Gadis Penakut
“TANTE, Ray ada di rumah?” seorang gadis bicara pada Ratna, perempuan berusia tiga puluh tujuh tahun, ibunya Ray.
“Ada di dalam,” ucap Ratna yang tengah duduk di kursi yang berada di beranda. “Tidak ke mana-mana sejak pagi.”
“Tumben,” kata gadis itu yang tak lain adalah Cika, kakak sepupu Ray. Anak Rika, kakaknya Ratna.
“Jarang sih kalau Minggu. Palingan ada teman-teman sekolahnya yang datang ke sini. Mereka main di dalam saja sama Ray. Padahal, mereka hendak mengajak keluar, tapi kamu tahu sendiri watak adik misanmu itu, kadang susah kalau lagi tak mau keluar rumah,” jelas Ratna.
“Mia dan Rayna?” tanya Cika. Ia masih berdiri di luar pagar rumah.
“Mereka juga sama. Betah di ruangan atas. Ayo, Cika masuk sini, ko malah berdiri di luar pagar kayak orang asing saja,” Ratna menatap keponakannya yang cantik.
“Tadinya mau ke rumah Dini.”
“Teman SMA kamu yang rumahnya baru pindah ke depan itu? Sebelah toko obat?” tanya Ratna.
“Iya. Ko Tante tahu?”
“Kan Mamamu yang cerita.”
“Tapi Cika mendadak malas.”
“Ya udah, kalau malas tak usah ke sana. Mendingan masuk ke rumah, tuh si Ray temanin. Kali saja, dia mau kamu ajak ke luar. Biar tak suntuk seharian ngerem di rumah.”
“Tapi Cika pingin ngobrol sama Ray di dalam saja, Tan.”
“Ya, boleh. Terserahmu.”
Cika melangkahkan kakinya. Membuka pintu pagar yang sebatas dadanya. Lalu menutupnya lagi. Setelah itu menuju pintu rumah yang sudah terkuak sebelumnya. “Cika ke dalam dulu ya, Tan?”
Ratna mengangguk. “Bikin minuman sendiri, ya?”
“Oke, Tan,” Cika masuk. Mengetuk pintu kamar Ray. Tak berapa lama, Ray membuka pintu kamarnya. Rambutnya kusut. Wajahnya agak keruh. Pakaiannya juga berantakan.
Cika geleng-geleng kepala. “Kamu itu harusnya bisa merawat diri. Masa kayak gini sih, kamu itu tampan, ko tak mau dandan. Pantas belum punya cewek!” ledek Cika seraya masuk.
“Laaah, biasanya juga rapi dan wangi. Kali ini lagi malas saja,” Ray kembali duduk depan laptop.
“Ngapain saja seharian hingga kau tak sempat mandi?” Cika ikut duduk di atas karpet kecil berwarna hijau lumut. Tak jauh dari tempat duduk Ray.
“Mandi!” seru Ray.
Cika tertawa renyah.
“Meski dingiiiin, masih teras sampai sekarang,” tubuh Ray menggigil.
“Tidak sedang musim hujan.”
“Apa cuaca dingin mesti musim hujan saja?” Ray melirik. “Sekarang kan mau masuk musim kemarau. Cuaca akan sering terasa dingin.”
Cika tersenyum. “Iya gitu? Perasaan biasa-biasa saja.”
“Apa kegiatanmu selain kuliah?” Ray mengalihkan pembicaraan.
Cika diam.
“Pasti pacaran, ya?”
“Ah, boro-boro!” sanggah Cika cepat. “Nomor satu… fokus kuliah.”
“Bohong!” seru Ray sengaja ingin menggodanya. Namun matanya tak mau lepas dari layar laptop.
“Nggak percayaan banget sih kamu ini!” Cika manyun. Usia mereka berdua hanya selisih satu tahun. Cika lebih tua dari Ray. Semenjak kecil, mereka acap bermain bersama. Hingga remaja, kedekatan mereka tak ditunjukkan lagi depan orang selain keluarga lantaran risih dengan usia yang sudah bukan kanak-kanak lagi. Namun, di sela luang waktu, mereka tetap akrab. Cika kuliah dan kos di Jatinangor. Pulang ke rumah sekitar dua minggu sekali. Bahkan terkadang sebulan baru pulang. Jadi, Ray dan Cika jarang bersua. Paling, sesekali mereka berkomunikasi lewat gawainya.
“Ada salam dari Dani!” ucap Ray.
Cika tertawa renyah. “Nggak kapok tuh dia!”
“Nggak kayaknya! Soalnya masih sering nanyain kamu!”
“Bilangin… salam lagi dari aku!” ucap Cika pura-pura serius.
“Waaah, pasti dia seneng dengernya nanti,” Ray tersenyum. Mereka pun terdiam untuk beberapa saat. Mata Ray masih mengarah ke layar laptop. Sementara Cika hanya bisa menghela napas. Ray terlalu serius jika tengah mengerjakan tugas dari sekolahnya. Namun, keseriusannya itu membuahkan hasil. Terbukti, nilai-nilai mata pelajaran selalu paling tinggi di kelasnya. Begitu yang Cika dengar dari ibunya, Rika.
“Kapan kembali ke Jatinangor?” tanya Ray tanpa melirik.
Pintu diketuk pelan. Cika beranjak. Membukanya.
“Katanya minta Cika yang bikin minuman sendiri,” ucap Cika jadi tak enak.
“Nggak percaya kamu mau,” jawab Ratna. Cika terkekeh. Meski agak malu. Ratna membawa nampan berisi dua gelas minuman hangat. Juga sepiring besar ubi rebus yang kecil-kecil. Cika mengambilnya. Dua gelas ditaruh di dekat Ray. Lalu kembali menghampiri Ratna. Mengambil piring berisi kudapan di nampan. Cika mengucapkan terima kasih sebelum bibinya itu berlalu dari ambang pintu kamar.
“Kalau di Jatinangor, Ray… banyak banget tanaman ubi jalar. Besar-besar umbinya. Apalagi daerah Tanjungsari tuh paling banyak. Ada ubi Cilembu... huh rasanya manis banget, kayak disuntik pakai larutan gula ke dalamnya.”
“Pernah beberapa kali nyobain, kalau Papa bawa. Tapi pingin yang asli, kapan-kapan bawain dong, aku mau….”
“Siaaaap.”
“Kalau dari daerah asalnya lebih mantap kan?”
“Pasti,” kata Cika sembari tangan kanannya mengambil gelas untuknya. Lalu menyeruput sedikit minuman hangat dari jahe ramuan Ratna. “Nikmat banget minuman ini. Tante Ratna ko jago banget, ya?”
“Siapa dulu dong anaknya, hehe…” Ray meliriknya. “Eh, tadi aku nanya belum kamu jawab.”
“Yang mana?”
“Kapan kamu pulang ke Jatinangor?”
“Selasa pagi.”
“Besok nggak ada kuliah?” tanya Ray.
“Biasanya ada. Tapi untuk dua minggu ke depan, jadwalnya dipindah ke hari lain. Ada dua matkul. Keduanya dipindah untuk sementara saja. Ke sananya biasa lagi. Makanya, karena Senin tak ada kuliah, aku pulangnya tidak Senin pagi seperti biasa. Tapi Selasa pagi.”
“Alangkah inginnya aku segera menjadi mahasiswa,” Ray membayangkan.
“Beberapa bulan lagi. Ray, aku mau cerita, ya?”
“Ya, silakan.”
“Tapi… kamunya jangan menghadap laptop treus, jadi tak asyik ngobrol kalau tak saling pandang. Masa aku ngobrol sambil menatap punggung kurusmu terus. Dari kemarin aku mau ngomong sama kamu, tapi baru sempat sekarang. Kemarin kamu kan ada kegiatan sama teman-temanmu kata Mama aku.”
“Sekarang saja ngobrolnya, ya?” Ray memamerkan senyumnya yang manis tanpa bisa dilihat Cika karena masih membelakanginya.
“Ya, tak rencana ke sini sore ini juga. Kebetulan lewat dan nggak jadi ke rumah Dini,” ucap Cika sembari menatap punggung Ray yang dibalut kaus putih polos. Saudara sepupunya itu membalikkan tubuhnya. Hingga menghadap ke arah Cika.
“Ray, kamu pun tahu kalau aku gadis penakut...”
“Ya, tahu, Sudah bukan rahasia lagi,” Ray mengulum senyum. “Sejak kecil kamu penakut. Mungkin Tuhan menciptakanmu untuk menjadi orang yang penakut.”
“Tapi ketika aku kos, jauh dari Mama… mau tak mau, aku harus berani.”
“Terus… berani?”
“Awalnya mencoba berani.”
“Dan berhasil?”
“Tidak, Ray. Ada hal-hal aneh di kamar yang aku tempati di sana,” ucap Cika dengan raut muka menyimpan kecemasan. “Sebelumnya sih tak terjadi apa-apa. Aku tak menemukan keganjilan. Tidur nyenyak. Tapi belakangan ini, beberapa kali tidurku terusik dengan suara di kaca jendela…”
“Apa? Suara? Di kaca jendela?” Ray tampak kaget.
Cika mengangguk. “Seperti seseorang yang sengaja menggaruk-garukkan kuku-kukunya di kaca jendela.”
“Hemmm…”
“Kayaknya bukan manusia, ya?”
“Belum tentu.”
“Belum tentu manusia?” desak Cika penasaran.
Ray mendadak gelisah. Ia termenung sesaat usai mendengar penuturan lebih jelas dari kakak sepupunya. Cika bukan hanya sekali mendengar suara itu. Namun, berkali-kali. Bahkan di malam-malam yang berbeda. Dan itu teramat mengusiknya dan tentu saja menciptakan ketegangan.
“Aku takut banget, Ray,” ucap Cika. “Menurutmu… itu suara apa?”
Ray menghela napas sejenak. “Nggak ditanyakan sama teman-teman di kosan kamu?”
Cika menggeleng. “Aku tak akrab dengan mereka.”
“Berapa lama tinggal di sana?”
“Tiga bulan.”
“Waktu yang cukup, Cik,” ucap Ray. Ia sebenarnya langsung teringat Wak Dulah. Ia pun teringat pengalaman yang menimpanya. Suara serupa garukan kuku di kaca jendela rumah lalu kamar yang ditempatinya. Kemudian, berujung dengan penampakkan kepala yang berwajah menyeramkan.
Cika kembali terdiam. Yang membuatnya enggan kembali ke pondokannya lantaran hal itu. Ia ingin pindah tapi tak semudah itu. Pindah tempat kos terkadang membuat berabe. Tak mudah mencari tempat kos yang bagus dengan harga sama dengan pondokan yang ditempatinya. Apalagi untuk mencari tempat kos yang lebih murah. Jika saja, ia punya uang lebih. Namun, keuangannya selalu terbatas. Bahkan terkadang kekurangan. Ia pun tak berani banyak menuntut pada ibunya yang sudah lama bercerai dari ayahnya.
Ray mendekatkan tubuhnya ke arah Cika. Tangannya menepuk bahu saudara sepupunya. “Kamu tenang saja. Suara itu biarkan saja. Hanya sebuah suara kan?”
“Tapi wajar kan kalau aku takut?”
“Ya, pasti. Tapi ketakutan tak akan bisa menyelesaikan masalahmu. Malah akan membuatmu merasa dihantui dan terus dicengkram rasa takut,” Ray mencoba menenangkannya. Ia pun sangat berharap suara itu tak berujung penampakan wujud kepala dengan wajah menyeramkan pada Cika. Ia tak mau Cika lebih ketakutan. Apalagi Cika tinggal jauh dari kedua orangtuanya.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Cika. Ia tahu jika Ray saudaranya yang sangat berani dan mampu mengatasi rasa takut. Padanya juga, ia sering meminta pertolongan dan dukungan jika menemukan hal-hal yang menakutkan di luar nalar kemampuannya. Terlebih, ia penakut sementara Ray tidak. Jika sudah bicara dengan Ray, ia pun percaya akan tenang.
“Kataku tadi… kamu tenang saja.”
“Kalau suara itu terdengar lagi di sana?”
“Abaikan…” ucap Ray dan tetap menahan untuk tak menceritakan pada Cika jika suara serupa garukan kuku-kuku itu mungkin sama dengan makhluk yang pernah menampakkan wujudnya pada Ray.
“Kalau suara itu berubah menjadi wujud menyeramkan?” tetiba Cika membayangkan yang tidak-tidak. Namun, ia hanya menjaga-jaga; kalau-kalau hal yang ditakutkan terjadi. Dan syukur, jika Ray memberi solusi dan mampu menenangkannya.
“Jangan menduga-duga sesuatu yang belum tentu terjadi. Kamu harus percaya, jika wujud yang kamu anggap menyeramkan itu tak akan ada. Dan itu hanya halusinasimu.”
“Maksudmu?” Cika belum mengerti perkataan Ray.
“Begini, Cik. Biasanya, orang penakut itu sasaran empuk didekatin hantu dan sejenisnya.”
“Masaaaaaaaa?” Cika sedikit kaget.
“Biasanya begitu meski tak semuanya benar. Lantaran, ada juga orang pemberani diganggu hantu. Tapi biasanya juga… orang pemberani bisa mengatasi karena mereka tak ada rasa takut. Akhirnya, si hantu malah balik malas mengganggu orang pemberani,” jelas Ray.
“Karena merasa tak ada tantangan, ya?”
“Huum.”
“Pantesan…”
“Ya, pantesan terjadi padamu karena kamu penakut!”
“Jangan meledekku!” mata Cika mendelik.
“Tapi emang iya kan, kamu di rumah… tidurnya sama Mamamu terus!”
“Sekarang tidak lagi. Itu ketika aku belum menjadi mahasiswi. Setelah kuliah dan kos... otomatis aku jauh dari Mama. Masa harus ajak Mama ke sana untuk menemaniku tidur. Tentu aku harus bisa mandiri dan…”
“Dan tidak jadi gadis yang penakut,” Ray melengkapi ucapan Cika yang terpotong. Di luar, langit hampir diselimuti gelap. Sebentar lagi, malam hendak mengurung senja yang kian redup. Cahanya beranjak memudar.
“Aku pulang dulu, ya?” Cika bangkit dari tempat duduknya. “Makasih ubi mininya.”
“Nginep sini saja!” ajak Ray.
“Tidur sama kamu? Nggak lah yaaaaa!”
“Yeeey… siapa yang mau ngajak kamu tidur di kamarku, nggak boleh. Meski kita saudara juga kan sekarang kita sudah sama-sama dewasa. Kamu tidur sama Rayna dan Mia.”
“Siapa yang sudah dewasa?”
“Kita.”
“Belum dewasa kali. Kamu masih remaja. Aku yang mau dewasa.”
“Laaah, beda dikit, cuma setahun!” cibir Ray. Cika tertawa. Ia pun pamit pada Ratna. Tergesa-gesa langkahnya keluar rumah Ray. Membuka pintu pagar. Kakinya berjalan ke arah timur. Menuju rumahnya.
Perbincangan dengan Ray, sedikitnya membuat dirinya tenang. Ray benar, mulai sekarang aku harus belajar menjadi gadis pemberani, tekatnya dalam hati. Selepas makan malam dan berbincang dengan ibunya hingga pukul delapan, ia pun masuk kamarnya.
Malam bergerak cepat. Menuju tengah malam. Cika tengah lelap dimanja mimpi yang indah ketika suara dari kaca jendela kamarnya terdengar. Treeeeeeeeeeeeeek. Sontak, matanya terkuak. Telinganya dengan sangat jelas menangkap suara itu kendati tengah bermimpi. Dan suara itu mampu melenyapkan mimpi indah yang tengah dirajutnya. d**a Cika berdegup keras. Keringatnya membasahi leher dan wajah. Di ruangan kamarnya yang gelap. Kamar yang sering dibiarkan kosong semenjak tiga bulan ia mengenyam ilmu di kota lain. Kini, kamarnya terasa dingin mencekam. Tatapan matanya mengarah ke jendela. Jendela kaca yang tertutup tirai kain berwarna merah hati. Namun, jika ruangan gelap, warna tirai tak terlihat. Tampak seperti hitam. Matanya mengawasi jendela itu hingga kembali terdengar suara yang sama. Dadanya kian berdegup. Keringat membasahi lagi bagian tubuh lainnya.
Matanya tak bisa lepas mengawasi jendela ketika dari arah ventilasi jendela, ada benda bergerak berwarna hitam. Lalu melayang jatuh. Tubuh Cika bagai disengat kalajengking lantaran kaget. Tubuhnya pun bergerak cepat menuruni tempat tidur. Tangannya menempel di dinding dimana ada sakelar lampu. Ruang kamar seketika terang benderang. Ia segera menuju jendela. Matanya mencari ke bawah lantai. Ia yakin benda hitam yang melayang itu jatuh di sekitar lantai. Namun, tak ditemukannya.***