Sosok-sosok yang Tak Terlihat

2015 Kata
Sosok-sosok yang Tak Terlihat TINGGAL tiga puluh menit lagi, waktu solat subuh akan habis, ketika Dirga baru saja menguakkan matanya. Cahaya mentari menerobos lewat ventilasi jendela kamar. Ia kaget bukan main. Baru pagi itu, ia kesiangan. Dilihatnya Ray dan Fian yang masih terlelap. Dengan cepat, Dirga membangunkan kedua temannya dengan suara agak keras. “Raaaay, Fiaaaan, banguuuun! Kita kesiangan solat subuh!” teriak Dirga lalu tubuhnya beranjak. Ray membuka mata. Begitu pun dengan Fian. Mereka pun kaget. Keduanya bersamaan bangkit tubuhnya. Menuju pintu kamar. Dan menyusul Dirga untuk berwudlu. Karena keterbatasan waktu dan khawatir segera mendekati waktu yang diharamkan utuk solat, mereka pun solat munfarid. Tanpa berdoa sesudahnya. Bahkan, terkesan terburu-buru. “Efek ikan maaaaas,” ucap Fian sembari melipat mukena dan sarung milik Dirga. “Padahal kita tidur nggak larut-larut banget. Jam sembilan lewat, tapi ya Tuhan… ko bisa kebablasan ya, aku kayak dibuai mimpi dan sulit mau bangun. Padahal terkadang, aku suka terbangun kalau mau buang air kecil,” jelas Ray. Dirga menyingkapkan tirai jendela rumah lebar-lebar. “Alhamdulillah kita pulas, tapi astagfirullah kita nyaris kesiangan solat subuh. Untunglah masih ada waktu.” “Ray, biasanya juga kalau kenyang makan, aku suka pingin anu… ke WC, aneh, malam tadi ko pulas banget, kayak kena sihir. Kalau di rumahku, aku kadang malam-malam ke toilet umum Haji Jajuli, tapi harus bisa melawan rasa takut…” “Takut apa? Penghuni rumah Haji Jajuli?” tanya Ray. Fian mengangguk. “Ya, Si Gembel.” “Bukankah sama kamu, dia sudah kenal lama?” goda Ray. Fian mengendikkan bahu. “Hiiih, ngeriiiii. Si Gembel kadang menampakkan wujud di jendela kamar di ruang atas.” “Dulu kan? Sebelum rumah itu dikontrak sama Bu Sri dan Pak Rahman?” Ray menatap Fian. “Tidak juga, Ray. Sekarang masih…” Ray tersenyum tipis. “Mungkin kangen sama kamu.” “Hiiiiii…” Fian kembali bergidik. “Eh,” Ray seperti baru sadar hingga kedua temannya melirik padanya. “Dani ko nggak ada?” “Oh iya!” Fian tampak kaget. Dirga pun begitu. Lalu, Dirga masuk ke kamar orang tuanya. Mencari Dani. Tak ada. Terus ke ruang belakang. Dapur dan kamar mandi. Dani masih tak ada. Kemudian kembali ke ruang keluarga yang merangkap ruang tamu. “Fian, coba cari Dani… mungkin di kamar!” kata Dirga. Fian langsung memburu kamar Dirga. Mencari temannya di situ. Diangkat kasur di atas divan, begitu pun kasur yang satunya lagi. Diduganya, mungkin Dani tertindih kasur busa meski itu hanya imajinasi semata lantaran terpengaruh dengan bayangan rumah Haji Jajuli. Fian ke luar kamar dengan kecewa. Kepalanya menggeleng. “Dani tak ada di kamarmu, Dir.” “Aneh…” Ray menggeleng-gelengkan kepala. Merasa heran. “Kita ko baru inget dia nggak ada!” “Karena kita tadi terburu-buru ke kamar mandi lantaran kaget kesiangan,” ucap Dirga. “Ya, Dir,” Ray mengangguk. Ia masuk ke kamar. Mengambil gawai. Mencoba menghubungi Dani. Tak ada sahutan. Kemudian, mengirim pesan pendek lewat WhastApp. Centang satu. Terakhir online pukul sembilan tadi malam, beberapa menit sebelum tidur. Ray menghela napas bingung. Akhirnya, mereka bertiga membuat nasi goreng dan menggoreng kerupuk. Lalu makan pagi. Meski dengan pikiran bercabang karena teringat Dani yang menghilang. “Lho, Dirga… kenapa kita jadi bertanya-tanya ke mana Dani, ya? Sementara gawainya juga ngak aktif,” kata Ray. “Sudah jelas juga di rumah ini dia nggak ada.” “Terus gimana?” tanya Dirga. “Kamu belum membuka pintu rumah dan pagar depan?” Ray balik bertanya. Dirga menggeleng. Lalu bangkit dan membuka pintu depan yang tak terkunci. Kuncinya tetap bergelayut di gagangnya seperti semalam. “Berarti Dani pergi, buktinya pintu terbuka, tapi dia membiarkan tak terkunci lagi,” Ray menyimpulkan. Dirga mengiyakan. “Nggak kamu cek pintu pagarnya, Dir?” saran Fian. “Nggak usah juga. Kalau pintu rumah tak terkunci, berarti Dani lewat pintu pagar, kan? Masa melompati pagar rumah.” “Hehehe, kirain terbang…” “Baiklah, kita tunggu saja sampai gawai Dani aktif dan bisa kita hubungi,” putus Ray. Mereka pun mandi bergiliran. Lalu bersalin pakaian punya Dirga karena Ray dan Fian tak bawa salin. Pukul sepuluh, ketika Ray, Fian, dan Dirga tengah bercengkrama di ruang TV sembari menonton siaran hari Jumat, terdengar suara motor berhenti depan pagar rumah Dirga. Ray berdiri dan mengintip dari balik jendela. Dirga dan Fian pun berdiri. Tampak Dani mendorong pintu pagar. Lalu memasukkan motornya. Ketiga temannya yang tengah memerhatikan dari balik jendela, bernapas lega. Ray memberi komando agar jangan berisik. Mereka bertiga pindah tempat berdiri di dekat pintu, lebih tepat paling pojok. Terdengar Dani mengucapkan salam. Tak disahut. Dani melepas sepatunya. Lalu tangannya dengan agak ragu, membuka handle pintu. Pintu rumah pun terbuka sedikit. Ia melangkah ragu. Dadanya berdegup teringat pengalaman tadi malam di depan kamar mandi. Namun, ditepis rasa takutnya. Kakinya pun kembali melangkah masuk. Satu, dua, tiga… “Doooooorrr!” teriak ketiga temannya yang berdiri di balik pintu. Jantung Dani dirasanya hampir lepas lantaran kaget. Lalu Ray, Fian dan Dirga tertawa-tawa senang melihat Dani yang melotot karena kaget. Sembari meraba dadanya. “Salah sendiri pulang tak bilang-bilang!” seru Ray setelah tawanya reda. Mereka berempat duduk di atas karpet. Tanpa memerhatikan siaran TV. Akan tetapi ingin tahu cerita Dani yang tiba-tiba menghilang. Tentu saja, Dani tak mau mengatakan yang sebenarnya jika celananya basah karena tak bisa menahan buang air kecil. Ia ketakutan semalam mendengar suara di dalam kamar mandi. Suara yang bukan suara manusia. Tentu saja, siapa lagi? Semalam, di rumah hanya berempat. Ray, Fian, Dani, dan Dirga sang penghuni rumah. Tak ada yang lain lagi. Jika Dani ke kamar mandi mendengar suara, ia pun tak akan menebak suara salah satu temannya karena yakin, ketiga temannya tengah terlelap dibuai mimpi. Oke, soal hantu, Dani bisa saja menghindar dengan cara kembali ke kamar lalu berselimut dan kalau perlu memeluk erat-erat tubuh Fian. Tapi jika berhubungan dengan celana basah, apa mungkin bisa bertahan? Ia tak mungkin mencuci celana jins semalam dan menunggunya hingga kering. Apalagi, ia mendadak tak sudi masuk ruang kamar mandi. Bisa-bisa dicekik pemilik suara aneh itu. Hal yang harus dilakukannya itu, hanya mengganti celana jins dengan celana yang baru. Meminjam pada Dirga, meski awalnya Dirga menawarkan, tapi kalau meminjamkan lantaran celana jins Dani basah terkena air najis, tentulah Dirga tak akan suka. Dani bisa menjadi bahan ledekan atau mungkin Dirga merasa jijik. Lalu, jika Dani tetap melanjutkan tidur dengan celana basah dan membiarkan kering sendiri seiring waktu, tak terbayang aroma tak sedap dari celananya itu. Tentu akan menusuk hidung teman-temannya yang tengah terlelap. Dan bukan main, bisa membuat mereka bangun. Akhirnya, keputusan keluar rumah Dirga dengan cara mengendap-endap, mendorong pelan-pelan motornya keluar dari halaman, bisa membebaskannya. Hingga ketika melajukan motor di tengah malam, ia nyaris kesetanan lantaran seperti dikejar hantu. Ibunya sampai marah karena suara motor Dani yang berhenti depan rumahnya telah membangunkan seisi rumah. “Semalam, aku dapat pesan pendek, Nenek mendadak minta ditemanin karena sakit,” kata Dani. “Kasihan kan, dia sendiri di rumahnya.” “Bu Mar sakit apa?” “Masuk angin, batuk, flu, demam, mencret…” Dani mulai mengarang cerita. “Ko komplit banget!” komentar Dirga. “Maklum sudah tua,” jelas Dani sembari nyengir. Ray merasa cerita Dani ada yang kurang beres dan tak masuk akal. Tak biasanya Dani bela-belain datang ke rumah neneknya pada tengah malam. Ray sangat tahu karakter Dani terutama untuk urusan paranoidnya. “Eh, Dan… emang Nenek kamu suka chatingan?” Fian mendadak ingin tertawa. Dani mendelik. “Nenekku... gaul, tau!” Fian cekikikan. Ray melirik Fian dan memberi kode agar jangan tertawa berlebihan di rumah Dirga. Satu jam kemudian, Ray mengajak ketiga temannya pergi solat Jumat. Mereka menuju masjid jami yang berada di lingkungan komplek perumahan. Tak jauh dari lapangan futsal. “Sarung kamu banyak, ya?” komentar Fian ketika sudah kembali di rumah. Ia melipat semua sarung dan sajadah milik Dirga. “Kan saban lebaran punya jatah satu meski bukan sarung mahal. Kamu juga sama kan?” Dirga menatap Fian. “Dia itu kadang pertanyaannya pilon!” ledek Dani yang dimaksudkan pada Fian. Dirga dan Ray tertawa. Fian diam tapi ia tak marah. Ia acap nebeng motor Dani jika pulang sekolah. Jika Dani tengah menginap di rumah neneknya pun, ia dibonceng Dani pergi bersama ke sekolah. Fian tak punya motor. Namun, Ray yang rumahnya tak jauh dari rumah Fian pun bersedia membonceng Fian. Sayangnya, Fian terkadang merasa risih dan ia memilih naik ojeg. Kecuali, jika kebetulan Ray lewat rumahnya. Dan mengajaknya pergi bersama. Mereka berempat masak bersama. Nasi dan menghangatkan pepes ikan mas. Menggoreng kerupuk, membuat sambal dan mencuci lalapan mentah. Kemudian makan siang bersama dengan lahap. “Hati-hati efek ikan mas, nanti terlalu pulas!” Ray mengingatkan teman-temannya. Hingga pukul sembilan malam, mereka berkumpul di ruang TV. Solat berjamaah isya lalu makan malam. Setelah matanya dirasa mulai pada mengantuk, mereka pun masuk kamar. Kali ini, yang tidur di kasur yang berada di atas divan; Fian dan Ray. Dani dan Dirga di bawah. Lampu sudah dimatikan. Ray terjaga sekitar pukul satu dini hari. Suara di atap rumah yang membuatnya terjaga. Blug blug blug. Suara apakah itu? Keningnya berkerut. Serupa makhluk besar yang tengah menginjakkan kakinya di atas atap. Namun, dadanya bernapas lega karena suara itu menghilang seketika. Matanya yang semula terkuak, kini dipejamkan lagi. Hendak melanjutkan mimpi yang tadi dirajutnya. Baru saja beberapa menit, telinganya menangkap suara lain. Treng treng treng! Ia yakin, suara itu datang dari ruang belakang. Dapur tepatnya. Mungkin suara sendok dan garpu beradu? pikirnya. Dihelanya napas. Suara itu pun menghilang. Dibalikkan tubuhnya hingga menghadap dinding dan membelekangi Fian yang tengah mendengkur halus. Ray mencoba mengosongkan pikirannya. Namun, ucapan Dirga tempo hari di telepon terngiang-ngiang lagi. Dirga sempat mendengar suara di kaca jendela kamarnya. Serupa garukan kuku-kuku yang tajam. Ray tahu, makhluk menyeramkan itu menghampiri kamar-kamar teman-temannya termasuk Cika saudara sepupunya. Makhluk yang acap mengusik dengan garukan yang membuat bulu kuduk merinding. Ray mengkhawatirkan jika makhluk itu menampakkan wujudnya yang mengerikan. Pasti teman-temannya juga Cika ketakutan. Entah bagaimana reaksi mereka, Ray tak bisa bayangkan. Sementara, Ray sendiri akan menganggap itu hal biasa. Jika makhluk itu muncul lagi di jendela kamar atau rumahnya, maka akan diabaikannya. Begitu tekat Ray lantaran ia pun tahu siapa yang memelihara makhluk itu. Ray hanya berharap dan berdoa, makhluk itu hanya menakut-nakuti. Tak hendak mencelakai. Bukankah makhluk halus itu kebanyakan hanya usil? Begitu yang ada dalam pikiran Ray. Matanya yang semula terbuka dalam gelapnya kamar, mulai dipejamkan lagi. Ia ingin menjemput kantuk meski jadi agak sulit diundang. Namun, dicobanya berkali-kali. Matanya tetap terpejam. Dalam keheningan malam, telinganya kembali menangkap suara. Kali ini dari arah luar rumah Dirga. Sepertinya di teras rumah, begitu dugaan Ray. Suara langkah kaki bersepatu. Ray menahan diri. Namun, ia tak mau kalau harus beranjak lalu mengintip dari kaca jendela rumah. Mencari tahu siapa yang tengah melangkahkan kaki di teras. Tidak, kepalanya menggeleng. Kendati ia cukup penasaran. Besok, tak ada kegiatan ke sekolah karena Sabtu lebih banyak digunakan untuk kegiatan ekstra kurikuler. Ray pun tak berencana ke sekolah. Ia mau mengobrol dengan Dirga. Bertanya banyak hal mengenai rumah yang ditempati Durga sekeluarga. Tersebab, Ray merasakan banyak keanehan terutama hal yang berhubungan dengan mistis. Hantu dan penampakan. Ia pun menduga, Dani sempat melewati malam menakutkan di malam lalu. Ray yakin. Sangat yakin meski Dani berusaha menutup-nutupinya. Pukul dua dini hari. Malam yang tak begitu dingin. Ray pun tak berselimut. Ia memang terkadang jarang berselimut. Apalagi jika cuaca tengah gerah meski di malam hari. Komplek perumahan ini berada dekat anak bendungan Saguling. Dibangun di atas hamparan sawah kering yang dulunya, konon penggalian pasir. Ray pernah mendengar dari ibunya mengenai komplek perumahan ini. Banyak kenalan ibunya yang membeli rumah di sini. Namun, kebanyakan dari mereka tak betah dan ingin mencari tempat tinggal lain di tempat berbeda. Bukan lantaran terkadang saluran air ke rumah-rumah yang tak lancar. Bukan. Bukan karena itu. Namun, mereka acap mengalami peristiwa yang membuat kuduknya terasa disobek-sobek. Deeerrrrrrrrrrrrrrrrrrr. Kaca jendela bergetar. d**a Ray terperanjat. Matanya mengarah ke kaca jedela kecil yang tertutup tirai. Meski tak jelas karena ruangan gelap. Namun, ia bisa menangkap jendela yang terus bergetar. Seperti ada yang menggetarkannya dengan kekuatan yang sangat dahsyat.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN