedanya menghampiri Kal El. “Naik sepedaku aja, Kang Cilok!”
Tanpa menunggu lebih lama, Kal El segera mengambil alih sepeda mini berwarna cream. Namira juga segera naik ke boncengan.
“Nami pegangan, ya!” peringat Kal El.
Gadis itu masih sempat-sempatnya tersipu. Pipinya menyemu merah. Kapan lagi dapat kesempatan dibonceng naik sepeda oleh Kal El?
“Iya, Kang Cil- ….”
Namira bungkam seketika karena Kal El tiba-tiba menggenjot pedal sepeda dengan sekuat tenaga. Namira segera menyabukkan lengannya dengan erat pada pinggang Kal El.
***
TBC