Theo menenggak satu botol berisi campurin kunyit, asam dan juga madu. Lelaki itu sebenarnya kurang suka dengan ramuan herbal seperti ini. Yas dan Bu Alila harus selalu memaksanya agar mau meminum jamu tradisional dengan baud an rasa yang aneh. Tapi kali ini, tanpa dipaksa sama sekali, Theo menandaskannya dalam sekejap.
Theo sedang kesal, marah, kecewa, khawatir, takut, gelisah, dan masih banyak lagi rasa yang menggumpal dalam d**a. Semua bercampur menjadi satu.
Tak hanya Theo yang merasakannya, semua anggota keluarga, Yas, Bu Alila, Chico, dan juga Eren yang sebenarnya belum mengerti dengan situasi yang mereka hadapi saat ini. Hanya saja ia bisa merasakan atmosfer suram yang menyelimuti orang-orang di sini.
Mereka tengah berada di ruang keluarga, yang letaknya berhadapan dengan kamar tamu. Kal El sedang mendapatkan perawatan dari Dokter Yongki di dalam kamar tamu itu.
Elang saat ini sedang dalam perjalanan pulang. Reaksinya nanti pasti tak jauh-jauh dari reaksi semua orang sekarang. Bahkan bisa jadi Elang akan memberikan reaksi yang lebih.
Sementara Namira? Gadis itu masih menangis dalam pelukan bundanya. Yas sudah berusaha bertanya tentang kronologi di balik peristiwa yang barusaja dilakukan oleh satu-satunya garis keturunan Athabarrack—sejauh ini—yang berjenis kelamin wanita. Yas benar-benar tak bisa percaya. Rasanya baru kemarin Namira lahir. Sekarang ia sudah bisa membawa pulang seorang laki-laki secara sembunyi-sembunyi.
“Tapi nanti jangan marahin Kang Cilok!”
“Jelasin dulu gimana kronologinya?”
Namira terisak lagi, kembali menenggelamkan diri dalam pelukan Bu Alila. Wanita itu secara otomatis mengeratkan perlukannya pada sang Putri Sulung. Ronanya menyiratkan pada Yas untuk tidak bertanya macam-macam dulu saat ini. Sementara Eren yang tetap juga belum mengerti dengan situasi yang terjadi, ikut memeluk erat bundanya dari belakang. Merasa pihatin dengan kakaknya yang menangis seperti bayi.
“Assalamualaikum!” salam Elang yang akhirnya datang. Ia segera pulang setelah mendapat kabar mengejutkan dari saudara kembarnya tentang kelakuan Namira. Padahal di pabrik sedang sangat sibuk tadi.
Tanpa Elang harus bertanya, semua orang sudah tahu apa maksud dari raut emosi Elang saat ini.
Elang menatap semua orang satu per satu. Yas yang memijat pelipisnya, Bu Alila yang mendapat pelukan dari depan oleh Namira dan pelukan dari belakang oleh Eren, Chico yang duduk diam di sebelah Theo, dan terakhir Elang memperhatikan adiknya yang membawa botol plastik kosong yang sudah rusak di sana-sini karena sengaja diremas—sebagai pelampiasan.
Elang beringsut menghampiri keponakannya. “Gimana ceritanya Nami bisa bawa Tukang Cilok ke rumah?”
“Tapi nanti jangan marahin Kang Cilok, ya, Oyang!”
“Nggak marahin gimana, orang dia udah berani-berani main sama kamu, sembunyi-sembunyi lagi!”
“Kang Cilok lagi sakit, Oyang, kasihan!”
“Nah, itu justru lebih parah lagi! Udah tahu lagi sakit, malah main-main. Itu udah bisa jadi alasan akurat bahwa kamu nggak boleh deket-deket sama dia. Jaga diri sendiri aja belum bisa. Apalagi jaga kamu!”
“Tapi Kang Cilok nggak salah, Oyang! Nami yang ngajak dia ke sini!”
“Kalo si Tukang Cilok adalah laki-laki baik-baik, dia pasti nggak akan mau diajakin pulang sama kamu. Dia seharusnya nolak.”
“Tapi Oyang, Nami yang maksa. Dan Kang Cilok nggak punya pilihan lain.”
“Nggak punya pilihan gimana?”
Namira memikirkan orang-orang berpakaian serba hitam yang selalu mengejar-ngejar Kal El. Namira tak tahu siapa mereka. Namun baginya, mereka sangatlah jahat dan mengerikan.
Namira ingin menceritakan masalah itu pada keluarganya. Tapi ia takut jika semua orang justru semakin berprasangka buruk pada Kal El. Mereka pasti akan mengira bahwa Kal El adalah seorang buronan atau sejenisnya. Sehingga ia harus selalu dikejar-kerjar oleh orang-orang itu.
“Pokoknya … Nami baru mau cerita, asal kalian semua mau berjanji, untuk nggak marahin Kang Cilok dan nggak nuduh Kang Cilok macem-macem!”
Theo menyeru dari tempat duduknya, memperkuat asumsi-asumsi yang diberikan oleh kakak kembarnya. “Tetep tergantung gimana kronologinya, Nami! Kita nggak bisa janji apa-apa, sebelum tahu gimana detail kronologinya.”
“Nami juga nggak mau cerita kalau kalian nggak berjanji dulu!”
“Tapi Nam- ….”
“Oke, deh!” sela Yas atas kata-kata Theo.
“Tapi, Yas ….” Theo dan Elang menyergah persetujuan Yas secara hampir bersamaan. Sayang, Yas sudah terlebih dahulu menyela lagi.
“Nggak apa-apa, Dek. Biar Nami cerita dulu. Apapun yang sebenernya terjadi, nanti kita pikirin dengan kepala dingin untuk mencari solusinya,” jelas Yas.
“Bener apa kata Pak Yas.” Chico membenarkan kata-kata kakak iparnya. Toh setelah Namira mengatakan bahwa ia selalu suudzon pada Kal El selama ini adalah benar adanya. Chico sudah menyadari semua itu. “Pasti ada solusi yang baik, tanpa kita harus menggunakan emosi.”
Theo dan Elang tadinya masih ingin menyanggah. Namun mereka pikir, dua pendapat dari Yas dan juga Chico adalah pilihan yang cukup bijak. Baiklah, mereka tidak akan emosi—berusaha menahan emosi lebih tepatnya—pada si Tukang Cilok, asal Namira mau menceritakan kronologi kejadian yang sebenarnya.
***
“Keluarga ini kenal baik dengan papamu, Kal.”
“Dokter udah bilang itu beberapa kali.” Siratan kekesalan dalam nada bicara Kal El terdengar kentara, meskipun suaranya terdengar lirih karena kondisinya yang masih lemah.
“Keluarga ini kenal baik dengan papamu, tapi kamu meminta saya untuk tidak mengatakan pada mereka bahwa kamu adalah anak dari Dokter Hengki?”
“Hanya jangan katakan pada mereka! Apa itu sangat sulit, Dok?” Wajah Kal El memelas. Ia memohon dengan sungguh-sungguh.
Entah hubungan macam apa yang pernah terjadin antara ayahnya dengan keluarga ini. Namun jika mereka sampai tahu jika ia adalah anak dari Dokter Hengki … huff … waktu itu Kal El terlanjur mengatakan pada Namira bahwa ayahnya adalah seorang gay.
Dengan tabiat Namira yang jujur, polos, sekaligus ceplas-ceplos, Kal El yakin, gadis itu sudah bercerita banyak tentang Kal El pada keluarganya. Termasuk tentang fakta bahwa ayah Kal El adalah seorang gay.
Mana Kal El tahu jika ternyata, keluarga ini mengenal ayahnya. Tahu begitu, Kal El tidak akan pernah jujur pada Namira tentang sebabnya kabur dari rumah.
Keluarga ini pasti terkejut mengetahui aib dari ayahnya. Mereka pasti terkejut bahwa ternyata Dokter Yongki yang mereka kenal selama ini adalah seorang gay.
“Terserah Dokter saja. Dokter boleh terus terang sama mereka. Tapi aku nggak mau nerusin pengobatan. Kalau Dokter bersedia untuk tutup mulut, pengobatanku lanjut.”
“Kamu ngancem saya?”
“Saya cuman ngasih pilihan.”
“Pilihannya jelek banget!”
“Saya tahu!” cuek Kal El.
***
“Gimana keadaannya Kang Cilok, Oom Dokter?” tanya Namira setelah Dokter Yongki keluar dari kamar tamu.
Anggota keluarga yang lain terlihat menahan berusaha memaklumi kelakuan Namira. Gadis itu sudah banyak menangis sebelum dan saat bercerita tentang kronologi sebenarnya di balik peristiwa membawa pulang Tukang Cilok. Mereka tak ingin membuat gadis itu semakin sedih. Meskipun pada kenyataannya, mereka kesulitan menahan diri untuk tidak berprasangka buruk pada Kal El.
“Nggak baik, Nam,” spontan Dokter Yongki. Dokter itu kemudian menutup mulutnya sendiri karena keceplosan.
“Ya Allah, nggak baik gimana?” Air mata Namira sudah menetes lagi. Kedua tangannya memegangi d**a. Tanda dirinya terguncang karena sang Pujaan Hati tidak dalam kondisi yang baik.
Tak hanya Namira, anggota keluarga yang lain juga terlihat terkejut. Kal El memang kelihatan sangat sakit saat mereka berbondong-bondong menolongnya tadi. Tapi mereka pikir, pemuda itu hanya sakit biasa. Bukan sakit serius, yang membuat seorang dokter spesialis seperti Dokter Yongki ini mengatakan bahwa keadaannya tidak baik.
“M-maksud Oom Dokter … aduh, gimana, ya.” Dokter Yongki kelabakan sendiri. “Gini, Kal El itu adalah pasiennya, Oom. Dia udah lama sakit. Dan sedang menjalani pengobatan supaya bisa cepat sembuh. Karena hari ini penyakitnya kambuh, makanya Oom bilang bahwa keadaannya nggak baik. Gitu.”
“E-emangnya Kang Cilok sakit apa, Oom?” tanya Namira masih dengan air mata yang berlinang.
Dokter Yongki bingung harus menjawab pertanyaan Namira atau tidak. Membongkar rekam medis seorang pasien adalah sebuah pelanggaran. Namun jika ia tidak menjawab, gadis kecil ini pasti akan semakin sedih. Apalagi Kal El adalah cinta pertamanya.
Saat pertama kali mengetahui bahwa Kang Cilok yang dimaksud oleh Namira adalah Kal El, Dokter Yongki merasa senang sekaligus bingung. Senang karena akhirnya Kal El ketemu, bingung karena ia malah ditemukan bersembunyi di rumah Yas. Dan tersangka yang menyembunyikannya adalah Namira.
Setelah ia mendengar penjelasan singkat dari Bu Alila, ia akhirnya tahu sedikit dari kisah Namira dan si Tukang Cilok. Jujur, ia baru tahu jika Kal El bekerja sebagai pedagang cilok. Pantas saja penyakitnya menjadi semakin parah dalam waktu sekejap. Pasti karena Kal El terlalu banyak pikiran dan juga kelelahan.
“Uhm ….” Baru juga Dokter Yongki membuka mulut untuk berusaha ngeles dari pertanyaan Namira, Yas sudah menyelanya.
“Nami, seorang dokter nggak boleh bongkar penyakit pasiennya sembarangan, kecuali sama wali sah si Pasien,” jelas Yas pada sang Putri. “Nami mau Oom Dokter kena hukuman?”
Nami menggeleng. “Tapi Nami pengen tahu, Yah.”
“Nami!” peringat Yas.
“Iya, deh. Nami diem.”
Dokter Yongki sangat bersyukur atas apa yang dilakukan oleh Yas. Dengan begini, ia tak perlu repot-repot mencari alasan.
“Lalu sekarang kita harus gimana, Dok?” Yas lanjut bertanya pada Dokter Yongki. “Kalau memang kondisinya nggak baik, kenapa nggak dibawa ke rumah sakit aja?”
“Saya pengennya juga gitu, Pak Yas. Tapi Kal El-nya nggak mau. Dia nggak mau ketemu sama ayahnya di rumah sakit.”
“Ketemu ayahnya di rumah sakit?” Theo kali ini. “Ayahnya adalah seorang …?”
“Ayahnya adalah seorang dokter,” jujur Dokter Yongki. Hanya sebatas itu. Karena ia sudah berjanji pada Kal El untuk tutup mulut.
“Makin curiga. Ayahnya dokter, tapi anaknya jualan cilok, mana hampir setiap hari dikejar-kejar sama orang-orang berpakaian serba hitam. Sebenernya apa masalahnya?” cerocos Elang.
“Nah, itu. Saya juga nggak tahu, Lang,” jujur Dokter Yongki. “Yang jelas Kal El mau lanjutin pengobatan, asal dia nggak dibawa ke rumah sakit. Saya beneran nggak tahu apa masalah Kal El dengan ayahnya. Tapi perkembangan kondisi Kal El adalah tanggung jawab saya sebagai dokternya. Saya cuman pengen Kal El sembuh.”
Semua orang terdiam dengan pikiran masing-masing. Kecurigaan mereka terhadap Kal El masih ada, namun sudah banyak berkurang. Mereka belum bisa menghilangkan kecurigaan sepenuhnya, jika masalah antara Kal El dan ayahnya belum jelas adanya.
“Sekarang saya mau minta tolong sama kalian,” lanjut Dokter Yongki.
“Minta tolong apa?”
“Begini, kost-nya Kal El sebenernya nggak jauh dari sini. Hanya saja masuk ke gang tikus cukup jauh. Jalan tikus itu cuman muat dilewati dengan berjalan kaki. Dengan kondisi Kal El sekarang, sepertinya dia nggak bakal kuat jalan kaki sejauh itu. Jadi ….”
“Nggak bisa, Dok!” sergah Elang segera.
“Iya, nggak bisa!” Theo ikut-ikutan. “Di rumah ini ada seorang anak gadis. Dan kami harus menampung seorang pemuda asing? Mancing fitnah!”
“Tolonglah, Lang, Yo! Ini mendesak. Kasihan Kal El.” Dokter Yongki berikeras.
“Tanya si Chico itu yang lulusan pesantren, Dok. Hal seperti itu, nggak boleh. Karena mancing fitnah. Iya, kan, Co?”
Chico gelagapan. Apa yang dikatakan Theo adalah benar. Namun di dalam agama juga dianjurkan untuk saling tolong menolong. Benar kata Dokter Yongki. Kasihan Kal El.
“Nggak apa-apa. Biarin dia tinggal di sini sampai kondisinya cukup sehat untuk kembali ke kost!” putus Yas.
“Tapi, Yas ….”
“Nanti Mas akan ke rumah Pak RT buat laporan bahwa kita kedatangan tamu. Dengan begitu, warga nggak akan bicara ini itu. Apalagi sampai memfitnah.”
Theo dan Elang saling berpandangan. Lagi-lagi Yas membuat keputusan yang agaknya mereka tentang, namun tidak bisa, karena keputusan itu sangat masuk akal dan logis.
***
TBC