Tetangga Baru

1913 Kata
Tetangga Baru “INDAAAAAAAAAH!” dari luar rumah Indah, ada yang teriak. Indah pura-pura sibuk di depan bukunya. Namun dari luar, Ben, cowok yang rumahnya membelakangi rumah Bunda Dewi itu, berteriak lagi. “Buka dong pintunya, Ndaaaaaah!” Dengan malas dan diselingi gerutu kecil, Indah menyeret sandal yang biasa dipakai di dalam rumah. Menuju ruang depan lalu menguakkan pintu. Ben cengengesan melihat cewek yang disukainya cemberut. “Bunda Dewi telepon aku minta nemenin kamu malam ini,” kata Ben penuh harap. Ben anak adiknya suami Bunda Dewi. Berarti, Ben keponakan Bunda Dewi. Sebelumnya, ia tinggal di kota bersama kedua orangtuanya. Namun, kini pindah di rumah yang membelakangi itu. Tinggal bersama kedua kakaknya. Sesekali, kedua orang tuanya pun datang. Ben pun pindah sekolah di sini. Kelas dua belas di sebuah SMA swasta favorit. Ia sudah kenal Indah setelah diperkenalkan oleh Bunda Dewi. Bahkan, Bunda Dewi acap memintanya datang ke rumah. Dan Ben tampak senang apalagi setelah kenal dengan Indah. Dalam hati kecilnya, ia menaruh hati pada Indah. Sebaliknya, dengan keberadaan Ben, hati Indah pun terhibur. Ia merasa punya teman ngobrol setelah Ray dan Dani jarang pulang ke kota ini dan lebih banyak tinggal di Jatinangor. Ray dan Dani pun sudah sangat jarang menelepon Indah. Memang, sesekali Indah suka menghubungi mereka berdua meski malu-malu. Namun yang dirasakannya, Ray dan Dani menjaga jarak. “Nemenin?” Indah yang mempunyai sifat dasar pemalu, akhirnya mendelik juga. “Ndah… kamu menggerutu… mendelik… aneh, tak seperti biasanya kamu begitu? Kenapa? Karena kepergian cowokmu yang…” “Cowokku? Siapa? Aku belum punya cowok.” “Bukankah Ray dan Dani itu cowokmu?” “Bukaaaan, ko!” “Hah? Bukan? Berarti aku salah, ya?” “Ya, kamu salah, Ben.” “Kalau mereka bukan cowokmu, siapa cowokmu?” Indah mendecak. “Kan tadi aku bilang, aku belum punya coowk, Ben!” ucap Indah. Lantaran sikap Ben yang agresif, Indah merasa risih, hingga terkadang ia suka berani saja memasang wajah jutek. Apalagi, Ben acap menggodanya. “Hemmmm, aku... ada kesempatan, dong!” “Kesempatan apa?” “Hehehe... menjadi belahan hatimu. Dan kita...” “Jangan dilanjutkan!” potong Indah cepat. “Oke... mau ganti topik pembicaraan, ya?” “Ya, kembali ke soal semula. Bunda Dewi emang minta kamu nemenin aku dan tidur di kursi, tapi… nggak usah repot-repot, Ben…” “Maksudmu?” Ben berlagak pilon. “Aku mau sendirian. Lagian, udah tiga hari ini ditemanin Dito,” jelas Indah. Mata Ben mengerling mengarah ke ruang tamu. Indah berdiri depan pintu, sengaja menghadang. Kakinya dikangkangkan. Kedua tangannya disimpan di pinggang. Ia takut Ben mencari alasan untuk bisa masuk ke dalam rumah. “Ih, kamu mendadak galak!” Ben tertawa. Di langit, tampak hitam pekat. Sebentar lagi pasti turun hujan. Sekarang musim penghujan, hampir setiap hari bumi basah. “Biarin!” seru Indah. Ben mendekat dan tangannya hendak memegang pergelangan tangan Indah, tapi segera ditepiskan oleh Indah. “Sana kamu!” Indah mundur. Lalu, menutup pintu keras. Blug! Dikuncinya dari dalam rapat-rapat. “Ndah… tega sekali kamu. Padahal aku tak bakalan ngapa-ngapain kamu. Aku cuma lakuin perintah Bunda Dewi…” suara Ben memelas. Indah menahan tawa. “Hati-hati, Ndah… sekarang malam Selasa kliwon.” “Aku nggak takut!” “Aku tahu… kamu sekarang penakut sejak… di sini banyak penampakan.” Suara gemuruh meraung keras. Petir pun menggelegar. Indah berlari terbirit-b***t menuju kamarnya. Lalu menaiki pembaringannya yang empuk. Dari luar, suara angin terdengar meluluhlantahkan sampah-sampah juga daun-daun yang berserakan di halaman. Seaaaaaaaaaakkkkk! Dahan-dahan bergesekkan. Gyuuuuuuurrrrr! Langit menumpahruahkan isi awan yang sangat tebal. Kantuk menyerang mata Indah. Terpejam. Hujan sudah reda ketika matanya terbuka. Tubuhnya bangkit. Diputar ke kiri dan ke kanan sejenak, lalu mengepang rambut sebahunya dengan karet pengepang rambut beludru yang melingkar di pergelangan kirinya. Ia menuruni pembaringan. Duduk di depan meja rias. Bunda Dewi membelikannya meja rias agar Indah mau berdandan dan selalu tampak cantik. Kini, memang penampilan Indah sudah banyak berubah. Tak lagi seperti gadis desa. Meski, ia jarang ke luar rumah selain mengikuti kegiatan di kelompok belajarnya, tapi paling tidak, kini ia pun banyak teman. Ia masih menatapi wajahnya. Ia tak mau terus menuruti perasaannya dengan terus mengingat cowok-cowok yang sekarang sudah tak peduli padanya. Ray dan Dani. Sebenarnya, ada rasa sedih di hatinya. Namun, ia selalu berusaha melupakannya. Sejenak pikirannya mengembara entah ke mana. Sereleeeeeeeeeeeeekkk…. Indah tersentak. Sereleeeeeeeeeeeeekkk…. Indah bergetar. Untuk keduakalinya suara itu terdengar di telinganya yang normal. Ia hapal. Itu suara tirai jendela ruang tengah. Suaranya seperti itu setiap kali ia menutup atau membukanya. Diliriknya beker mungil di atas meja rias. Pukul sembilan belas tepat. Ia tersentak. Sudah menjadi kebiasaan menutup semua tirai rumah pada jam lima sore. Dan tadi ia lupa. Kecuali tirai jendela kamar, tirai semua jendela rumah satu pun belum ditutup karena terganggu dengan kedatangan Ben. Dengan berjingkat, ia menuju pintu kamar, membukanya, lalu ke arah ruang tengah, tempat biasa ia berkumpul bersama Bunda Dewi. Atau terkadang datang teman-temannya. Matanya terbelalak melihat semua tirai telah tertutup begitu rapi. Ahaaaaa… siapa yang telah menutupnya? Jantung Indah bergerak lebih cepat. Ia berlari dan menubruk pintu kamar yang tiba-tiba sulit dibuka. Napasnya memburu sambil terus berusaha membuka handle tapi tetap sulit. Dipejamkan mata. Ia hampir menjerit dan ditendangnya daun pintu dengan penuh kekuatan. Lalu tiba-tiba… pintu itu pun terbuka. Indah meloncat ke atas pembaringan. Menarik selimut. Menutup seluruh tubuhnya, dari atas kepala hingga bawah kaki. Keringat dingin mulai bercucuran. Baju katun tipis dan lembut mendadak terasa panas dan kasar, namun ditahannya. Ia tak mau membuka selimut sedikit pun. Hampir lima belas menit, ia berada di bawah selimut yang membuatnya sulit bernapas. Setelah ketegangan menurun, perlahan diturunkannya selimut. Sejak tadi pun, ia menahan untuk tidak buang air kecil, tapi sekarang tak bisa ditahan. Ia bangkit dan duduk di atas bantal sambil memeluk guling. Digelengkan kepalanya. Ia harus bisa melawan takut. Belakangan ini, ia berubah menjadi penakut. Padahal, sebelumnya tak seperti itu. Ia selalu mampu bertahan. Dan melawan rasa takut meski itu tak mudah. Ya Tuhan! Indah menepuk jidatnya. Ia baru ingat Dito yang sudah tiga malam menginap di sini. Dito, anak piatu. Sudah lama ibunya meninggal. Ayahnya bekerja jauh di ibukota dan jarang pulang. Bahkan, konon, kurang bertanggungjawab. Dito, kelas empat, murid Bunda Dewi. Dan Bunda Dewi sengaja membawa Dito ke sini untuk mengusir sepi yang sedang menerpa Indah selama ditinggal Bunda Dewi ke Cibiru. Dito biasanya tinggal bersama neneknya juga kakak perempuannya. Bunda Dewi pun ada niat ingin mengadopsi Dito sebagai anaknya. Dito memang anak yang tak terurus. Juga tingkahnya agak bandel. Sudah tiga hari Bunda Dewi berada di Cibiru karena ada keperluan darurat di sana. Kelasnya pun dititipkan pada guru lain yang kebetulan tidak memegang kelas. Sepulang sekolah, Dito tak sempat makan siang karena sudah ditunggu teman-temannya yang tinggal di daerah ini untuk main ke lapangan kecamatan. Di sana ada pameran. Sudah tentu Dito senang sekali. Anak berusia sepuluh tahun itu sedang suka bermain. Indah bingung. Apa yang harus ia lakukan saat ini? Menelepon Bunda Dewi dan mengatakan Dito tak ada? Ah, tentu Indah tak akan dipercaya lagi. Walau tadi perginya dengan anak-anak yang sudah besar juga masih tetangga di sini, tetap ia sangat khawatir. Duh, ia menyesal mengizinkan anak itu pergi. Memang anak itu yang merajuk sendiri. Malah, piawai membujuk Indah agar memperbolehkan. Sebenarnya Indah keberatan. Namun, rajukan dan bujukan anak itu meluluhkan hatinya. Kreeeeeeeeeek… kreeeeeeeeeeeekk… kreeeeeeeeeeeeekkk…. Suara pintu kamar mandi. Ruangan itu jauh dari kamar tapi suara aneh itu bisa terdengar begitu jelas. Indah nyengir sambil menahan untuk tidak buang air kecil di kamar. Kreeekk… kreeekk… kreeekkk…. Terdengar lagi, kali ini pendek tapi keras. Hujan deras lagi. Bulu kuduk Indah terangkat. Tubuhnya bergoyang. Dijatuhkan tubuhnya dan kembali menarik selimut. Membenamkan di bawah selimut dengan napas memburu. Greg greg greg greg greg greg greg greg. Kursi ruang tengah bergeser beberapa kali. Kuduk Indah terasa seperti disobek-sobek. Keringat kembali mengucur semua bagian tubuhnya. Malam yang dingin semakin menggigit. Hujan… dingin… sepi… seram. Suara dentang jam salendro terdengar. Beberapa kali. Lebih dari dua belas kali. Aneh, padahal ini baru pukul dua puluh satu dan tidak ada bunyi jam lebih dari dua belas kali. Kali ini, Indah merasa menyesal mengapa tadi menolak Ben menginap di sini. Cowok itu baik walaupun ia tahu Ben menaruh hati. Tapi sikapnya tak pernah melewati batas dan sebenarnya menyenangkan. Makanya Bunda Dewi percaya. Kalau tahu akan seperti ini, ia tentu suka Ben berada di sini. Mungkin saja ia juga bersedia menemani mencari Dito. Ingat lagi Dito, hatinya gelisah. Gelisah dan takut suara-suara itu berbaur jadi satu. Atau kalau saja tadi sore ia dan Dito pergi ke rumah ibunya Ray dan menginap di sana, tentu tak akan melewati malam yang menyeramkan. Indah benar-benar menyesal. Haruskah ia keluar rumah dan menemui salah satu tetangganya dan meminta tumpangan menginap malam ini? Ouw, digelengkan kepalanya. Selain tak berani keluar sendirian, di sekitar sini tak ada yang bisa disebut tetangga. Sudah jelas, posisi rumah Bunda dewi berada di lingkungan rumah-rumah yang kosong. Dan hanya rumah Ben yang tak kosong tapi posisi rumahnya membelakangi. Memang, kalau di luar lingkungan ini pun, ada rumah-rumah tetangga. Namun, ya begitulah. Rumah mereka berjauhan dan terhalangi kebun-kebun dengan pohon-pohon yang tinggi. Bahkan sebagian penduduk sering mendapati seorang perempuan menjulurkan lidahnya yang panjang dan berdarah, rambutnya panjang dan bau dengan mengenakan pakaian serba putih yang kumal. Hiiii… Indah bergidik. Rumor banyak hantu di situ, sudah masuk ke ingatan Indah semenjak ia kenal dengan tetangga jauh. Lantaran, ia pun acap pergi ke warung untuk membeli keperluan. Atau jika disuruh Bunda Dewi. Ben? Ben kembali melintas di pikirannya. Ya, ia harus menelepon Ben. Satu-satu harapannya. Cowok itu pasti dengan sukarela menemuinya ke sini walaupun masih hujan cuaca gelap. Dengan ketakutan, dihampirinya meja kecil di sudut ruangan. Ia tak tahu nomor ponsel Ben, yang dimiliki hanya nomor rumahnya. Tak apa, yang penting Ben harus ke sini sekarang juga, pikirnya. Toh, di rumah Bunda Dewi, masih ada telepon rumah. Diputarnya tujuh angka nomor rumah Ben. Hening. Tak ada sahutan. Belum ada yang mengangkat telepon dari rumah di ujung jalan besar itu. Hampir putus asa Indah ketika tak juga ada yang mengangkat telepon, hingga disimpannya kembali, tapi…Indah bersorak. Ada yang mengangkat. Mudah-mudahan bukan kakaknya apalagi yang perempuan, tapi Ben sendiri. Indah berdoa dalam hati. “Selamat malam…” sapa suara seorang perempuan. “Mmm…” Indah malu-malu. “Selamat malaaaaaaaaaammmm…” suara perempuan lagi dan selamat malamnya diucapkan panjang dan lama juga sengau. Merinding bulu kuduk Indah. Dibanting horn telepon tak berdosa itu sehingga menjuntai ke bawah. Ia gemetaran dan melompat ke atas kasur. Suara itu… suara kuntilanak! Ingin rasanya menjerit sekuatnya, namun mulutnya terkunci. Ia hanya bisa pasrah. Tuhaaaaaan! pekik Indah. Ia benar-benar menjadi sosok yang penakut. “Indaaaaaah…” Indah bangkit. Ben memanggil dari luar. Terdengar suara bunyi sepatu di teras depan. Indah bersorak. Meski sempat heran kenapa tak terdengar bunyi pintu gerbang, Ketakutannya akan segera berakhir. Ia senang sekali. Diseretnya sandal lalu menuju pintu depan. “Ben?” tanya Indah seperti tak percaya. Ia tak sabar, namun handle pintu macet. “Iya… Indah…” jawab Ben dari luar. “Beeeen….” Indah memaksa membuka handle pintu. “Indaaaaah…” suara dari luar, tapi bukan suara Ben, melainkan suara seorang perempuan. Suara yang sama seperti yang telepon tadi. Malam ini Indah tak bisa tidur. Kepalanya menelungkup di bawah bantal. Selimut menutupi tubuhnya. Suara gagak hitam bersahutan. Memecah malam yang senyap. Melengkapi ketakutan.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN