Ketakutan Namira hanya bertahan selema nol koma sepersekian detik. Sebagai gantinya, saat ini gadis itu tengah tersenyum lebar. Gemas, rasanya ingin mengencangkan pegangannya pada Kal El. Tapi ia takut Kal El kesakitan. Makanya ia mengurungkan niat sebisa mungkin. Baru kali ini ia bisa berada dalam jarak sedekat ini dengan Kal El. Mereka biasanya hanya sebatas ngobrol setiap kali bertemu. Pengorbanan sehari tak bertemu Kal El kemarin, telah ditukar dengan pertemuan tak terduga yang sempurna oleh Tuhan. Tuhan memang baik.
Namira terlalu larut dalam kegilaan yang ia sebut sebagai bahagia. Sampai-sampai ia nyari lupa dengan orang-orang berpakaian serba hitam yang sedang mengejar mereka. Namira menengok ke belakang. Orang-orang itu berlari cepat sekali. Heran, sarapan apa mereka?
“Kang Cilok, kita kabur ke mana ini?”
“Aku juga nggak tahu, Nam.” Kal El menjawab di antara napasnya yang serasa hampir berhenti. “Kamu ada ide?”
Aduh, Namira juga tidak ada ide sama sekali saat ini. Gadis itu memukul kepalanya beberapa kali. Menganggap hal itu bisa memacu kerja otaknya supaya lebih tokcer. Terbukti! Namira segera mendapat ide cemerlang setelahnya.
Ide yang luar biasa cemerlang!
“Lurus aja, Kang Cilok! Nanti di perempatan belok kanan!”
Perasaan Kal El tiba-tiba tak enak. Arah-arah dari Namira itu membuat Kal El merinding. “Emangnya kita mau ke mana, Nam?”
“Ke rumahnya Nami, dong!”
Tuh, kan! Kal El menahan keterkejutannya sekuat tenaga, menaikturunkan napas secara teratur. Selain ampuh untuk mengatasi rasa terkejutnya, juga lumayan untuk mengobati ngos-ngosan.
“Kang Cilok, kok diem?”
“Nggak apa-apa aku ke rumah kamu, Nam?”
“Nggak apa-apalah! Aku malah seneng.”
“Tapi, Nam ….”
“Nggak pakek tapi-tapian, Kang Cilok.” Namira memutar otak lagi. Ayolah, otak! Bekerjalah dengan baik! Alhamdulillah, otak Namira sangatlah penurut. “Kang Cilok lihat botol jamu yang ada di keranjang?”
Kal El seketika mengalihkan pandangan pada botol yang dimaksud Namira. “Jamu apa itu, Nam?”
“Itu jamu buat ngobatin Oom-ku yang lagi sakit. Nami harus cepet pulang. Kalo nggak, Oom-nya Nami nanti bisa … bisa mati! Hue ….” Namira mengagumi kejeniusannya sendiri. Sekali-sekali memanfaatkan Theo tidak apa-apa.
Kal El mengernyit. Merasakan keanehan luar biasa dalam alasan Namira. Kal El benar-benar tak habis pikir. Setahunya jamu tradisional berwarna sekuning itu adalah kunyit. Entah diberi campuran apa. Yang jelas, orang yang minum jamu kunyit, bukanlah orang yang sedang sakit parah. Apalagi sampai meninggal. Kal El tahu persi bahwa dirinya sedang dimodusi oleh gadis itu. Dasar, Anak Kecil!
Kal El menatap kaca spion yang menempel pada stir sepeda. Orang-orang itu sudah lumayan jauh tertinggal. Tapi Kal El sudah lelah luar biasa saat ini. Tenaganya sudah terkuras. Kalau ia tak segera berhenti—pahit-pahitnya jika sampai pingsan—bisa-bisa saat sadar, dirinya sudah ada di rumah. Dan Kal El tak mau itu terjadi.
Lagipula kasihan juga Oom-nya Namira yang saat ini sedang sakit. Kal El tak punya pilihan lain, selain mengikuti saran dari Namira.
***
“Ayo, Kang Cilok!” Namira mengajak Kal El untuk masuk rumah setelah memarkir sepeda di halaman.
Namira terlihat celingak-celinguk, seperti takut ketahuan. Perasaan Kal El jadi semakin tidak enak. Tadi kata Namira, Kal El boleh main ke rumahnya. Tapi jika boleh, kenapa ia sembunyi-sembunyi dan mengendap-ngendap seperti ini?
“Aduh, kok dikunci, sih!” pekik Namira mengetahui gerbang kecil di luar LUAlounge yang menjadi jalan pintas menuju ke rumah, tanpa harus melewati LUAlounge terlebih dahulu.
“Kenapa, Nam?” tanya Kal El. Niatnya agar gadis itu jujur. Ia bisa bersembunyi di tempat lain dekat sini. Tidak apa-apa. Tapi Namira malah ….
“Kang Cilok tenang, ya!” Namira tanpa ragu menggamit pergelangan tangan Kal El. Mengajak pemuda itu memasuki LUAlounge.
Masih seperti tadi, Namira celingak-celinguk. Gadis itu memastikan bahwa orang-orang rumah tidak ada yang melihatnya saat ini. Namira harus beryukur LUAlounge sedang dibanjiri banyak pelanggan. Jadilah, suasana agak kacau. Semua orang sibuk dengan urusannya sendiri. Yas membuat kopi, Bu Alila melayani pelanggan yang membayar, dan para Mas-Mas pelayan menanyai dan membawa pesanan para pelanggan.
“Satu, dua, tiga … lariiiiii, Kang Cilooooook!” Namira menyerukan panggilannya pada Kal El dalam nada super panjang sembari berlari di antara kerumunan, menggandeng tangan Kal El sangat erat, seakan tak akan pernah dilepas.
Jarak antara LUAlounge dan rumah sebenarnya tak terlalu jauh. Tapi karena mereka sedang dalam misi sembunyi-sembunyi, perjalanan jadi terasa panjang dan melelahkan. Namira dan Kal El akhirnya berhenti berlari. Namira mengajak Kal El untuk duduk lesehan, bersandar di dinding dapur.
Menurut Namira di sini sangat aman. Karena mereka tertutupi oleh meja wastafel dan meja kompor.
“Maaf, ya, Kang Cilok, kita harus lari-lari,” sesal Namira. Ia jadi tidak enak pada Kal El. Padahal tadi ia sendiri yang mengajak Kal El ke sini.
Namira tak bisa menahan kesenangannya saat berhasil mengajak Kal El pulang. Saat itu Namira sama sekali tidak memikirkan efek jangka panjang. Namira lupa bahwa Oom-Oomnya tidak suka pada Kal El semua. Jika mereka tahu bahwa Namira membawa pulang Kal El, bisa-bisa mereka segera mengusirnya.
“Kang Cilok suka minuman apa? Biar Nami bikinin!” Namira sibuk mengipasi dirinya sendiri dengan telapak tangan, sembari menunggu jawaban dari Kal El. “Kang Cilok?”
Namira menoleh pada Kal El di sampingnya. Kedua netra gadis itu terbelalak. Kal El terlihat sangat pucat dan lemas. Namira juga berkeringat, tapi tidak sebanyak Kal El. Namira teringat dengan fakta bahwa Kal El selalu minum obat saat atau setelah ia dikejar-kejar oleh orang-orang itu. Jadi, sekarang Kal El membutuhkan obatnya.
“Kang Cilok!” Namira mengguncangkan lengan Kal El.
Pemuda itu tak kunjung memberikan respon. Ronanya semaki pucat. Matanya menutup perlahan.
“Kang Cilok!” Namira kembali mengguncangkan lengan Kal El. Gadis itu ketakutan setengah mati. Niatnya ingin menolong Kal El bersembunyi dari orang-orang itu. Tapi ia malah membuat Kal El sakit seperti ini.
***
Dokter Yongki berusaha menenangkan Yonas yang masih menendang pintu kamar kost Kal El dengan membabi buta. Setahunya, selama ini Yonas adalah anak yang baik. Dokter Yongki tak pernah tahu, jika Yonas bisa menjadi begitu mengerikan saat marah.
“Udah dong, Nas!” Dokter Yongki berusaha menarik Yonas menjauh dari pintu.
Yonas berusaha meronta, ingin melanjutkan melampiakan kekesalannya pada Kal El. Kenapa anak itu begitu keras kepala? Kenapa begitu tak tahu diri? Sudah tahu ia sedang sakit, kenapa keluar dari kamar kost? Yonas yakin, Kal El juga belum memakan sarapannya. Apa Kal El benar-benar tak peduli pada dirinya sendiri?
Para penghuni kost lain satu per satu keluar dari kamar. Untunglah ini hari Minggu, jadi hanya sedikit saja penghuni kost yang masih di sini. Mereka menatap apa yang dilakukan Yonas dalam diam. Mau mendekat tak berani. Takut ikut dijadikan sasaran tendang.
“Nas, nggak ada gunanya kamu ngelakuin itu, sampai pintunya roboh sekalipun!” Dokter Yongki meninggikan intonasinya. “Hentikan!”
Teguran dan usaha dari dokter untuk menghentikan aksi Yonas akhirnya berhasil. Amarah pemuda itu perlahan memudar. Yonas jatuh terduduk di jajaran keramik. Mulai menyesali aksi gilanya barusan.
“Kamu kira-kira tahu di mana si Kal El?” tanya Dokter Yongki.
Yonas segera menggeleng. Berusaha menduga kira-kira di mana anak itu sekarang. Yona tiba-tiba bangkit. Tanpa berpamitan pada Dokter Yongki, Yonas berlari dengan cepat keluar dari area kost.
Dokter Yongki masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Yonas meninggalkannya sendiri dan tanpa pamit? Sekarang Dokter Yongki hanya bisa memandang canggung pada para penghuni kost yang juga tengah menatapnya, seperti menuntut penjelasan akan kegilaan Yonas.
***
Dokter Yongki masih kesal sebenarnya. Ia rela izin dari rumah sakit demi merawat pasien kesayangannya, berjalan jauh dari jalan raya ke kost, begitu sampai kost ternyata pasiennya kabur, teman si Pasien yang biasanya baik dan bisa diandalkan tiba-tiba mengamuk, lalu kabur.
Kurang sial apa dirinya?
Dokter Yongki harus pasrah berjalan sendirian untuk mengambil mobil di tepi jalan raya. Untung di Kediri belum ada ketegasan tentang sanki yang akan dikenakan pada pelaku parkir liar. Jadilah, mobilnya masih aman terkendali.
Amarah Dokter Yongki berhasil terkikis karena satu hal. Ia ingat benar bahwa rumah keluarga Yas tidak jauh dari sini. Ia sudah sangat merindukan mereka. Padahal selama ini semua masih tinggal di kota yang sama—kecuali Lintang dan keluar kecil yang besarnya, dan juga Jodi dan Bianca—tapi semua sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga jarang sekali bertemu.
Mumpung berada di sini, Dokter Yongki ingin mampir ke LUAlounge, sekalian temu kangen dengan Yas sekeluarga.
Mobil Dokter Yongki terparkir dengan sempurna karena arahan juru parkir LUAlounge yang luar biasa. Senyuman Dokter Yongki merekah melihat betapa indah, megah, dan ramainya LUAlounge. Tempat ini benar-benar menjadi hasil dari jerih payah dan usaha besar keluarga Athabarrack selama ini. Dokter Yongki ikut bahagia dan bangga karenanya.
“Silakan, Pak!” Seorang pelayan menyambut kedatangannya dengan ramah.
“Maaf, Mas. Saya temannya yang punya lounge ini. Temennya Yas sekeluarga. Mereka ada, Mas?”
“Oh, mereka ada, Pak. Tapi saat ini semuanya lagi si- ….”
“MAS YONGKI!” seru sebuah suara.
Dokter Yongki menoleh. Ternyata itu adalah Chico yang barusaja pulang dari majelis. Dokter Yongki dan Chico saling berpelukan. Saling melampiaskan kerinduan masing-masing.
“Tambah tinggi aka kamu, Co!” Dokter Yongki berjinjit berusaha menyamakan tinggi dengan Chico meskipun itu mustahil.
“Mas Yongki juga, tambah tua aja!” komentar Chico sembarangan. Seketika ia mendapat jitakan gratis dari Dokter Yongki.
Karena pertemuan Chico dan Dokter Yongki, pelayan tadi tak jadi menyampaikan bahwa pemilik lounge saat ini sedang sibuk semua dengan pelanggan. Chico segera memberitahu Yas dan Bu Alila tentang kedatangan Dokter Yongki.
Pasutri itu sangat antusias menyambut kedatangan sang Teman Lama. Salah satu partner terbaik yang sangat berjasa bagi kehidupan mereka. makanya mereka sama sekali tak ragu untuk menyerahkan urusan pada para karyawan. Meja kopi dihandle oleh Johnny, meja kasir juga dihandle oleh salah seorang karyawan.
“Ini Eren, ya? Ya Allah, cepet banget gedenya!”
Eren hanya tersenyum malu, bersembunyi di belakang b****g bundanya.
“Tapi si Nami mana, nih? Duh, paling kangen sama si Tahu Bulet!”
“Dia tadi saya suruh ke rumah uyutnya buat ngambil obat herbal buat Theo. Sampai sekarang belum pulang. Yuk, masuk dulu, Dok!” Yas mempersilakan dokter itu untuk lanjut masuk ke rumahnya.
“Halah, si Theo masih sering sakit aja?” tanggap Dokter Yongki.
“Udah lama, nggak, sih. Cuman akhir-akhir ini aja,” jawab Yas.
“Udah saya bilang, kan, Pak Yas. Si Theo kayaknya udah ngebet pengen nikah. Minta dicariin calon istri. Makanya jadi suka sakit lagi!” celoteh Bu Alila sembarangan.
Yas hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena pernyataan istrinya itu. Tapi anehnya, lama-lama ia jadi agak pro dengan pendapat itu. Apa benar Theo sakit karena sudah kebelet nikah?
“AYAH!”
Mereka semua—Yas, Bu Alila, Dokter Yongki, Chico, Eren—celingukan mencari sumber suara. Itu jelas suara Namira. Tapi bukannya gadis itu belum pulang dari rumah Nenek Widya? Dan anehnya, suara itu berasal dari dalam rumah.
“AYAH!”
Terdengar lagi. Kali ini suaranya makin dekat. Yas berjalan cepat menuju ke rumah. Di saat bersamaan, Namira muncul dari balik pintu masuk utama. Yas terkejut dengan kemunculan putrinya dari sana, mengingat setahunya anak itu belum pulang dari rumah uyutnya.
Namun Yas menyingkirkan rasa penasaran dan herannya. Karena Namira terlihat sangat panik dan ketakutan saat ini.
“Nami kenapa?”
Tak hanya Yas yang panik. Semua orangpun sama. Semuanya berbondong-bondong mendekati gadis itu.
“Ayah, tolongin … tolongin Kang Cilok!”
Yas dan semuanya semakin dibuat bingung dengan pernyataan Namira.
“Nami, maksud Nami apa? Kang Cilok kenapa?”
“Kang Cilok … Kang Cilok sakit! Dia ada di dalem!”
***
TBC