Di Tengah Perjalanan

1963 Kata
Di Tengah Perjalanan PADA jam istirahat, Dirga menemui Ray ke kelasnya. Ray yang tak keluar kelas, menyambut Dirga dengan senyum. Di dalam kelas, tak ada siapa-siapa. Ada tadi tiga orang cewek, tapi setelah tahu Dirga masuk, mereka bertiga langsung keluar. Menuju kantin. “Ayahku sudah pulang, Ray. Tadi malam,” Dirga tampak girang. “Kondisinya sudah semakin baik.” “Alhamdulillah, Dir. Aku turut senang,” komentar Ray antusias. Mereka berdua duduk berdampingan di bangku Ray. “Teman-temanmu ko pada kabur semua?” tanya Dirga. “Paling, sebentar lagi juga berdatangan. Biasa, cari jajanan dan dibawa ke kelas. Tapi yang cewek. Yang cowok, nggak tahu pada nongkrong di mana. Aku males ngikut. Abis istirahat, mau ulangan Algortima dan Pemograman.” “Kamu mau ulangan? Pantas semedi dulu, hihihi…” Dirga ngikik. “Menyepi. Peregangan otot,” Ray tersenyum. “Aku ganggu nggak?” Ray menggeleng. “Nggak, ko. Toh, semalam aku sudah belajar di rumah. Dir, aku mau ke rumahmu, menengok ayahmu. Sama Dani dan Fian, nanti kuajak… mungkin sore sepulang sekolah.” “Nggak pa-pa, Ray. Nggak usah repot-repot, lagian ayahku sudah pulih banget.” “Kan aku ingin lihat ayahmu kalau sudah pulih... bagaimana,” goda Ray. “Hehehe, ya… gimana kamu saja, Ray… tapi Dani kayaknya kapok ya datang ke rumahku? Apalagi menginap,” ucap Dirga. Ia tahu Dani mendengar suara aneh di dalam kamar mandi tapi Dani tak mengatakan jika akhirnya ia tak bisa menahan untuk tak buang air kecil hingga celana jins-nya basah. “Nggak, ko, kalau sekadar menengok dan masih siang. Maksudnya, asal tidak malam dan jangan menginap,” jelas Ray. Ia pun sudah tahu banyak dari Dirga mengenai rumah yang ditempati Dirga sekeluarga. Menurut cerita Dirga, keluarganya acap mendengar suara-suara aneh. Seperti halnya yang pernah terdengar oleh Ray ketika menginap di malam kedua. Namun, jika suara garukan kuku di kaca jendela, hanya menimpa Dirga. Termasuk benda yang terbungkus plastik hitam yang melayang lalu menghilang. Ray pun sadar, kalau yang satu itu… itu kiriman Wak Dullah. Teringat lelaki tua itu, Ray jadi teringat cerita Ratna, ibunya. Yang mengatakan jika Wak Dullah bersikeras untuk mengangkat Ray sebagai anak kandungnya. Wak Dullah sangat menyayangi Ray. Bukan lantaran ia tak memiliki anak laki-laki. Namun, bagi Wak Dullah, Ray itu mampu mewarisi ilmu hitam yang selama ini didalami Wak Dullah. “Ray, waktu kamu menginap di rumahku… kamu sempat melihat penampakan, atau mungkin… suara-suara aneh… seperti yang dialami Dani?” tanya Dirga hati-hati dengan suara pelan. Ray menggelengkan kepala. “Nggak, ko.” Dirga manggut-mangut berusaha memercayai ucapan Ray yang sebenarnya berbohong. Tiba-tiba, gawai Dirga berdering. Ia meletakkan benda itu di kuping kanannya. Lalu bicara sekitar tiga menit. Setelah itu, ia menatap Ray. “Kamu tahu daerah Nangerang?” Kening Ray berkerut. “Perasaan, itu kawasan gunung.” “Tapi… tahu?” “Tahu namanya saja, tapi belum pernah ke sana.” “Oh, kirain pernah…” “Belum, kenapa kamu tanya itu?” Ray sedikit heran. Dirga terdiam sejenak. Lalu, “Begini, Ray… barusan yang telepon Mang Darman, adik ibuku. Dia minta aku untuk ke Nangerang.” “Ngapain?” “Ambil obat…” “Obat apa?” “Aku nggak tahu. Dia cuma nyuruh aku ke Nangerang untuk ambil obat ke rumah Pak Endang.” “Kenapa nggak kamu tanyakan obat apa?” “Aku ngak mau kepo, Ray…” Ray terdiam. Tentunya, yang terlintas di benaknya, obat yang akan diambil Dirga, bukan obat sejenis tablet atau pil seperti yang dijual di apotik atau toko obat. Namun, obat yang berbeda. Mungkin, sesuatu yang bisa dijadikan obat, pikir Ray. Misalnya, dari orang pintar. Ray pun sempat mendengar jika di kawasan gunung itu banyak orang pintar, dukun, tabib, paranormal, atau sejenis itulah. Perbincangan mereka terhenti ketika teman-teman perempuan sekilas Ray, mulai masuk ke dalam kelas. Dirga agak merasa risih. Akhirnya, ia pamit kembali ke kelasnya. Sepulang sekolah, Ray, Dani, dan Fian, menuju rumah Dirga. Hanya satu jam, mereka berada di sana lantaran Dani terus merajuk pada Ray untuk segera pulang. Namun, Ray berusaha bertahan karena Dirga meminta Ray mengantarnya ke Nangerang. “Jangan, Ray, malam ini malam Jumat…” Dani berbisik. Dirga sempat menangkap bisikan Dani. Ia sedikit tak enak hati. Ia meminta pada pamannya yang kebetulan tengah berada di sana, untuk menangguhkan kepergiannya ke Nangerang. “Gimana, Ray?” Dirga minta kepastian. “Baiklah, karena kalau sekarang kita maksain ke sana, entah jam berapa sampai. Terus entah jam berapa pula kita pulang. Jaraknya cukup jauh, Dir… itu juga kata orang-orang yang pernah ke sana,” jelas Ray. “Gimana… kalau besok sepulang sekolah, kita langsung dari sekolah saja? Kita nggak usah mampir dulu ke rumah masing-masing, biar sampai di lokasi hari masih terang.” “Masih terang gimana, Ray… pulang sekolah itu jam tiga kadang jam empat. Sementara, perjalanan ke Nangerang mungkin butuh dua jam,” sela Fian yang sudah tahu daerah sekitar sana meski baru mendengar dari cerita ibunya. “Gimana besok saja. Fian, kamu mau ikut kan?” Ray melirik Fian. Fian mengendikkan bahu. Merinding. Teringat cerita orang dengan keangkeran gunung Nangerang. “Nggak, Ray. Besok malam Sabtu, aku jadwal memijit Ayah.” “Alasan,” cibir Ray. Dani tersenyum meledek. Namun, ia pun siap-siap menolak jika Ray mengajaknya serta. “Tapi, Ray… aku besok sore bukanya nggak mau menemani Dirga, tapi Nenek minta ditemanin. Nenek lagi kurang sehat. Dan aku… tak mau dia sendirian di rumahnya.” Ray melirik Dani. “Sejak kapan kamu jadi cucu penurut?” “Aku cucu yang patuh, lho. Malam ini juga, aku mau menginap di sana.” “Jangan ajak aku menemanimu, ya?” kata Ray. Dani nyengir. Lalu, mereka bertiga pun pamit pulang setelah hari gelap. Solat magrib pun di masjid yang dilintasi karena kalau di rumah takut tak keburu. Ray hanya geleng-geleng kepala tahu Dani melarikan motornya ke arah rumahnya sendiri. Bukan ke rumah Bu Marsinah, seperti yang dikatakan sebelumnya. Sementara Fian anteng saja berada di boncengan Dani. Ia tahu Dani tak mau membonceng karena Dani akan langsung pulang ke rumahnya. *** “Ray, hati-hati ya bawa motor ke Nangerang,” Fian mengingatkan. “Kenapa gitu? Banyak curanmor?” “Bukaaaaan…” “Atau kamu nggak percaya aku bisa bawa motor ke gunung?” “Motormu kan…” “Aku bawa motor Papa.” “Oh, syukurlah…” “Terus tadi kamu ingetin aku, kenapa tuh?” Ray penasaran. “Hemmm, di Nangerang banyak hantu.” “Hantu itu di mana-mana ada. Termasuk di pikiranmu!” “Aku serius lho, Ray!” “Fian, aku justru takut manusia ketimbang hantu!” ucap Ray. Lalu meninggalkan Fian yang mematung depan lapangan basket. Ray mencari Dani yang semenjak pagi banyak menghindar lantaran tampak takut diajak Ray ke Nangerang. Fian mengejar Ray. Lalu berdua mencari Dani. Namun, Dani benar-benar tak ditemukan hingga bel tanda masuk istirahat sudah habis, terdengar berbunyi nyaring. Pelajaran sudah usai. Ray dan Dirga beriringan naik motor. Lalu, Dirga memarkir motornya di depan rumah salah satu kenalannya tak jauh dari alun-alun kecamatan. Ia menitipkan motor. Setelah itu, ia naik motor Ray. Motor pun melaju ke arah barat. Melintasi jalanan aspal yang licin dan hitam. Azan magrib terdengar sayup-sayup. Mereka berdua masih di perjalanan. Lalu, Ray mengajak singgah di sebuah masjid yang berada di pinggir jalan. Berdua masuk ke dalam setelah berwudlu. Lalu solat bersama jamaah lainnya. “Makan mie ayam dulu,” Ray memarkir motornya setelah lima menit berlalu dari masjid. Berhenti depan sebuah kios kecil yang berjualan mie ayam. Ray memesan dua porsi. Mereka menikmati mie ayam yang lezat. Sesekali Ray bertanya pada penjual mie ayam mengenai lokasi yang hendak dituju. Tersebab, baik Ray maupun Dirga, baru kali pertama hendak menuju ke sana. Apalagi kawasan gunung yang sudah terbayang kondisinya bagaimana. “Setengah jam kalau cepat bawa motornya, bisa sampai ko,” kata penjual mie ayam. Usai membayar, Ray dan Dirga kembali melanjutkan perjalanan. Apa yang dikatakan penjual mie ayam tadi itu, meleset. Buktinya, setengah jam itu perjalanan tiba di kaki gunung. Dari situ, masih harus satu jam lagi. Begitu informasi dari laki-laki yang diajak berbincang sejenak oleh Ray dan Dirga. Ray yang baru pertama kali naik gunung dengan motor, tentu saja sedikit kewalahan dan kesulitan. Untungnya, motor yang dikendarainya itu motor ayahnya. Bukan motornya. Motor ayahnya biasa ayahnya gunakan untuk bepergian jauh yang melewati lintasan-lintasan menantang. “Biar lambat asal selamat,” Ray dengan semangat menguatkan Dirga yang tampak putus asa. Akhirnya, keletihannya terbayar. Tiba depan rumah yang dituju. Tak sulit mencari alamat karena Pak Endang itu tabib yang cukup dikenal. Rumahnya berada di bukit. Hanya lima belas menit mengobrol. Pak Endang memberika bungkusan berisi obat. Dirga memasukkan ke dalam tas ranselnya yang tersandang di punggungnya. Mereka pun pamit pulang. “Kalau pulangnya, jalanan ko lumayan lancar gini, ya Ray,” ucap Dirga sembari menahan gigil di tubuhnya. Udara di gunung tentu saja dingin. Kendati tubuhnya dilapisi jaket tebal sama seperti Ray. “Kalau berangkatnya kan mendaki… jadi lumayan penuh perjuangan. Menanjak. Kalau pulangnya, jalanan menurun meski jalanannya tak bagus,” jelas Ray. Jarang sekali rumah-rumah penduduk yang dilintasi. Hanya kebun dan kebun. Terkesan seram. Apalagi pohon-pohon yang tinggi atau pohon bambu yang tampak menyeramkan di mata Dirga. Ray pun merasakan aura yang negatif. Namun, ditahannya. Tak ada kendaraan motor yang berpapasan. Sepi. Sangat sepi. Angin dari pepohonan semakin menambah kengerian malam itu. Entah pukul berapa. Ray tak melihat jam yang ada di gawainya. Begitu pun dengan Dirga. Terlebih, gawainya mati. Dalam hati, Ray terus memanjatkan doa agar selamat selama di perjalanan. Kendati jalanan menurun, tapi dirasanya sangat lama. Ia merasa perjalanan tak sampai-sampai. Terus melintas pepohonan yang seolah tengah menatapnya. Masih berada di gunung. Jalan menuju kaki gunung belum juga dilalui. Padahal Dirga ingin segera lepas dari gunung yang terasa mencengkramnya. “Ray, ko aku agak takut gini,” lengan Dirga memeluk pingang Ray. “Takut apaan sih, Dir… biasa ko.” “Semoga motormu tak ada masalah.” Ray berdecak. “Motor Papaku… jagoan. Kamu harus percaya.” “Gimana jika terjadi sesuatu?” “Sesuatu apaan sih kamu ini?” Ray sedikit kesal dengan tingkah Dirga. “Misal… mogok, ke mana kita harus mencari bengkel di gunung?” Dirga membayangkan hal yang buruk-buruk. “Jangan mendoakan motorku mogok, dong!” “Bukan mendoakan, tapi jaga-jaga, Ray,” kedua lengan Dirga tambah erat memeluk pinggang Ray. “Jangan lebay, Dirga!” seru Ray tak suka. “Kamu ko jadi ketularan Dani dan Fian sih?” Dirga tak menjawab. Matanya terpejam. Ia tak mau melihat pemandangan kiri-kanan yang banyak pepohonan tinggi dan rimbun. Ia pun takut melintas pemakaman. Tadi, ketika berangkatnya, ia melihat pemakaman tapi lupa dimana letak lokasinya. Apakah sudah terlewat lagi atau belum. Semoga sudah terlewat, doanya dalam hati. Ray menahan motornya agar tak terjerumus ke dalam jurang yang mungkin ada lantaran jalanan gelap. Sesekali ada cahaya, tapi seringnya gelap. Hingga di sebuah belokan, motornya terhenti. Dirga nyaris teriak lantaran matanya yang terkuak sedikit, menangkap hamparan nisan demi nisan yang cukup banyak. Dadanya berdegup keras. Sementara Ray dengan cuek, turun dari motornya. Menyalakan gawai. Menyorotkan lampu senter dari gawainya kea rah motornya. Memeriksa ban dan bagian lainnya. Dirga yang terpaksa turun dari motor lantaran disuruh Ray, tubuhnya mendadak gemetaran. Matanya tak lepas dari nisan demi nisan yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Di bawah pepohonan yang sangat rimbun. Dadanya berdegup keras. Jantungnya berdetak lebih cepat. Matanya menangkap sosok putih di depan sebuah nisan. Tak terasa, celananya basah. Mulutnya ingin teriak. Namun, terasa lehernya tercekik. Sementara Ray, dengan santai masih mengecek bagian motor yang mungkin menyebabkan motornya mendadak terhenti di sebuah tempat yang begitu menyeramkan. Terutama bagi Dirga yang tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya masih terpusat pada sosok putih yang tengah duduk. Berambut panjang. Wajahnya tengah menunduk.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN