Harumnya krengsengan ayam, menarik perhatian semua hidung yang ada di rumah ini. Sesekali mereka harus bersin karena aroma cabai yang menusuk. Namun itu tidak masalah. Karena setelah ini, output-nya adalah kepuasan makan tiada tara.
Nasi hangat berpadu dengan pedas dan krengsengan ayam. Salah satu surge dunia yang wajib diapresiasi sekaligus disyukuri.
“Nona tega banget! Udah tahu aku lagi sakit perut. Malah masak beginian!” Theo berkacak pinggang di sebelah Bu Alila yang masih asyik mengaduk ayam dalam wajan, sembari menungu bumbu meresap ke dalam daging para ayam.
“Kan Nona udah masak yang spesial buat kamu.” Bu Alila menunjuk panci di atas kompor sebelah. “Bubur ayam!”
“Tapi beda, Nona. Yakali bubur disamain krengsengan!”
“Yang penting sama-sama ayam,” jawab Bu Alila sekenanya.
Elang mengintip ke dalam kamar tamu melalui celah kunci. Pandangannya sangat terbatas, namun cukup untuk mengawasi apa yang dilakukan keponakannya di dalam sana bersama si Tukang Cilok. Selama Namira tetap diam dan menatap Tukang Cilok yang sedang tidur, tanpa berkedip, seperti itu. Elang tidak akan berbuat macam-macam.
Chico terlihat menuruni tangga bersama Eren. Mereka terlihat sudah segar. Mereka mengenakan setelan sarung dan baju koko. Barusaja menunaikan sholat dhuhur. “Elang sama Mas Bro, sholat dulu sana! Habis sholat nanti makan siangnya pasti udah siap.”
“Ntar bareng Elang, biar bisa jamaah. Kan pahalanya lebih banyak kata lo!” jawab Theo.
“Ntar dulu, gue masih ngawasin Nami, nih!” kata Elang tanpa mengalihkan pandangan dari lubang kunci.
“Astagfirullah, sholat nggak boleh ditunda-tunda. Buruan!”
“Yaudah, lo gantiin gue ngawangin Nami sini!” ketus Elang.
“Ngapain diawasin segala, coba? Kal El lagi sakit. Nami lagi sedih. Mereka nggak mungkin ngapa-ngapain!”
Sebuah jawaban dari Chico yang sukses menciptakan kerutan di kening Theo dan Elang.
“Lo barusan ngomong apa, Co?” Elang ingin memastikan bahwa ia tak salah dengar.
“Jangan bilang lo sekarang pro sama Yas. Jangan bilang lo sekarang restuin Nami deket-deket sama si Tukang Cilok!” semprot Theo tanpa jeda.
“Tenang-tenang!” Chico berdeham. “Gue bukannya pro sama Pak Yas. Gue juga belum ngasih restu buat Nami deket-deket sama Kal El. Tapi ….” Chico mengelus d**a. Seperti merasa bersalah.
“Astaghfirullah,” lanjutnya. “Selama ini gue sering bilang ke orang-orang. Bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Tapi, ternyata gue sendiri telah memfitnah Kal El yang tidak-tidak selama ini. Bersama dengan Mas Bro dan juga Elang.”
“Co, lo ngomong apaan, sih?” Theo terlihat tidak terima. Begitu juga dengan Elang.
“Kita selama ini selalu berprasangka yang tidak-tidak pada Kal El, tanpa bukti yang jelas. Kita nuduh bahwa dia bukan orang yang baik, hanya karena dia jualan cilok. Apa kalian nggak sadar? Kita udah jahat banget selama ini.”
“Tapi, Co, Nami masih kecil. Dan Tukang Cilok itu udah gede. Mereka nggak pantes deket-deket. Nami bisa dewasa sebelum waktunya!” Theo berkoar-koar.
“Dan apa lo lupa apa kata Dokter Yongki tadi? Dia kabur dari rumah tanpa sebab yang jelas. Dia juga selalu dikejar orang-orang nggak jelas setiap hari. Lo rela Nami deket-deket sama orang macem itu?”
Chico menggeleng. “Gue ngerti sama kekhawatiran kalian. Karena gue juga ngerasain kekhawatiran yang sama. Tapi … nggak sepantesnya kita nge-judge Kal El. Itu nggak adil buat dia. Kita udah bertindak egois karena terlalu ingin melindungi keponakan kita.”
“Ya Allah, adeknya Mbak pinter banget,” puji Bu Alila. Wanita itu mematikan kompor, memindahkan krengsengan ayam dari wajan ke dalam sebuah wadah besar.
Sementara itu, Theo dan Elang sedang cemberut ria. Merasa tak ada yang membela mereka. Baiklah, Kal El sudah merebut hati seluruh penghuni rumah ini. Hanya tinggal mereka berdua yang belum terhasut dan terjerumus. Mereka tidak akan menyerah dalam melindungi Namira. Apapun akan dilakukan, selama mereka berada di jalan yang benar. Ehem … menurut mereka benar.
“Lhoh, Johnny!” seru Bu Alila. “Sini, John! Mau makan siang duluan apa gimana?” tanyanya.
Johnny terlihat kikuk keluar dari persembunyiannya. Sial. Padahal ia sedari tadi berusaha tidak menunjukkan diri. Tapi malah ketahuan oleh istri bos besar. Salahkan tinggi badannya yang di atas rata-rata.
“Ng-nggak, Bu. Saya mau ke toilet. Tadi di depan penuh toiletnya.”
“Ealah. Kirain udah laper. Yaudah buruan sana! Jangan ditahan nanti jadi penyakit.” Bu Alila tertawa mengakhiri kata-katanya.
Johnny hanya mengangguk, bergegas menuju ke toilet terdekat. Johnny tidak berbohong tentang alasannya tadi. Setelah Yas kembali menjalankan tugasnya di LUAlounge, Johnny merasa sangat lega karena ia sudah lama menahan hasrat ingin kencing. Pelanggan tidak berhenti datang, ia bahkan tak ada waktu hanya sekedar untuk memenuhi panggilan alam.
Sayangnya, saat sampai toilet, semua sekat yang ada sedang penuh. Bahkan antrean di luar cukup panjang. Makanya Johnny berlari ke rumah untuk numpang di rumah sang Bos. Belum juga melewati ruang keluarga, Johnny mendengar di dapur sangat ribut.
Johnny tidak akan ikut campur urusan keluarga ini. Karena ribut adalah salah satu kebiasaan semua anggota keluarga di sini, yang sepertinya tidak bisa diubah sampai kapanpun. Namun dalam keributan kali ini, ada sebuah nama asing yang disebut-sebut.
Kal El.
Sebuah nama yang nyeleneh. Sebuah nama yang mungkin hanya dimiliki oleh beberapa orang saja di dunia. Sebuah nama yang mungkin hanya dimiliki satu orang saja di Kediri. Dan Johnny mengenal orang itu. Lebih tepatnya, pernah mengenal dengan sangat baik.
***
Bu Alila memasuki kamar tamu dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur ayam dan juga s**u segar. Ia berjalan pelan-pelan, takut membangunkan si Pasien yang masih tidur nyenyak.
Namira hanya menatap bundanya meletakkan makanan milik Kal El di atas nakas.
“Ayo makan siang dulu, Nak!” ajak Bu Alila.
“Nami nggak nafsu.”
“Ya tetep harus makan.”
“Tapi Kang Cilok belum makan.”
“Dia masih tidur, nanti kalo udah bangun biar langsung makan.”
“Ntar Nami makan bareng sama Kang Cilok aja.”
“Nami, jangan gitu dong, Sayang! Ayuk, makan sekarang. Nanti kalo Nami ikut-ikutan sakit, Bunda jadi sedih.” Bu Alila memelas.
Namira akhirnya luluh. “Iya, deh, iya.”
Mereka berjalan beriringan menuju ke meja makan. Sudah setahun ini, Namira telah mencapai tinggi setara dengan bundanya itu. Sebentar lagi, bundanya akan disalip. Dan sukses menjadi orang tercebol di rumah ini.
Di ruang makan, semua anggota keluarga sudah berkumpul. Tinggal menunggu Bu Alila dan Namira saja. Mereka berdua segera duduk di tempatnya masing-masing. Tak ingin membuat yang lain menunggu lebih lama.
“Duh, nungguin kamu keburu nempel usus-ususnya Oyang!” protes Elang.
“Ngapain juga nungguin orang tidur? Kalo Oyo sakit aja nggak pernah ditungguin!” Theo ikut-ikutan protes.
Tak seperti biasanya, Namira tidak berniat membalas omongan para Oom. Ia masih marah pada mereka yang tadi sibuk memberikan tuduhan macam-macam pada Kal El. Juga marah karena mereka terus-meneru mengomel padanya.
“Mungkin kamu harus jualan cilok dulu, Yo. Baru Nami mau nungguin!” Justru Bu Alila yang menanggapi.
“Nona juga sama aja. Cuman Tukang Cilok yang makan siangnya dianterin. Aku nggak!”
“Ya Allah, kemarin pas kamu nggak bisa bangun, kan, Nona anterin, Yo. Yaudah, kamu balik ke atas sana, pasang infus kayak si Kal El! Ntar Nona anterin makannya!”
“Nona, mah, gitu sama aku! Kejam!” Theo melengos, kesal setengah mati.
“Eh, udah-udah. Kalo ngomong terus, kapan makannya?” Yas segera menengahi. “Eren, pimpin doa, Nak!”
“Oke, Yah!” jawab Eren kegirangan. “Bismillahirrohmanirrahiim. Bismika- ….”
“Itu doa sebelum tidur, Ponakan Oom yang Ganteng!” koreksi Chico cepat-cepat.
“Eh, iya, kebalik!” Eren cengengesan. Disambut tertawa dari seluruh anggota keluarga. Eren memang selalu seperti itu. Suka terbalik antara doa sebelum makan dan sebelum tidur. Kalau doa keluar rumah dan masuk kakus, Eren hapal.
Eren berdeham sebelum mengulangi prosesi memimpin doanya. “Bismillahirrohmanirrahiim. Allahumma bariklana fiima rozaktana waqinaa azabannar. Aamiin.”
“AAMIIN!” koor seluruh anggota keluarga.
Suara gemerincing sendok dan garbu yang beradu dengan piring segera memenuhi suasana. Kebiasaan makan di rumah ini dilakukan secara bergilir. Bos besar dan seluruh anggota keluarga mendahului makan. Kemudian baru para karyawan. Atau kadang bisa juga sebaliknya. Menyesuaikan dengan situasi dan kondisi saja. Mereka bergantian, agar tidak tumpang tindih dalam melaksanakan tugas masing-masing. Setidaknya bila yang lain sedang makan, ada orang di depan yang bisa melayani pelanggan.
“Yah, Nami boleh nanya?” tanya Namira di sela-sela aktivitas mengunyah.
“Nanya apa?” tanggap Yas. Meskipun hanya menanggapi dengan santai, namun sebenarnya ia sedang menerka apa yang akan ditanyakan oleh putrinya. Kemungkinan besar, masih berhubungan dengan Kal El.
“Oom Dokter itu spesialisnya di bidang apa?” Nami bertanya tentang Dokter Yongki.
Iya, kan? Namira masih kepo, ingin tahu apa penyakit Kal El. Makanya ia menanyakan hal itu.
“Aduh, Ayah lupa. Apa, ya?” Yas berusaha mengingat-ingat. “Kamu tahu, Dek? Mas lupa, nih!”
“Dulu spesialis internist. Tapi dia sekolah lagi. Ambil subspesialis yang lebih spesifik. Gue lupa juga apaan subspesialisnya!” jawab Theo. “Chico mungkin tahu.”
“Nggak tahu, Mas Bro. Setahu gue juga, cuman spesialis penyakit dalam aja. Nggak tahu subspesialisnya apa.” Chico menjawab apa adanya. “Elang kali tahu!”
“Kalo nggak salah, subspesialisnya tentang alergi imunologi gitu. Kalo nggak salah, lho, ya!” Elang buru-buru menelan makanan yang dikunyahnya. “Yaudah, balik pabrik dulu!” pamitnya seraya menyalami anggota keluarganya satu per satu.
“Nggak nambah, Lang?” tanya Bu Alila.
“Ntar aja, Nona. Udah telat. Nanti pada ngawur semua kerjaannya kalo nggak diawasin. Yaudah, ya. Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam!” koor semuanya—kecuali Namira.
Namira hanya menjawab dalam hati. Sementara jemarinya tengah sibuk mengetik tentang alergi imunologi pada kolom pencarian di handphone. Tanpa sepengetahuan gadis itu, sang Ayah selalu mengawasinya.
***
Sore menjelang malam di rumah sakit. Dokter Yongki bersantai karena akhirnya semua pekerjaannya telah selesai. Ia bersandari pada mahkota kursi, dengan mata terpejam.
Sampai ia mengingat sesuatu. Seketika ia berdiri, dengan mata melotot cukup lebar.
Ya Tuhan! Ia lupa belum mengabari Yonas kalau ia sudah menemukan Kal El. Pasti Yonas masih sibuk mencari Kal El sampai sekarang.
Mengingat tadi siang Yonas begitu marah karena Kal El hilang, tak menutup kemungkinan, emosi tinggi itu masih menyertainya selama proses pencarian.
Dokter Yongki hanya takut, jika Yonas kembali kehilangan kendali dan melakukan sesuatu di luar dugaan.
***
TBC