Calon Penghuni Rumah Tua

2196 Kata
Calon Penghuni Rumah Tua DANI ingin segera tiba jam istirahat. Penasaran dengan ucapan Ray pagi-pagi waktu bersua di depan gerbang sekolah. Mereka hendak menuju tempat parkir motor. Ray bilang, ada yang ingin diceritakan. Sangat penting. Dani bertanya ada apa, tapi dijawab oleh Ray, nanti saja kalau istirahat, biar leluasa. Bel tanda istirahat pun berbunyi. Dani segera melesat keluar kelasnya. Menuju kelas Ray. Namun yang dicarinya sudah tak berada di sana. Menurut beberapa teman perempuannya, Ray ke ruang OSIS hendak menemui ketua OSIS karena ada urusan. Urusan apanya, tidak Dani tanyakan dan ia tak ingin tahu. Langkahnya tergesa-gesa ke arah barat. Melintasi beberapa ruangan kelas sebelas. Lalu perpustakaan, ruang UKS dan tiba di depan pintu ruang OSIS. Ia mendengar perbincangan Ray dan beberapa aktifis OSIS. Dani menungu di luar dan duduk di teras sembari menyandarkan punggungnya pada tiang. Setelah sepuluh menit, Ray baru keluar dari ruangan itu. Dilihatnya Dani. Ray mendekati dan menepuk bahu Dani. Kawannya itu tengah melamun hingga tampak sedikit kaget. “Lagi ngapain?” tanya Ray. “Ya, nyusul kamu lah! Emang aku ngapain kemari... jarang-jarang nyasar,” Dani terkekeh. “Katamu tadi pagi itu...” “Oh itu,” Ray duduk di sampingnya. Tak banyak orang lalu-lalang sekitar situ. Terbilang sepi. Hanya anak-anak OSIS saja atau yang hendak ada kepentingan kepada salah seorang aktfitas organisasi itu. “Kamu tadi malam nginep di rumah Bu Mar?” tanya Ray penasaran. Dani menggeleng. “Nggak. Kan Enin yang nginep di rumahku.” “Yang bener?” “Lho, masa soal gitu saja aku harus bohong sama kamu sih?” “Yakin?” “Yakin apa?” “Ya, yakin semalam kamu tak nginep di rumah nenekmu?” Dani berdecak.”Ya, nggak lah. Aku yakin nggak. Ko kayak tak percaya sih, Ray?” “Atau mungkin kamu memang gak nginep. Tapi sempat ke rumah nenekmu barang sebentar, misal mau ngambil sesuatu?” “Gak! Kamu ko maksa banget sih! Sekali aku bilang gak... ya gak lah!” Ray mendesah panjang. “Kamu kan tahu sendiri, aku jarang ke rumah Enin, kan. Apalagi saat Enin lagi di rumahku.” “Ingat-ingat lagi, tadi malem kamu mungkin pulang dari mana... misal dari rumah Fian, lalu mampir situ,” ucap Ray sekali lagi ingin memastikam meski sebenarnya firasatnya masih meragukan yang dilihatnya semalam sosok Dani atau bukan. Dani mendecak lagi. Lalu menggelengkan kepala lagi. “Apalagi malem, hiiii... kamu kan tahu aku paling anti disuruh ke rumah Enin kalo malem kecuali kepaksa. Nih yang jadi masalahnya, Enin lagi gak ada di rumah itu, masa sih aku ke rumahnya. Daripada ke rumah Enin tadi malem, mending ke rumahmu saja lah...” “Semalam aku lihat kamu masuk rumah itu.” Dani kaget. “Hah? Jam berapa?” “Sekitar jam sebelas!” Dani bergidik. “Yang kamu lihat itu... aku.. atau siapa?” “Ya, kamu! Malah aku mengenal jaket yang dikenakannya, jaket yang sering kamu pake, yang warna bitu tua!” “Kamu yang salah lihat kaliiii...” Ray terdiam. Setelah itu lalu menceritakan awal mulanya ia sampai melihat sosok yang tubuh dan pakaiannya sama dengan Dani. Lengkap dengan tragedi perutnya yang melilit dalam gelap malam, keluar rumah, melintasi rumah Bu Marsinah, melihat Dani, memanggilnya... sampai ia pergi ke toilet di pekarangan rumah Haji Jaluli dan berhasil dilempari pasir oleh penunggu rumah tua itu. Bibir Dani mengulas senyum. Ia paling suka jika sudah mendengar cerita seputar hantu meski dirinya sangat penakut. Terlebih, ia senang karena yang mangalaminya Ray. jadi, Dani merasa punya teman untuk berbagi pengalamannya selama diganggu makhluk yang bukan dari bangsa manusia. “Sudah jelas yang kamu lihat itu hantu berwujud aku,” putus Dani usai Ray bercerita. Buku kuduknya sesaat meremang. Membayangkan ada penampakan depan rumah neneknya terlebih menyerupainya. Ray terdiam beberapa saat. Mengiyakan dalam hatinya. Semenjak semalam juga, ia sudah menyimpulkan dengan penampakan itu. Hanya saja ia belum jelas jika belum bersua Dani dan mendengar langsung dari mulut Dani jika sosok itu benar-benar bukan dirinya. “Oke, kita ke kantin yu?” ajak Dani. Tubuhnya berdiri. Ray pun berdiri. Baru saja hendak membalikkan tubuh, muncul Fian. “Aku cari kamu ke kelasmu, tapi kata teman di kelasmu, kamu ke ruang OSIS dan Dani pun menyusulmu,” ucap Fian. “Ya, ada apa cari aku, tumben...” Ray menatap Fian. “Biasanya kamu lebih suka mampir ke rumah saja.” “Darurat sipil,” Fian tertawa kecil. “Bu Sri minta aku cari kamu.” “O ya, ada apa?” Ray menautkan alis. Bu Sri wali kelasnya, mengajar mata pelajaran Admin Jaringan. Biasanya, perempuan yang sangat dihormatinya itu menemui Ray langsung ke kelasnya. “Beliau memanggilku pas aku lewat ke ruang guru. Sebenarnya dia perlunya sama aku...” “Kalo perlunya sama kamu, ngapain kamu panggil aku?” Ray heran. “Karena aku bilang... kamu yang bisa kasih info lengkap,” jelas Fian. “Info apa?” Dani bertanya. “Bu Sri kan baru nikah sama Pak Rahman,” ucap Fian. “Yaaa, pengantin baru.... terus gimana? Kamu mau jadi pengantin baru juga?” Dani berseloroh. Fian melotot. Ray tertawa terbahak-bahak. Mereka tahu Bu Sri dan Pak Rahman baru melangsungkan pernikahan bulan lalu. Mereka mengontrak rumah masing-masing, tentu saja karena awalnya bukan pasangan suami istri. Tiba-tiba Ray menduga kemungkinan Bu Sri ingin menanyakan rumah kontrakan lain yang bisa ditempati pasangan suami istri yang baru menikah. Setahu Ray, rumah kos mereka sebelumnya sama-sama sempit dan agak ramai. Jadi keduanya pun tak mau pindah ke salah satunya. Lalu memutuskan cari tempat baru. “Bu Sri nanyain rumah Haji Jajuli sama aku karena dia tahu rumahku dekat dengan rumah itu,” ucap Fian. Dugaan Ray benar, Ray tertawa geli dalam hati. Pasti mengenai seputar rumah kontrakan. “Jadi... karena kamu tak mau menjelaskan secara rinci kondisi rumah itu, makanya kamu lemparkan agar Bu Sri nanyain ke aku, gitu kan?” “Pinter kamu, Ray!” Fian mengacungkan ibu jari. “Bukan pinter... tapi kamunya yang penakut karena takut disuruh nganter ka rumah itu? Iya kan?” Ray menatap Fian dan menahan tawa. Teringat cerita Fian kala ngacir dengan celana terlepas ketika dilempar pasir oleh jin penunggu rumah tua itu. “Nah, itu alasan paling logis!” Dani menimpali. “Heeeh... tapi kebetulan banget kan Bu Sri itu wali kelas Ray, jadi sangat tepat sasaran jika Ray yang harus siaga mengantarnya,” Fian melirik Dani. “Benar juga sih,” Dani mengiyakan. “Untung gak minta anter aku ya... aku pasti gak akan mau, lagian... aku bukan warga sana... kalo neneku iya.” “Siapa lagi yang minta dianter? Bu Sri kan baru memanggilku belum tentu mau minta dianter, itu baru perkiraanku saja. Aneh-aneh saja kalian ini, ayo anter aku menemui Bu Sri!” Ray mulai melangkah. “Bu Sri itu memang wali kelasku, tapi guru kalian juga kan. Mengajar mapel Admin Jaringan. Jadi, kita semua murid beliau!” “Siaaaaaaap!” ucap Dani dan Fian bersamaan. Mereka bertiga berjalan beriringan ke ruang guru. *** RUMAH tua itu menyeramkan. Orang-orang sekitar sudah tahu. Pemiliknya, Haji Jajuli dan istrinya sudah lama tinggal di kota. Semua anaknya pun tinggal di rumah masing-masing lantaran sudah berkeluarga. Haji Jajuli hanya sesekali ke kampung halamannya. Memeriksa rumahnya. Itu pun tak pernah lama. Hanya sehari atau dua hari. Sementara, rumah tua itu hanya ditempati oleh satu orang pembantu rumah tangga yang sudah dianggap keluarga sendiri. Mak Inoh, perempuan tua yang sudah mengabdi selama puluhan tahun di sana. Ia sebagai penunggu abadi rumah itu, begitu orang-orang menganggapnya. Haji Jajuli memiliki pesawahan yang sangat luas juga kebun yang menghasilkan banyak buah-buahan. Sawah dan kebun digarap oleh orang-orang kepercayaan. Beberapa pekerjanya yang setia pun terkadang datang ke rumah tua itu. Sekadar laporan akan hasil sawah dan ladang pada Mak Inoh. Malah, karena pekarangan rumah itu sangat luas, suka digunakan untuk menjemur padi sebelum diangkut pemiliknya. Rumah tua yang memang tampak menyeramkan dari luar itu, selain memiliki pekarangan luas juga terdapat beberapa pohon di antaranya rambutan, sirsak, mangga, sawo, alpuket dan kelapa. Haji Jajuli semenjak muda tinggal di situ, sudah sangat terkenal dengan sifat kikirnya. Jika panen tiba, baik padi, hasil tani maupun buah-buahan di pekarangan rumah, ia tak pernah mau berbagi. Ketika ia memutuskan untuk tinggal di kota, orang-orang sekitar terutama anak-anak suka mencuri buah-buahan. Basanya dari luar benteng, mereka melempari dengan benda apa saja yang sekiranya bisa menjatuhkan buah yang diincarnya. Setelah yakin ada buah yang jatuh, maka anak-ana itu akan melemparkan sandal lalu masuk ke pekarangan (untuk pohon-pohonan, bagian pekarangan dipagar bambu hingga orang segan masuk) lantaran Mak Inoh suka keluar masuk rumah bahkan duduk di kursi beranda depan. Anak-anak itu pun pura-pura hendak mengambil sandalnya padahal memungut buah-buahan yang jatuh lalu dimasukkan di antara celana dan perut. Mereka pun biasanya sambil tertawa-tawa. Kala Ray masih kecil, ia pernah beberapa kali diajak berbuat jahil begitu oleh teman sepermainan. Namun Ray suka menolak. Lain halnya dengan Fian. “Bu Sri dan Pak Rahman jadi mengontrak rumah di situ?” tanya Dani pada Ray. “Jadi... dan sudah bayar. Rencananya, sore ini, beliau mengajakku ikut membereskan barang-barang.” “Wah, kamu yang angkut barang-barang mereka dari rumah kontrakan mereka sebelumnya?” tanya Fian. “Ya, gak lah. Pake mobil, emang aku kuli angkut gitu?” dengus Ray. Dani dan Fian tertawa. “Selamat beres-beres di rumah itu,” Dani meledeknya. “Ya, Ray.. semoga kamu tambah sehat dan kuat juga disayang Bu Sri. Ray memang murid kesayangan,” timpal Fian. Ray melotot. “Apaan? Bu Sri dan Pak Rahman bukan cuma nyuruh aku. Tapi aku harus ngajak kamu, Fian. Juga Dani. Kita kan warga sekitar sana.” “Aku bukan,” Dani menggeleng. “Tapi nenekmu,” Ray melirik. “Ya, nenekku saja yang bantu beresin,” ucap Dani. “Kualat kamu, Dan sama nenekmu!” seru Ray. “Dasar cucu durhaka!” Fian ikut berseru. “Ampuuuun.. aku cuma becanda. Aku sayaaaannng.... Eninku yang cantik,” Dani ngakak. Mereka bertiga duduk di teras masjid sekolah. Pada jam istirahat. Sepulang sekolah, mereka bertiga berkumpul di rumah Ray. Ratna, ibunya Ray membawa nampan berisi tiga gelas jeruk panas dan sepiring kudapan dari singkong. Comro alias oncom di jero. Ray mandi dulu. Kedua temannya memilih tak mandi karena alasan malas. Cuaca dingin memasuki musim kemarau. Usai shalat magrib, mereka menuju rumah Haji Jajuli. Dani dan Fian berseragam, Ray tidak. Bu Sri dan suaminya sudah berada di dalam. Menunggu tiga muridnya. Setelah berbincang sekitar lima belas menit, mereka mulai membereskan barang-barang. Menatapnya sedemikian rupa sehingga tertata rapi dan sedap dipandang. Fian malah menyapukan lantai dan mengepelnya. Bu Sri dimintanya duduk-duduk manis saja. Mereka hanya menunggu perintah dari kedua guru yang sangat dihormatinya. Ketika mereka bertiga bersama-sama membereskan ruangan atas, Fian tampak kurang bersemangat. Ray merasa heran. Lalu menanyainya. Fian menjawab tak ada apa-apa. Namun Ray tak percaya. Ia merasakan hal yang ganjil. Ruangan atas yang tak begitu luas, hanya terdiri dua kamar dan satu ruangan lebih luas dari kamar, dirasanya meniupkan suasana yang beda. Terlebih lampu ruangan yang redup. Ray merasa juga keberadaan makhluk halus di situ. “Kamu merasakan ketakutan, ya?” bisik Ray di telinga Fian. Dani lagi membersihkan ruang kamar kedua. “Kalau kamu?” Fian balik bertanya. “Ya...” “Aku juga, apalagi...” Fian menoleh ke belakang. Merasa ada yang tengah memerhatikan. “Apalagi... apa?” Ray tetap berbisik. “Aku sangat tahu betul dengan ruangan ini.” “Pernah kemari sebelumnya?” “Gak. Cuma sejak kecil, keluargaku pernah cerita.” “Tentang?” “Sudah ah, Ray, gak perlu dibahas!” larang Fian dan merasakan ada yang masih menatapnya di ruangan itu. Bulu kuduknya sesaat meremang. “Tapi aku mau tahu,” Ray seperti sengaja ingin membuat Fian tambah ketakutan. “Gak malam ini. Ah, sudahlah Ray... kalo kamu memaksa, aku mau pulang saja!” ancam Fian dan serius hendak membalikkan tubuh. Ia pun sebenarnya sangat ingin pergi dari ruangan atas. “Oke!” Ray menepuk bahu Fian sembari menahan senyum. Lalu kembali menata ruangan. Dani keluar dari kamar kedua. Menghampiri kedua temannya. “Aku merasa ada makhluk lain di ruangan atas ini,” ucap Dani. Ray diam. Fian tak berkomentar. “Seperti tengah menatapku. Tadi aku merasakan juga di kamar. Seprti ada yang menemaniku.” “Kita ke sini untuk membantu guru kita membereskan rumah atau mau cerita yang aneh-aneh?” Fian setengah kesal. Dani menatap Fian. Dirasakan temannya tampak tegang. “Besok saja ceritanya di sekolah, ya?” putus Ray. “Kalian berdua apa nyaman masih pake seragam?” “Tanggung, toh besok pake kemeja batik. Kan Kamis,” ujar Dani. Pukul sepuluh, mereka baru beres. Bu Sri dan Pak Rahman meminta mereka bertiga menginap. Namun Fian yang terlebih dahulu menolak. “Kamu ini justru rumahnya paling dekat dengan rumah ini, kan?” Bu Sri tersenyum. “Iii...ya, Bu... lain kali saja.” “Bener lain kali mau nginap?” Bu Sri menatap Fian. “Ibu senang lho kalo kamu mau nginep di sini. Temani kami. Ruangan ini terlampau besar.” “Maksud saya, menginapnya sama Ray dan Dani,” jelas Fian. Dani merinding seketika bulu kuduknya. Ray biasa-biasa saja. “Ya, kalian bertiga,” Bu Sri kembali tersenyum. Lalu mengucapkan terima kasih pada ketiga muridnya. Tak lupa, guru cantik dan baik itu memberinya masing-masing satu keranjang kecil buah manggis. Mereka tentu saja senang. Mereka pun diberi uang jajan. Satu orang lima puluh rebu. Ray berusaha menolak meki dilihatnya Dani dan Fian tampak girang. Namun gurunya tetap memaksa hingga Ray pun akhirnya mau menerima. Dani pulang ke rumah neneknya. Ray ke rumahnya. Begitu pun dengan Fian. Ia paling cepat sampai karena rumahnya hampir berhimpitan dengan rumah itu. Hanya terhalang gang yang tak lebar. Saat Fian mulai merebahkan badan, telinganya mendengar sesuatu di atas atapnya. Namun, ia sudah terbiasa. Jin penunggu rumah tetangga yang suka jahil. Melempar pasir ke atap rumah orang. Anehnya, Fian mendadak ingin membuka jendela. Ada rasa penasaran yang terus mendorongnya. Dikuakkan sedikit. Dari jendela kamarnya ke arah ruang atas rumah Haji Jajuli, hanya beberapa meter. Tatapannya terpusat ke jendela ruang atas yang lampunya redup itu. Dilihatnya sesosok tubuh tinggi besar tengah berdiri.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN