Menyaksikan Ritual
LANGIT baru saja didekap malam, tatkala mobil yang ditumpangi Ray dan ketiga temannya tiba depan sebuah rumah mungil berlantai dua, di kawasan Bandung Utara. Cuaca dingin menyambut mereka. Wak Dulah tersenyum berdiri di teras depan ketika Ray menghampiri lalu mencium punggung lelaki tua itu dengan takjim. Diikuti teman-temannya, melakukan hal yang sama.
“Ayo masuk!” kata Wak Dulah setelah sopir yang diutus menjemput Ray dan teman-temannya ke Cipanas, pamit hendak mengamankan mobil di garasi dekat rumah lainnya. Pemilik rumah ini sama dengan pemilik rumah dimana ada garasi yang menyimpan mobil Wak Dulah. Hanya, rumah mungil ini dibiarkan kosong dan baru ditempati ketika Wak Dulah berkunjung. Pemiliknya, murid baru Wak Dulah.
“Rumah siapakah ini, Wak?” tanya Ray.
“Pak Guru,” jawab Wak Dulah lalu mengajak Ray dan yang lainnya menaiki tangga. Hingga sampai di ruang atas. Kemudian mereka semua duduk di ruangan yang tak begitu luas tapi nyaman dan sangat bersih terawat meski hanya sesekali dihuni-- di atas permadani biru bergambar kuda dan seorang perempuan cantik bergaun merah.
Tak berapa lama, seorang perempuan setengah baya menghampiri. Membawa hidangan untuk makan malam. Nasi putih, ikan goreng, ayam goreng, pepes ayam, tahu dan tempe goreng, lalap daun singkong serta sambal tomat yang begitu menggugah selera. Mereka pun makan dengan lahap. Malah Fian dan Dani sampai tiga kali menambah nasi.
Sikap Wak Dulah sangat ramah pada teman-teman Ray, sehingga Dani, Fian, dan Dirga tak merasa sungkan. Terlebih Dani pernah bersua Wak Dulah ketika di Garut. Malah, sempat ikut ritual yang tengah dijalankan Wak Dulah hingga gubuk yang mereka tempati terasa bergoyang dan melayang di udara. Itulah, pengalaman terdahsyat yang dialami Ray dan Dani sekaligus menambah kekaguman Ray akan lelaki yang bernama Abdulah.
“Sekarang kalian istirahat saja, ya? Kan perjalanan Cipanas Bandung itu cukup melelahkan apalagi bagi yang tak biasa. Besok pagi, kita pergi ke Jawa Tengah,” kata Wak Dulah. Dani, Fian, dan Dirga mulai merebahkan tubuh mereka di atas kasur empuk yang tergelar di kamar depan. Sementara Ray membuka laptop di ruang tengah. Wak Dulah pergi keluar, dan tak mengatakan mau pergi ke mana pada Ray. Hanya bilang, ada urusan sebentar dan meminta Ray tidak menunggu dan segera tidur lantaran esok pagi harus segera berangkat ke Jawa Tengah.
“Ya, Ray mau cari informasi dulu, makanya buka laptop. Nggak lama ko, paling setengah jam,” kata Ray. Sepeningal Wak Dulah, mata Ray mengedarkan pandang ke ruangan. Ada tiga buah kamar. Kamar pertama, ada Dani dan kedua temannya. Kamar kedua, tempat Wak Dulah tidur di sana dan malam sekarang, ia minta Ray menemaninya. Dan kamar ketiga, terkunci. Wak Dulah bilang, dilarang ada yang berani masuk ke kamar itu kecuali Wak Dulah. Itu pun harus sesuai dengan perhitungan waktu. Ray tadi ingin bertanya lebih jauh, tapi lelaki itu tergesa-gesa pergi.
Belum setengah jam Ray membuka laptop, dan mencari-cari informasi, terdengar ada suara langkah naik tangga. Ray kaget tersebab tak sempat mendengar suara pintu depan ruang bawah. Yang menghampirinya, seorang lelaki sebaya sopir yang menjemputnya. Namun, Ray sama sekali tak mengenalnya.
Lelaki itu mendekati Ray sembari tersenyum. Lalu menyalaminya. “Ini pasti Ray, ya?”
Ray mengangguk. “Ya, Pak. Bapak ini… yang biasa dipanggil Pak Guru oleh Wak Dulah?”
Lelaki itu menggeleng. “Bukan. Saya Pak Agus. Teman Pak Guru. Juga murid Wak Dulah.”
“Oh, Bapak ini murid Wak Dulah juga?”
Lelaki itu mengangguk.
“Wah, salam kenal ya, Pak Agus!” Ray tersenyum. “Bapak tinggal di mana?”
“Tak jauh dari sini, rumah saya di dekat Gua Pakar, Dago. Pernah main ke situ?”
Ray menggeleng. “Baru rencana tapi nggak jadi.”
“Kapan-kapan, main ke situ ya dan mampir ke tempat saya.”
“InsyaAllah,” ucap Ray. Dimatikannya laptop. Ia ingin pamit tidur tapi tak enak. Sepertinya lelaki yang berada di sampingnya itu ingin mengobrol dengan Ray. Akhirnya, Ray tetap duduk dan menemani lelaki itu yang mulai banyak bercerita mengenai kehebatan ilmu Wak Dulah.
“Berarti Pak Agus dan Pak Guru itu baru kenal Wak Dulah?” tanya Ray penasaran.
“Kenal dan ketemu baru sebulan ini. Tapi kalau tahu nama besar dia, sudah lama. Sekitar empat tahun, saya dan Pak Guru mencari dia. Tapi sulit sekali.”
“Kenapa? Bukankah tahu kediaman Wak Dulah?”
“Ya, alamat rumahnya yang di Banjarnegara tahu. Tapi ketika disusul beberapa kali ke sana, Wak Dulah tengah pergi dan nggak tahu ke mana. Pernah disusul ke Medan, karena menurut kabar, dia tengah di sana, tapi pas kami tiba di Medan, beliau baru saja pergi ke bandara. Selalu saja begitu. Hingga akhirnya kami dipertemukan lewat Haji jajuli. Saya kenal Haji Jajuli baru-baru juga, kebetulan sempat berbincang mengenai orang yang ciri-cirinya seperti sama dengan yang tengah saya dan Pak Guru cari, akhirnya dari situ kami bisa menemui Wak Dulah. Kalau dihitung biaya mencari beliau, sudah belasan juta. Tapi, soal biaya… kami tak begitu mempermasalahkannya. Itu resiko kami. Toh, yang penting bagi kami, bisa ketemu beliau secara langsung dan berguru padanya.”
“Kenapa tak pernah mencoba menghubunginya lewat telepon saja?” Ray merasa heran.
“Nomor yang kami dapat, selalu saja sudah tak aktif.”
“Ouh,” Ray terdiam sesaat, teringat beberapa nomor Wak Dulah yang sudah tak aktif, tapi Wak Dulah punya satu nomor tetap yang selalu menghubunginya. Jadi, nomor itu khusus untuk menghubungi orang-orang tertentu termasuk Ray, begitu yang diduga Ray. Lalu Ray melanjutkan bicara. “Pak… kalau Pak Guru itu sebenarnya siapa?”
“Namanya Hambali. Beliau seorang guru SMK di kota ini. Tapi beliau sangat ingin mendalami ilmu kebatinan. Makanya gigih mencari Wak Dulah.”
“Meski di kota sebesar Bandung, nama Wak Dulah bisa dikenal juga, ya?”
“Tentu saja. Meski dia bermukim di Banjarnegara tapi muridnya di mana-mana. Bukan hanya di kota-kota yang tersebar di pulau Jawa. Tapi juga di luar pulau ini. Beliau terbiasa pergi jauh malah dalam sekejap. Pulang pergi naik pesawat.”
“Alhamdulillah… kalau Wak Dulah bermanfaat bagi banyak orang.
“Beberapa pejabat daerah acap minta bantuan sama beliau.”
“Bantuan sejenis apa?” Ray penasaran.
“Yaaa, beragam saja. Rata-rata demi kenaikan pangkat dan jabatan atau ingin lolos di dewan legislatif.”
“Sampai segitunya,” ucap Ray meski ia pun tak paham mengenai itu. Terlebih dunia politik dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Di sekolahnya, Ray hanya seorang siswa yang pintar dan rajin yang hanya memiliki tujuan belajar untuk meraih cita-cita sesuai keahliannya. Ia tak pernah aktif organisasi. Ia pun tak paham dengan dunia yang melibatkan urusan negara.
“Biasa, orang tua itu kan selalu punya banyak urusan,” Pak Agus seperti membaca apa yang ada di benak Ray.
“Ya, Pak. Kira-kira, Wak Dulah sekarang sedang ke mana, ya?” Ray bingung.
“Saya tidak tahu. Mungkin ke rumah Pak Guru. Mungkin juga ke rumah Haji Jajuli atau rumah lainnya. Atau mungkin ke hotel tempat menginap beliau setiap datang ke Bandung,” jelas Pak Agus.
“Pak, jadi Pak Guru itu guru SMK, ya?”
“Ya. O iya, Wak Dulah pernah bilang punya anak kesayangan namanya Ray dan sekolahnya di SMK. Berarti, itu kamu, ya?” Pak Agus menatap Ray.
Ray jadi merasa tidak mengantuk matanya setelah Pak Agus terus mengajaknya berbincang. Sementara, Dani dan kedua temannya sudah terlelap didekap mimpi. Ray senang juga dengan sikap Pak Agus yang terbuka pada Ray. Seperti tak ada yang ditutup-tutupinya. Dari Pak Agus, Ray tahu siapa itu Pak Guru. Pak Guru atau yang nama aslinya Hambali itu adalah seseorang yang punya pengaruh di salah satu terminal yang berada di kota Bandung. Ia sosok yang cukup ditakuti lantaran punya ilmu bela diri yang cukup. Selain itu, Pak Guru mendalami ilmu hitam hingga mampu menaklukkan lawan di medan pertarungan yang mengandalkan fisik. Namun, demi mempertahankan pengaruhnya dan untuk menghindari musuh yang mulai tampak hendak menguasai terminal yang tengah dipegangnya, dari itu Pak Guru meminta bantuan pada Wak Dulah.
“Semoga apa yang dikehendaki Pak Guru juga Pak Agus… tercapai. Dimudahkan dan diberi kelancaran, amiin…” ucap Ray.
“Amiiin,” ucap Pak Agus membalasnya. “Tapi kalau masalah saya, beda…”
“Kalau boleh tahu, apa tuh?” Ray mulai tertarik lebih jauh. Rasa kantuk kian tak dirasakannya.
“Saya sudah lima tahun kerja di perusahaan asing,” Pak Agus mulai membuka masalah yang terkait dengan dirinya. Ternyata, ia pun punya posisi penting di perusahaan tempatnya mencari rezeki selama ini. Ia bukan orang sembarangan. Punya harta dan posisi penting di situ. Namun, demi menyingkirkan pihak-pihak yang hendak mencelakakan dirinya, ia mencoba meminta bantuan pada Wak Dulah. Ray kian paham dengan Wak Dulah yang selain bisa melakukan ritual khusus untuk membantu orang yang membutuhkannya, tapi bisa juga dengan cara si calon peminta bantuan melakukan ritual sendiri. Wak Dulah mentransfer sebagian kecil ilmunya agar orang-orang yang membutuhkan bisa memiliki kekuatan sebagaimana kekuatan yang dimilikinya.
Tak terasa, sudah pukul sebelas. Ray belum juga mengantuk. Hingga gawainya berdering. Nada panggilan. Ray kaget ketika melihat nama pengirim. Wak Dulah. Segera diangkat lalu ditempelkan di telinganya. “Wak, masih di mana?”
“Masih di mananya, kamu tak perlu tahu, Ray. Abah pasti pulang. Abah meneleponmu cuma untuk mengingatkan, kamu sebaiknya sudah tidur. Kan Abah bilang gitu dari Abah pamit mau pergi itu. Ko kamu malah masih melek sih, Ray?” Wak Dulah terkesan menyalahkan Ray.
“Ray…” mulut Ray mendadak sulit berucap.
“Pak Agus masih di situ?” tanya Wak Dulah. Ray heran, kenapa Wak Dulah tahu jika Ray tengah bersama Pak Agus. Apa Pak Agus bilang padanya? Namun, Pak Agus memberi isyarat jika ia pamit mau pulang.
“Suruh Pak Agus pulang!” seru Wak Dulah. Ray bingung, mana berani ia begitu pada orang yang baru dikenalnya. Apalagi Pak Agus bukan orang sembarangan. Orang kaya dan tampak berpendidikan tinggi. Pak Agus tampak paham dengan situasi. Tubuhnya bangkit. Ray menutup gawainya.
“Mau ke mana, Pak?”
“Pulang, Ray. Wak Dulah tahu ada saya di sini.”
“Mmm… kirain Ray, Pak Agus yang bilang,” jelas Ray seadanya.
“Tidak. Saya belum ketemu beliau hari ini.”
Ray terdiam. Pak Agus menepuk bahu Ray. “Itulah salah satu kehebatan beliau. Terkadang bisa tahu apa yang kita lakukan.”
“Pak… menurut Ray, itu hanya kebetulan. Karena… yang berhak mengetahui segalanya itu hanya Allah. Tuhan Maha Mengetahui,” ucap Ray serius.
Pak Agus tersenyum. “Benar sekali, Ray. Tapi Wak Dulah… diberi kelebihan itu.”
Ray mengangguk. “Ya, tapi hanya sedikit. Kita tetap berpegang teguh jika yang Maha Mengetahui itu hanya Allah. Jangan sampai kita musyrik.”
“Tidak, Ray. Naudzubillah. Nanti, kamu akan paham.”
Ray tak berucap lagi hingga Pak Agus berlalu. Ray pun kembali duduk. Ia merenung. Begitu banyak orang-orang yang percaya akan keunggulan Wak Dulah dan menganggapnya hebat. Begitu pun dengan dirinya. Namun, ia tak mau sampai terlalu menyanjung Wak Dulah. Ratna, ibunya sudah beberapa kali mengingatkan justru--agar Ray jangan sampai terperdaya oleh bujuk rayu Wak Dulah. Ray berusaha mempelajari kehidupan lelaki itu. Dan salah satu tujuannya ikut berlibur ke tempat dimana Wak Dulah bermukim adalah untuk lebih mengetahui apa saja yang terjadi pada diri Wak Dulah hingga orang-orang banyak yang mencarinya. Bahkan, kebanyakan sedia kehilangan harta benda demi mewujudkan keinginan mereka. Mendalami ilmu batin atau meminta bantuan dengan jalan gaib. Dan semuanya untuk mengejar kepuasan duniawi.
Tatkala Wak Dulah sudah kembali, Ray masih belum mengantuk. Namun matanya terpejam dan pura-pura sudah tidur ketika Wak Dulah membaringkan tubuh di sampingnya. Tangan kanan Wak Dulah meraba wajah Ray. Lalu jemarinya berhenti di kedua mata Ray. “Tak usah pura-pura tidur. Jika kamu memang sama sekali belum mengantuk, bukalah matamu dan mengobrollah dengan Abah, anakku!”
Mata Ray terkuak. Wak Dulah meminta Ray beranjak lalu mengajaknya menuju kamar ketiga. Ray heran, sebelumnya, Wak Dulah melarang Ray dan ketiga temannya mengintip kamar ketiga apalagi masuk, tapi malam ini, malah memintanya masuk. Wak Dulah ingin Ray menyaksikan ritual.***