Hantu Kamar Mandi

1912 Kata
Hantu Kamar Mandi GAWAI Dani berdering. Panggilan dari Fian. Dani yang sedang gembira, bertambah kegembiraannya menerima telepon dari seorang sahabatnya. Ia tak peduli dengan tubuhnya yang bertelanjang d**a. “Hai, Fiaaaaan!” Dani nyaris bersorak saking girang. “Apa kabar, Dani?” yang menelepon tak kalah girang. “Baik, Fi. Kamu sendiri?” “Seperti yang kamu pikirkan, hehehe.” “Emang apa yang aku pikirkan tentangmu?” “Tentu saja kebahagiaan, Dan.” “Jadi, kamu lagi bahagia?” “Begitulah...” “Syukurlah.” “Aku dibolehin kuliah sama ortuku, Dan, asal yang biayanya terjangkau.” “Alhamdulillah. Ayo, kuliah di daerah sini, ada kampus baru yang lagi menerima mahasiswa baru, Fi. Kalau kamu berminat. Katanya, biayanya murah dan ada beasiswa kalau nilai kita bagus.” “Waaah, info bagus tuh, Dan! Perlu dipertimbangkan!” “Minat?” “Jurusan Teknik?” “Ada.” “Asyiiiik. Aku bicara lagi sama ortu, ya? Tapiiii... nanti aku kos di mana, Dan? Aku kan belum tahu lingkungan situ!” “Kalau soal kos, gampang laaaah, di tempatku ini juga masih banyak kamar kosong!” “Mahal nggak?” “Buatmu, super muraaaah!” “Mmm, aku harus ngomong dulu ke ortu, soal biaya sewa kamar!” “Fi, kalau kamu trekendala dengan sewa kamar, untuk sementara, kamu bisa nebeng dulu di kamarku!” “Ah, yang bener, Dan! Dibolehin gitu?” “Pastiiiii, induk semangnya baik banget dan pengertian apalagi sama yang kantongnya kempes kayak kamu hehehehehe!” “Sialan kamu!” rutuk Fian tapi lalu tertawa juga. “Tapi, keuntungan juga, ya!” “Iya, makanya ayo diskusikan lagi sama ortumu! Aku tunggu kamu di sini, ya? Jangan lama-lama, biar kita bisa berkumpul lagi!” “Mmmm, Dan, tapi kamar yang kamu huni, amankah?” “Aman gimana maksudmu?” “Ng.. nggak ada hantu-hantuan!” “Nggak! Yang ada... hantu beneran!” seru Dani. “Eh, bohong! Di sini... terutama kamarku, aman dari hantu.” “Wah, aku jadi nggak sabar pingin ke kamarmu!” “Ayo, segera meluncur!” “Siaaap... Dan! Setelah semua siap!” “Sip! Dirga... kabarnya gimana?” “Aku dan lama nggak kontakan.” “Lho, ko gitu sih?” “Waktu itu nomornya nggak aktif! Nanti lah aku cek ke rumah dia langsung!” “Siiip, semoga dia juga ada niat dan minat untuk kuliah dan kita bersama lagi!” ucap Dani penuh harap. Perbincangan pun berakhir. Fian berjnaji akan meneleponnya lagi jika sudah ada kesepakatan baru dengan kedua orang tuanya. Dani menghela napas. Ia merindukan berkumpul dengan Fian dan Dirga. Apalagi bisa bersama di pondokan ini. Mereka juga pasti betah tinggal di sini, pikirnya. Pondokan bagus, bersih, dan bebas dari hantu. Selama tinggal di sini, Dani bersyukur tak pernah mengalami kejadian aneh lagi. Tak ada penampakan apa pun. Atau sekadar suara. Semoga tak akan ada, doanya dalam hati. Meski, ada yang sangat disesalkan dari pondokan ini. Tak ada penghuni perempuan. Padahal kalau ada, apalagi banyak, tentu ia akan lebih betah. Ia pun mulai membereskan kamarnya dengan suka cita. Sembari mendengarkan musik dari laptop miliknya. Kuliah pagi sudah dilaluinya dan ia tak memilih nongkrong di kampus. Namun, segera pulang ke pondokan. Ray pun dibiarkan masih di sana. Beres menata kamarnya, mata Dani mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kamar. Perabot baru dari mulai kasur busa super yang maha empuk dilapisi seprei tebal dan hangat. Lemari kayu kecil juga meja belajar kecil yang juga berfungsi menaruh laptop dan buku-buku kuliahnya. Kamar ini tampak baru lantaran pemilik pondokan sengaja memasang perabotan baru di beberapa kamar. Untuk menarik minat para calon penghuni kamar. Dan memang, Dani benar-benar jatuh cinta pada kamar ini. Beruntung, tempo hari sempat ke pondokan ini bersama Ray, meski ia tak sempat mengecek kamar demi kamar. Ia tak menduga sama sekali jika kondisi kamar bisa sebagus ini. Lebih bagus ketimbang kamar di pondokan Cika. Di sana, meski fasilitas di dalam kamar sudah disediakan, tapi perabotannya tidak baru. Bekas pakai. Sebaliknya di kamar ini, serba baru. Lagi-lagi, Dani mengulas senyum. Ia bangga dengan kamarnya dan tak ragu mengajak banyak teman kuliah ke sini. Tidak malu-maluin. Ia pun rajin membereskan isi kamar. Tambah semangat karena kepuasan pada kondisinya. Sudah dua minggu, ia menjadi mahasiswa di kota ini. Namun, belum sebulan menghuni kamar ini. Selama sebulan ini pun, ia dan Ray belum pulang kampung. Masih rindu dengan suasana kota ini. Kampusnya. Pondokannya. Dan terlebih, kamarnya. Kamar Ray pun tak jauh beda. Jarum jam pendek mengarah ke angka dua belas, ketika bibir Dani tersenyum puas. Ia harus berterimakasih lagi pada Ray, yang telah memilihkannya kamar kos yang nyaman. Tubuhnya yang kurus loncat ke atas kasur, membaringkan tubuh, lalu menatap langit-langit kamar yang bersih. Ia pun tidur siang. Dan terbangun pukul dua siang. Ia pergi ke luar pondokan. Cari makan. Makan di sana. Lalu kembali ke pondokan. Rebahan lagi. Menikmati sepenggal hari di dalam kamar. Malam nanti… ia akan mengajak Rio teman sekelasnya untuk menginap di sini, berhubung ada tugas dari dosennya yang killer. Ia tak bisa memaksa Ray ketika sahabatnya itu malah menginap di tempat kos Cika. Setengah jam lalu, Ray meneleponnya. Alasan, mengajari dua orang teman sekelas juga yang kebetulan kos di sana. Memang, Ray mengajak Dani serta agar bisa berempat belajar bersama. Namun, Dani tentu menolak keras meski melintas di pelupuk matanya, wajah cantik Cika. Dienyahkan rasa rindu pada Cika yang memang masih dirasakannya. Terlebih, ia mulai merasa, jika Cika hanya menganggapnya seorang adik. Sama halnya pada Ray. Lagipula, ia tahu jika di kota ini, banyak cowok yang menaruh hati pada Cika, salah satunya Angga. Lantaran merasa tak enak hati pada Cika dan induk semangnya, Ray mencari dua orang yang bersedia kos di tempat itu. Keduanya teman sekelas yang langsung menerima tawaran Ray. Tentu saja, tergiur dengan fasilitas lengkap dan biaya sewa per bulan terjangkau. Dani geli sendiri, mengingat kedua teman itu yang tak tahu jika Ray sengaja ‘menumbalkan’ di tempat kos Cika yang banyak hantu. Rasain kalian berdua kalau ketemu perempuan berambut panjang yang bergaun putih! Ledek Dani dalam hati menahan tawa. Ia sendiri merasa beruntung mendapat kamar kos yang membuatnya yakin akan betah. Dan bebas dari gangguan makhluk halus. Dani bersiul-siul kecil. Saban langit sudah dipoles gelap, ia masih rajin menata kamar. Padahal sebelumnya sudah teratur, tapi ia suka penasaran ingin merubahnya lagi. Efek kamar yang bagus membuatnya kian semangat. Apalagi akan kedatangan teman sekelas yang mau menginap. Teman baru pun membawa semangat baru. Meski teman lama tak mungkin bisa dilupakan. Seperti Fian dan Dirga. Pukul sembilan belas, temannya itu sudah tiba. Namanya Rio. Membawa dua bungkus nasi untuk makan malam bersama. Dani tak menyia-nyiakan kesempatan. Langsung menyantapnya dengan sangat lahap. Usai makan, mereka pun mengobrol asyik diselingi tawa lantaran membahas cewek-cewek genit di fakultas Ekonomi. Hingga pukul dua puluh, mereka masih mengobrol. Kemudian, mata Dani tak kuat menahan kantuk. Ia pun tertidur. Membiarkan temannya melek sendirian. “Daaaan, katamu... kita mau kerja kelompok!” seru Rio pada Dani. Namun Dani tak mendengarnya. Ia tak memedulikan suara Rio karena tak kuat menahan kantuk yang luar biasa. Rio menghela napas sesaat. Lalu mengeluh pelan. Namun, terpaksa mengerjakan makalah sendirian saja. Tak berani memaksa Dani apalagi temannya itu sudah terseret ke alam mimpi. Malam bergerak perlahan. Dindin. Senyap. Rio masih berkutat dengan makalahnya di depan meja. Sementara Dani terkulai lemas di kasur setelah setengah jam lalu, perutnya kekenyangan dengan masakan Sunda yang menggugah selera tak kalah dengan masakan Kapau, kesukaannya. Rio geleng-geleng kepala. “Jadi lo ajak gue nginep di sini… buat ngerjain tugas sendiri… sementara lo asyik mimpi!” gumam Rio pelan. Kamar sunyi. Hanya detak jam dinding yang bersuara diselingi helaan napas Rio. Ia pun masih konsentrasi penuh dan berniat menyelesaikan tugas. Namun, matanya pun mulai terasa agak berat. Dicoba bertahan. Tak bisa dilawan. Dicoba lagi ditahan. Ketika kantuk menyerangnya lagi, tiba-tiba…. Trek trek trekkk Dada Rio berdegup. Suara itu berasal dari kolong meja. Dahinya mengernyit. Treeeeeeeeeeeeeeeeekkk Dada Rio kembali berdegup. Entah kenapa tiba-tiba bulu kuduknya berdiri. “Hik… hik… hiks…” Jantung Rio serasa mau lepas. Suara itu, seperti suara tangisan dan suara perempuan. Siapakah? Penghuni pondokankah? Kamar sebelahkah? Tadi Dani sempat cerita padanya, kamar sebelah, baik yang sebelah kiri kamar Dani maupun sebelah kanannya, masih kosong. Dan Ray, tak jadi menghuni kamar sebelah. Ia pindah ke kamar yang agak jauh karena sebuah alasan. Sementara, pondokan ini belum menerima penghuni yang berjenis kelamin perempuan. Begitu info dari Ray pada Rio ketika mengobrol di kampus kemarin siang. Kalau begitu, siapa perempuan yang menangis tadi? Dada Rio berdegup lebih keras. Diliriknya Dani mendengkur halus. Sepertinya dibuai mimpi. Rio memasang telinga baik-baik sembari mengumpulkan keberanian. Ia berusaha melawan rasa takut yang semakin menyerangnya ketika suara tangisan itu kembali menerpa telinganya. Satu kali, dua kali, hingga berkali-kali. Suara itu semakin jelas, dan Rio yakin… datangnya dari kamar mandi! Tanpa diduga, dengan segenap keberanian yang tiba-tiba muncul… tubuhnya bangkit, lalu membuka pintu kamar mandi. Namun, tak ada siapa-siapa. Suara itu pun tak ada. Tubuhnya gemetar. Keringat mulai membasahi tubuhnya yang kurus tinggi. Rio kembali ke tempat semula. Duduk. Mencoba menenangkan diri. Namun baru beberapa detik degup di dadanya mereda, suara itu pun kembali terdengar. Lebih keras. Lebih sering. Dan masih seperti sebelumnya, berasal dari kamar mandi itu! Ia yakin seyakin-yakinnya! Rio bukan anak penakut tapi juga tak bisa dikatakan pemberani. Malam ini terasa mencekam. Matanya tak bisa dengan jelas mengawasi jarum jam pendek mengarah di angka berapa. Ketika suara itu kembali terdengar, bulu kuduknya pun kembali berdiri. Kini, disertai tiupan angin entah darimana yang mengarah ke kuduknya. Dingin. Sangat dingin. Tubuhnya seketika beranjak. Bergerak cepat. Menghampiri pintu kamar. Membuka handle pintu. Menyeret sandal menjauh dengan gegas. Menuruni tangga. Tanpa menghiraukan malam yang gelap, Rio lari terbirit-b***t meninggalkan pondokan dimana Dani masih mendengkur halus. Berlari menembus malam dengan berjalan kaki lantaran tak membawa motor. Suara tiang listrik yang dipukul petugas ronda, membuat Dani terjaga. Kerongkongannya kering. Tubuhnya pun kegerahan. Ia tak sadar Rio telah pergi ke pondokannya yang terdapat di ujung jalan besar. Matanya terkuak. Tubuhnya pun bangkit. Kamar terang. Dituangkannya air mineral dari teko plastik ke dalam gelas kecil hingga penuh. Lalu diteguknya. Ia pun duduk di atas kursi menghadap meja. Makalah yang tadi dikerjakan Rio, tak menyita perhatiannya ketika dari bawah kolong meja terdengar sebuah suara. Trek trek trek trek Berkali-kali. Trek trek trek trek Berbunyi lagi. Bukan suara cecak ataupun binatang lainnya. Dani yakin. Suara yang entah suara apa tapi membuat bulu kuduknya merinding bukan kepalang. Treeeeeeeeeeeekkk Dani nyaris loncat dari tempat duduknya ketika ketakutan mulai menguasainya. Lalu dari dalam kamar mandi, terdengar suara tangis seorang perempuan. d**a Dani berdegup lebih kencang. Suara itu pun kembali terdengar malah memanggil namanya. “Daniiiiii…” Dani yang selama hidupnya, sudah pernah bertemu beberapa kali dengan makhluk halus, tetap tak bisa bertahan dan melawan rasa takut. Malam ini tenggorokannya terasa tercekik. Ingin menjerit tapi tak bisa. Akhirnya ia cuma bisa duduk tak bergeming, seperti terpasung dalam kursi, dengan mulut yang terbuka tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Matanya terbuka lebar. Telinganya kembali menangkap bunyi di bawah kolong meja. Bunyi seperti tadi. Entah mengapa… tangannya tanpa disadari menyentuh sesuatu di bawah kolong meja. Ia pun tak ingat mengapa tangannya bisa berada di bawah kolong meja. Beberapa detik kemudian, tangannya menyentuh benda lunak dan basah tapi penuh bulu. Mata Dani semakin terbuka lebar, ketika tangannya keluar sendiri dari bawah. Bukan hanya tangannya. Namun di atas telapak tangan kanan… sebuah kepala berdarah dengan darah bercucuran, tampak jelas. Leher Dani semakin tercekik ketika bertatapan dengan mata sang pemilik kepala.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN