Perjalanan

2250 Kata
Perjalanan PAGI-pagi sekali, Ray dan teman-temannya sudah mandi dan bersiap hendak pergi bersama Wak Dulah. Mereka baru saja usai makan pagi yang disiapkan pelayan yang biasa menunggu rumah milik Pak Guru. Fian dan Dirga tampak tak sabar ingin segar melewati perjalanan menuju ke Jawa Tengah karena baru saja akan dialaminya. Sebelumnya, mereka berdua jarang sekali bepergian jauh. Sementara Dani tampak sedikit resah. Ray meliriknya. “Kenapa denganmu?” “Aku ingat motorku,” ucap Dani. “Motormu kan ditemani motorku, Dan. Tenang saja.” “Tenang gimana? Kan sudah jelas, motor kita masih di Cipanas. Masih di Vila Aling karena kita dijemput ke Bandung oleh sopir Wak Dulah. Dan terpaksa, motor kita… tinggal di sana. Gimana kalau motor kita digondol maling?” “Hemmm, kamu ini, Dan… ko malah bicara yang nggak-nggak, kamu benar-benar mau motor kita khususnya motormu… hilang dicuri orang?” Ray agak kesal. “Ya, nggak lah, Ray!” seru Dani. “Makanya, jangan dulu berpikiran yang buruk. Wak Dulah berjanji, akan mengambil motor kita.” “Dengan cara?” Dani agak meragukan. Lalu Ray menjelaskan, “Pak Guru punya tetangga yang punya mobil bak terbuka yang suka ke Jakarta. Saban seminggu sekali. Wak Dulah akan minta Pak Guru agar motor kita, diangkut mobil tetangga Pak Guru sepulang dari Jakarta. Karena kalau menuju Jakarta kan mobil pasti penuh dengan kiriman bunga. Tapi pulangnya, mobil kosong. Begitu, Dani.” Dani menghela napas. “Baiklah… semoga motor kita baik-baik saja.” “Nanti motor kita sudah ada di rumah Pak Guru. Rumah satunya. Bukan rumah ini. Ya, itung-itung titip saja. Nanti kita kan pulang dari Jateng, diantar ke sini lagi… jadi, kita pulang kampung bisa dengan motor kita. Paham?” “Ya, Ray.” Pukul sembilan tepat, Wak Dulah meminta Ray naik mobilnya. Diikuti ketiga temannya. Jadi di mobil Wak Dulah ada sopir, Wak Dulah, Ray, Dani, Fian, dan Dirga. Sedangkan di mobil satunya, mobil milik Pak Agus, ada sopir pribadinya, Pak Agus, Pak Guru, dan dua orang yang baru dilihat Ray. Wak Dulah duduk di samping sopir. Sementara Ray dan teman-temannya duduk di belakang. Berempat. Perjalanan baru sampai perbatasan Bandung dan Garut. Dani berbisik pada Ray, “Semalam… aku ke kamar mandi. Iseng, kuintip kamar dimana kamu dan Wak Dulah tidur di situ. Itu pun lantaran pintunya yang terbuka. Tapi kalian ko nggak ada, ya? Pada pergi ke mana tengah malam?” “Aku menemani Wak Dulah, Dan,” Ray pun tak kalah berbisik. “Ke mana?” “Nggak ke mana-mana. Masih di rumah itu. Di kamar ketiga.” “Kamar yang terkunci itu?” Ray mengangguk. “Ya, aku menyaksikan Wak Dulah ritual.” “Waaaaah, kenapa kamu nggak ajak aku?” Dani agak menyesal. Meski ia penakut, tapi jika melewati ritual bersama Wak Dulah, ia sangat berharap karena bisa mengalami peristiwa yang jarang dialaminya. Pengalaman mistis yang tak terlupakan dan bisa untuk pamer gaya-gayaan jika tengah berkumpul dengan teman-teman lainnya. “Wak Dulah kan cuma ngajak aku, Dan.” “Aaaah…” Dani melengoskan kepala. “Kalau nanti ada ritual lagi semisal kita sudah tiba di Jateng, ya aku ajak kamu atau minta izin sama wak Dulah biar kamu turut serta,” Ray berjanji. “Semoga janjimu kautepati.” “Lho, kapan aku ingkar janji padamu, Dan?” Ray meliriknya sedikit kesal. “Ada apa?” tiba-tiba Wak Dulah buka mulut tanpa menoleh. “Dani kenapa?” “Ng… nggak apa-apa, Wak,” Dani jadi malu. Bisikannya tertangkap telinga Wak Dulah. “Anu, Wak… Dani pingin ikut diajak ritual sama Wak Dulah,” tegas Ray. Dani menyikut lengan kiri Ray. “Rupanya Dani ingin diajak ritual lagi di sungai, ya?” Wak Dulah mencoba mencandai Dani. “Masih ingatkah, Dani?” Dani mengangguk kendati anggukan kepalanya tak terlihat lawan bicara. “Tentu saja, Wak. Pengalaman yang menakjubkan.” “Apaan?” Dirga berbisik di telinga Dani. “Gubuk terangkat dan melayang-layang di udara,” jelas Dani sembari berbisik pula. “Mantaaaaaap,” desis Dirga. “Aku juga ingin…” “Nanti kita cari tempat ritual biar Dani, Dirga, dan Fian juga… bisa ikut,” ucap Wak Dulah membuat ketiga teman Ray senang merasa dipedulikan oleh laki-laki yang terkenal kesaktiannya itu. “Asyiiiiiiik!” seru Fian dan Dirga bersamaan. Perjalanan dirasa menyenangkan. Mobil menepi di kampung Suryan. Begitu pun dengan mobil yang ditumpangi Pak Guru dan Pak Agus. Wak Dulah mengajak turun dari mobil. Masuk ke sebuah warung yang menyajikan makanan dan minuman dingin. Lalu, menawari teman-teman Ray untuk memilih makanan dan minuman yang disukainya. Katanya, bebas mengambil apa pun. Tentu saja Fian dan Dirga yang paling bersemangat. “Ke rumah Bi Tita dulu, yu!” kata Wak Dulah usai semuanya menikmati makanan dan minuman dengan lahap. Mobil pun kembali beberapa belas meter, lalu berbelok ke arah kanan, menyusuri jalanan yang tak bagus hingga sampai di depan sebuah warung dimana banyak pemuda tanggung yang tengah nongkrong. Mereka yang tengah duduk-duduk itu menyambut kedatangan Wak Dulah. Menciumi punggung tangan Wak Dulah dengan hormat. Semua tahu, laki-laki tua yang dilahirkan di dusun ini, orang yang mendalami banyak ilmu mistis. Terkenal kesaktiannya. Wak Dulah mengeluarkan lembaran uang, pecahan dua puluh ribuan. Ada sekitar lima puluh lembar. Lalu, dibagikan pada pemuda tanggung itu. Ia pun bicara pada pemilik warung yang dikenalnya agar memberikan makanan, minuman, dan rokok bagi yang suka merokok. Nanti, sekembalinya dari rumah Bi Tita, akan dibayar penuh. Tentu saja, pemuda-pemuda tanggung itu girang bukan main. Jarang-jarang bersua dengan orang tipikal Wak Dulah. Pemilik warung pun senang karena mendapat pembeli dadakan yang loyal. Rombongan Wak Dulah menuju rumah Bi Tita setelah melewati pematang sawah. Ketika Wak Dulah, Pak Guru, dan Pak Agus berbincang dengan suami Bi Tita, Ray dan ketiga temannya duduk-duduk di teras samping rumah yang berhadapan dengan jalan setapak yang biasa digunakan orang-orang berjalan kaki. Di samping jalan setapak, membentang hamparan pesawahan yang cukup luas. “Makasih, Bi…” ucap Dani melihat Bi Tita yang sibuk menuangkan isi kelapa muda pada beberapa gelas yang sudah diisi dua sendok gula putih masing-masing. “Sama-sama, Dani,” Bi Tita tersenyum. Ia sudah kenal Dani lantaran tempo hari, Ray pernah mengajak serta Dani ke rumah ini dan menginap. Dani teringat pengalaman malam kala mendengar jenglot yang meronta dari dalam dus. “Segaaaaar banget,” ucap Fian bersemangat sekali sembari terus menyeruput isi gelas hingga tandas. “Padahal ngggak pake es batu, tapi segarnya mantap.” “Gratis lagi,” ucap Ray. “Kalau di tempat kita, satu porsi lima ribu rupiah itu sedikit. Harus beliii… lagiii.” “Banyak ya pohon kelapa di sini,” komentar Dirga. “Banyak,” jawab Ray. Kalau pulang dari Jawa, kita bisa mampir sini lagi. Bawa kelapa muda yang banyak.” “Bawanya pakai apa?” tanya Dirga bingung. “Kan nanti pulangnya diantar lagi Wak Dulah.” “Oh iya, kelapa mudanya dibawa di mobil. Tapi nanti kan bakal ke rumah Pak Guru lagi, ambil motor,” Dirga kembali bingung. “Gimana nanti saja lah!” seru Dani. “Iya!” Ray mengiyakan. “Ray, aku mau jalan-jalan bentar, ya? Mumpung kemari,” tubuh Dani beranjak. “Mau kutemani?” tanya Fian. “Nggak usah!” tubuh Dani bergerak menjauh. Ray tersenyum kecut. Ia sudah paham kemana Dani hendak pergi. Pasti untuk menemui Indah, gadis yang pernah ditaksirnya ketika tempo hari main ke sini. Benar saja, satu jam kemudian, Dani baru kembali dengan wajah berseri-seri. “Sekarang nggak perlu bingung lagi gimana caranya mengetahui kabar Indah, barusan dia kasih nomor w******p-nya,” ucap Dani lalu duduk di sebelah Ray. Bada magrib, rombongan pamit. Kedua mobil bergerak meninggalkan dusun kelahiran Wak Dulah. Perjalanan malam begitu menyenangkan. Sopir pun melajukan mobil dengan perlahan dan terkesan santai. Wak Dulah terus mengajak teman-teman Ray berbincang. Ia pun bercerita apa saja yang membuat semua tergelak. Mobil tiba-tiba menepi di sebuah hutan. Wak Dulah membuka pintu mobil lalu berjalan ke dekat jurang. Tak berapa lama kembali. Ia bilang sudah memberikan beberapa bungkus rokok pada penunggu jurang. Mobil kembali bergerak. Satu jam kemudian berhenti lagi di kawasan sepi, banyak pepohonan. Namun, berdiri sebuah warung lesehan yang sangat nyaman. Pemiliknya sudah lama mengenal Wak Dulah karena acap mampir. Dua rombongan mobil makan malam kendati sudah sangat malam. Suasana sepi mencekam. Hanya bus-bus yang berseliweran memecah sunyi. Wak Dulah, Pak Guru, dan Pak Agus berbincang mengenai hal-hal mistis. Begitu asing di telinga Ray tapi ia jadi mengetahui dunia lain yang selama ini tak diketahuinya. Wak Dulah menyebutkan nominal mahar yang harus dikeluarkan Pak Guru dan Pak Agus demi menunaikan hajat mereka. Pak Guru dan Pak Agus pun menyepakatinya. Lantaran kedua mobil acap berhenti di beberapa tempat, akhirnya baru tiba di kota Banjarnegara setelah pukul tiga dini hari. Disambut orang-orang asing bagi Ray. Namun, semua ramah dan bersikap baik. Ray disambut seperti raja. Ternyata, Wak Dulah acap bercerita jika ia punya anak laki-laki semata wayang yang bernama Ray Raksa Muhammad. Ray jadi malu dengan sambutan orang-orang yang terkesan berlebihan. Hidangan makanan dan minuman juga buah-buahan segar sudah tersaji di meja makan. Sangat banyak. Namun, Ray dan teman-temannya menolak makan selain tidak lapar juga makan pada pukul tiga dini hari itu tak biasa kecuali ketika bulan puasa. “Makanlah walau sedikit, itu bentuk penghormatan mereka padamu dan teman-temanmu,” ucap Wak Dulah di telinga Ray. “Abah mau leleson dulu, ya?” Terpaksa, Ray dan ketiga temannya makan sedikit. Satu jam kemudian, mereka tertidur pulas di kamar yang besar. Dan terbangun ketika langit sudah terang. Mereka kaget lantaran tak solat subuh dan tak ada yang membangunkannya. Gawai masing-masing pun mati semenjak semalam. Tiba di meja makan, tergelar hidangan yang berbeda dengan semalam. Makanan di rumah Wak Dulah begitu melimpah padahal istri tuanya tak pernah belanja ke pasar. Namun, banyak orang yang mengirimi makanan ke rumahnya. Bahkan, banyak sekali yang terbuang percuma lantaran tak ada yang memakan. Sepanjang hari, Ray dan ketiga temannya diajak berjalan-jalan oleh Pak Agus. Tanpa Pak Guru apalagi Wak Dulah. “Wak Dulah dan Pak Guru lagi pergi ke gunung sebelah,” kata Pak Agus ketika Ray menanyakan mereka berdua. “Untuk kepentingan ritual?” “Ya, Ray.” “Hanya berdua? Tanpa Pak Agus?” “Kebetulan untuk melakukan tahapan hajat Pak Guru,” jelas Pak Agus. Sopir pribadi Pak Agus tanpa lelah mengajak Ray dan teman-temannya berkeliling. Tanpa tujuan. Hingga di perbatasan kota Banjarnegara dan Wonosobo. “Mau ke Wonosobo?” ajak Pak Agus. “Ke tempat praktek Wak Dulah.” “Tempat praktek apa?” tanya Ray. Pak Agus tak menjawab tapi menyuruh sopirnya menuju lokasi yang dimaksud. Terpampang di papan kecil, nama panjang Wak Dulah lengkap dengan alamatnya. Tiba di belokan, ada lagi plang serupa dan bertuliskan sama. Mobil mengikuti arah papan. Ada sekitar lima papan serupa yang ditemui hingga mobil pun menepi di depan sebuah rumah besar tapi model lama. Di pekarangan yang luas, banyak mobil dan motor terparkir. Orang-orang tengah antri menunggu panggilan di ruang tunggu yang luas. Fian sempat celingukan mengamati para pedagang yang cukup banyak di halaman. Pak Agus mengajak Ray dan teman-temannya masuk ke dalam ruangan yang nyaman. Lalu mereka duduk di sofa beludru merah hati. Tak berapa lama, muncul seorang perempuan muda bertubuh ramping, berwajah manis dengan rambut hitam lurus sebahu, menghampiri dengan nampan di tangan berisi beberapa gelas minuman hangat. “Ini tempat apa dan tempat siapa, Pak?” Ray masih belum habis rasa penasarannya. “Di sini, Wak Dulah buka praktek pengobatan.” “Wak Dulah… tabib juga?” Dani nimbrung di sela rasa herannya. “Bebas disebut apa. Lantaran… Wak Dulah bisa mengobati batin sekaligus fisik,” jelas pak Agus. “Waaaah, hebat!” seru Fian. “Semua penyakit bisa disembuhkan di sini,” kata Pak Agus. “Hingga yang matanya buta pun bisa melihat.” Dirga berdecak kagum. “Bukankah Pak Agus baru bersua Wak Dulah belum lama ini? Dan katanya baru sekarang bepergian bersama? Ko kenapa banyak tahu beliau? Bahkan sampai tempat ini,” ucap Ray heran. “Ray, kan saya pernah bilang padamu, saya dan Pak Guru sudah empat tahun mencari Wak Dulah. Memang dipertemukan belum lama ini, tapi kalau ke tempat ini dan ke rumahnya yang di Banjarnegara, kan sudah beberapa kali. Hanya belum sempat ketemu. Dan ketemunya, waktu di Bandung saja, di rumah Haji Jajuli,” Pak Agus dengan detail menjelaskan. “Ouh,” Ray baru paham. “Di sini banyak pasien Wak Dulah juga, ya?” “Sangat banyak.” “Gimana kalau Wak Dulah lagi bepergian? Beliau kan acap bepergian jauh?” “Beliau punya beberapa murid kepercayaan. Jadi, gimana banyaknya pasien pun, bisa tertangani tanpa harus melibatkan Wak Dulah. Beliau bisa mengerjakan dari jarak jauh. Itu pun saya tahu dari cerita murid-muridnya… waktu tempo hari saya dan pak Guru kemari mencari Wak Dulah.” Belum satu jam berada di ruangan itu sembari menikmati minuman hangat dan kudapan dari singkong dan ubi bertabur parutan kelapa, tiba-tiba Wak Dulah muncul. Diikuti Pak Guru dari belakang. Wak Dulah menepuk bahu Ray. Lalu melempar senyum ke arah teman-teman Ray. “Ikuti Abah, ayo!” komando Wak Dulah. Ray dan ketiga temannya beranjak mengikuti laki-laki itu yang mengajak ke sebuah kamar tak luas. Di tengah ruangan, ada ruang yang disekat dengan kain putih. Ketika Ray menyingkap kain putih itu, dadanya terperanjat seketika lantaran ada sebuah nisan. Wak Dulah tertawa. “Tak perlu takut. Nisan itu tak akan memakanmu. Tapi justru, kamu harus berani jika malan ini tidur dekat nisan.” “Ray sendirian?” tanya Ray dengan perasaan tak karuan. “Sama teman-temanmu!” ucap Wak Dulah tegas.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN