Gadis Berkerudung Merah

2045 Kata
Gadis Berkerudung Merah HUJAN turun semenjak sore. Nyaris tiada jeda. Bukan sekadar titik-titik hujan yang turun dari langit. Namun, sangat deras. Mang Dayat dan istrinya belum kembali dari rumah saudaranya yang tengah pesta pernikahan. Sementara, Dirga dan ketiga temannya sudah kembali dari pesta itu semenjak pukul tiga. Beruntung, hujan turun setelah mereka tiba di rumah. Pesta hajatan di kampung cukup meriah. Maklumlah, yang menikah orang kalangan berada. Dirga dan teman-temannya menikmati hidangan di sana yang menurut banyak orang bilang, makanan dan minuam yang istimewa. Beda sekali dengan pesta pernikahan pada umumnya yang biasa dilangsungkan di kampung. “Kalau hujan tak juga reda, kemungkinan Mang Dayat dan Bi Nani nggak akan pulang,” kata Dirga. Mereka berkumpul di dalam rumah. Tak berani menyalakan televisi lantaran khawatir antenenya di atas genting tersambar petir. Mereka menahan diri untuk tak menonton siaran televisi selepas Magrib. Lampu ruangan dibiarkan menyala dengan terang. Bunyi air hujan yang menimpa genting rumah terdengar dengan jelas. Sesekali diiringi petir dan halilintar yang menggelegar di langit. Ray merapatkan jaketnya. Menghalau dingin yang menggigit kulitnya. Fian menyeruput teh manis hangat. Dirga mengunyah ubi rebus. Dan Dani memainkan gawainya meski tengah susah sinyal. Selepas solat Isya, mereka makan malam. Bi Nani sempat ke rumah siang tadi, menyimpan makanan dari tempat hajatan. Agar Dirga dan ketiga temannya tak kesulitan dan kerepotan jika ingin makan malam. Namun, acara makan malan dirasa mereka dengan perasaaan penuh kecemasan. Hujan tak kunjung reda. Dan Mang Dayat juga istrinya seperti tak ada tanda-tanda akan segera pulang. Mengingat jarak rumah yang mengadakan pesta itu agak jauh. Namanya di kampung, jarak dari rumah satu ke rumah lainnya cukup jauh. Apalagi jarak antara rumah yang berlainan RT. Kala hujan terdengar sedikit reda, gawai Dirga berbunyi. Ia tampak senang menerima telepon dari pamannya. Ia langsung menanyakan kapan pamannya itu akan pulang. Namun, ia harus kecewa karena Mang Dayat justru mengabarkan jika dirinya juga istrinya akan menginap di tempat hajatan. Dan Mang Dayat menitip rumahnya dijaga. “Malam ini, di tempat hajatan ada acara ceramah dari ajengan terkenal,” kata Dani. “Tapi percuma buat kita, karena kita nggak bisa ke sana. Lantaran hujan.” “Hujan sudah semakin mereda,” kata Fian. “Kita bisa ke sana.” Dirga gegas melarang. “Jangan! Jalanan tak bagus di musim hujan! Dan akses ke sana di malam hati sangat gelap meski kita bawa motor!” “Tapi... bukankah banyak warga yang menonton ke sana?” “Terserah. Mereka toh warga sini dan sudah terbiasa dengan akses jalan yang seperti itu. Tapi kita, nggak terbiasa!” “Dirga benar,” Ray mengiyakan. “Sebaiknya, urungkan niat kita untuk menghadiri acara ceramah seperti rencana semula.” “Ah...” Fian tampak menyesal. “Lagian ini sudah jam delapan,” Ray mengingatkan. “Kita juga letih kan seharian tadi keluar. Ke pesta hajatan itu... berkeliling kampung ini. Menyusuri sungai. Melintasi pematang. Malam ini, kita istirahat saja. Besok kita pulang.” “Jangan dulu pulang, besok kan Sabtu. Kita di sini sampai Minggu!” kata Dirga. Ray mengangkat kedua bahunya. “Gimana nanti saja!” Pukul sembilan, satu per satu sudah merasa matanya mengantuk. Lalu, masuk kamar. Berempat rebahan di atas kasur kapuk berseprai batik merah hati yang tergelar di atas alas papan. Bilik bambu membuat dingin, kian terasa lantaran udara masuk dari luar melewati celah-celah bilik bambu. Mereka menggigil kendati tubuhnya sudah dilapisi jaket tebal. Juga kedua kaki masing-masing berbalut kaus kaki. Berempat, berbaring berjajar. Seperti ikan pindang. Dani, Fian, Dirga, dan Ray. Berselimut masing-masing sarung pinjaman dari Mang Dayat. Lampu kamar dimatikan. Hujan sudah reda. Tak terdengar lagi meski hanya titik-titik. Di dalam rumah sepi. Begitu pun di luar rumah. Halaman rumah Mang Dayat yang luas. Hanya pepohonan yang tumbuh di sana. Di kiri-kanan rumah pun kebun orang. Di belakang, berdiri rumah yang baru dibangun tapi belum dihuni pemiliknya lantaran belum selesai. Dani mulai gelisah ketika ia merasa tak mengantuk seperti yang lainnya sudah pada pulas. Tubuhnya hampir menempel pada bilik bambu. Udara dingin yang menerobos lewat celah-celah kian terasa. Menyelusup ke dalam tubuhnya yang kurus. Matanya dipejamkan meski tetap masih belum mengantuk. Blug! Suara di luar rumah. Tepatnya di samping kamar. Dani terperanjat. Sontak matanya terkuak. Bunyi yang jatuh. Entah apa. Ia tak bisa menebak-nebak. Bahkan bunyi itu sangat keras. Namun, tak seorang pun temannya yang terbangun karena itu. Srek srek srek! Suara langkah kaki di luar. Seperti tengah melangkah di atas tanah yang ditumbuhi rumput-rumput liar. Lalu, ada suara embusan angin begitu kentara. d**a Dani naik turun. Tubuhnya seketika berbalik menghadap Fian. Namun, ia merasa punggungnya ada yang memeluk. Keringat mengucur di tubuh. Yang memeluk entah siap lantaran ia yakin hanya ia yang tidur paling pinggir bahkan dekat sekali dengan bilik bambu. Lalu, siapa yang tengah memeluknya? pikirnya lagi. Tubuhnya sesaat gemetaran. Bibirnya bergerak-gerak. Berusaha melafalkan doa yang diingatnya. Perlahan, yang memeluknya lepas. Ia bernapa lega. Satu tangannya ke belakang dan meraba-raba di sekitar punggungnya. Memastikan jika makhluk yang tadi memeluknya sudah benar-benar lenyap. Ia pun akhirnya tenang dan bisa tidur meski tidak lelap seperti yang diharapkannya. Subuh-subuh, semua terbangun ketika pintu rumah ada yang mengetuk dari luar. Mang Dayat dan istrinya. Dirga dan semua temannya pergi ke jamban yang berada di luar. Menimba air di sumur yang airnya sangat dalam. Hingga terengah-engah meski yang menimba bergantian. Bi Nani menjanjikan makan untuk sarapan. Goreng ketan, tumis campur, dan nasi putih lengkap daging ayam dan teman nasi lainnya. Semua dari tempat hajatan itu. “Kami jadi merepotkan gini,” ucap Ray. Bi Nani tersenyum. “Justru Bi Nani senang, lho... kalian mau menginap di gubuk ini.” “Kata siapa gubuk?” ucap Dani. “Justru lebih mirip vila, ya...” “Iya, lebih adem dibandingkan dengan Vila Aling...” Dirga melirik pada Dani. Dani mendesah. “Ngomong-ngomong soal Vila Aling... siapa saja yang ketika malam terakhir kita menginap di situ.. melihat bayangan besar di dinding?” “Aku...” “Aku juga!” “Ya... aku kebagian.” “Semua kebagian, ya? Bagus lah, adil!” “Tapi jika kamu mau ajak kami berlibur lagi di sana, aku siap ko, Dan...” Ray tersenyum. “Boleh saja, kita cari akhir pekan yang mana ya... yang agak santai!” kata Dani. Acara makan pagi berlangsung santai. Ray bersyukur, ia sempat membawa oleh-oleh makanan ringan, wajit, dan kerupuk gurilem untuk Bi Nani hingga ia tak terlalu merasa sungkan jika disajikan makan pagi yang menurutnya sangat istimewa lantaran cukup banyak makanan yang tergelar di atas tikar. Mang Dayat muncul. Baru usai mandi. Tampak segar. “Kalian belum pada mandi?” “Masih dingin, Mang. Nanti agak siangan,” jawab Ray. “Mandi di sungai lagi, ah... segar,” Dirga tersenyum. “Semalam banyak yang menghadiri ceramah. Maklum ada ajengan kondang. Semua sudah tahu ajengan itu mampu menyedot pengunjung dari mana-mana. Tarifnya juga berjuta-juta. Yaaa, untuk ukuran orang kampung, bisa dibilang meriah,” tutur Mang Dayat. “Ukuran di kota juga kalau mengundang ajengan sekondang beliau... ya bisa dibilang, waaaah!” komentar Dani. “Warga sekitar pasti pada datang, ya?” tanya Ray. Mang Dayat mengangguk. “Ya, dari kampung sebelah juga banyak padahal hujan turun semenjak sore. Tapi tak menyurutkan mereka untuk membatalkan datang ke sana. Tapiii... katanya, banyak juga yang tak jadi datang karena...” “Karena hujan?” potong Dirga. “Bukan, bukan karena hujan. Mereka tak akan peduli dengan hujan toh rata-rata pada naik motor dan bawa payung, jas hujan, dan sejenisnya. Namun, orang-orang kampung sebelah mendadak membatalkan di perjalanan dan kembali pulang.” “Kenapa tuh, Mang?” tanya Ray penasaran. “Kampung mereka kan dari arah Cibeureum, nah untuk menuju lokasi, pasti melintasi pemakaman umum Pasirparia.” “Mereka takut lewat pemakaman? Bukankah orang kampung sudah terbiasa lewat pemakaman di malam hari?” potong Dirga lagi. Mang Dayat tersenyum simpul sembari membetulkan letak kopyahnya. “Di pintu pemakaman, di belokan yang menuju Pasirdadali dan Pasirgepeng... mereka melihat sosok tubuh tinggi besar dan hitam di bawah pohon kamboja. Tengah menatapnya.” “Hiiiiiii...” bulu kuduk Fian merinding. Dirga bergidik. “Siapa tuh, Mang?” tanya Dani. Mang Dayat menggelengkan kepala. “Entahlah, entah iya atau tidak... Mamang juga tak tahu. Apa cerita rekaan atau memang benar, itu juga tak jelas, cuma tadi sebelum Subuh, ketika Mamang hendak pulang, orang-orang yang menginap di tempat hajatan... ribut menceritakan itu.” “Sosok tinggi hitam besar?” Ray mengulang penggalan penjelasan Mang Dayat. “Ya... begitu katanya.” “Mungkinkah?” Dani melirik Ray. “Mungkinkah... mendiang Mang Jaja?” Dirga menatap pamannya. “Ayo, ditambah minumannya, bikin lagi...!” Mang Dayat memersilakan. Lalu tubuhnya beranjak meninggalkan Dirga dan teman-temannya. “Tadinya pingin menginap lagi di sini, tapi jadi tatut giniiii,” Fian bergidik lagi. “Pulang sekarang, yu!” Dani geleng-geleng kepala. “Malam nanti masih ada hiburan di tempat hajatan itu. Katanya dangdutan dan mendatangkan biduan lokal dari Banjaran Soreang!” “Masa?” Dirga tampak tertarik. “Ko aku nggak dikasih tahu Mang Dayat?” “Aku juga tahunya dari orang-orang yang tengah ngobrol di situ... waktu kita prasmanan,” jelas Dani. “Coba kamu tanyakan kebenarannya sama Mang Dayat.” Bi Nani muncul dan mengiyakan jika itu benar. Fian mendadak semangat. Benar saja, Fian mengurungkan untuk cepat-cepat pulang. Terlebih sedari awal, ia memang yang paling semangat dan bersikeras untuk berlama-lama di kampung ini. Seharian, Dirga dan teman-temannya menemani Mang Dayat di sawah dan kebun. Selepas zuhur baru kembali ke rumah. Sore hari, mereka berjalan-jalan naik motor ke jalanan beraspal. “Kalau masih terang gini, lewat pemakaman umum... nggak merasa takut!” kata Dirga yang dibonceng Ray ketika motor melintasi pemakaman yang terkenal sangar itu. “Biasa saja, Dir. Jangan biasakan penakut gitu. Kamu kan laki-laki!” “Orang merasa takut itu manusiawi.” “Memang, tapi jangan berlebihan.” “Aku nggak berlebihan!” “Berlebihan!” seru Ray. Dirga tak berucap lagi. Tangannya memegang kantong plastik hitam berisi bako dan kertas paper untuk Mang Dayat. Ray yang sengaja membelikannya. Selain itu, Ray pun membeli gula putih, kopi, minyak goreng, dan mi instant. Ia punya uang dari Wak Dulah yang masih tetap menemuinya. Meski terkadang tak mau datang ke rumahnya. Namun, Wak Dulah menunggu Ray di depan gerbang sekolah. Dengan uang itu, ia menyisihkan sedikit untuk keluarga Mang Dayat. Ia tertarik dengan sikap bersahaja juga ketulusan orang-orang di desa. Tiba di rumah, mereka disambut Bi Nani. Langit sore cerah. Tak ada tanda-tanda akan turun hujan seperti sore kemarin. Kebetulan sekali, menjelang malam Minggu. Fian yang paling tak sabar menanti acara dangdutan nanti malam. Usai solat Isya dan makan malam. Mang Dayat, Bi Nani, Dirga dan ketiga temannya berjalan kaki menuju tempat hajatan. Mereka mengambil tempat duduk di deretan belakang. Kursi tamu sudah penuh. Banyak pengunjung yang tak kebagian tempat duduk. Namun tampak riang meski harus berdiri. Sebagian menggelar tikar yang dibawa dari rumah. Musik dangdut mulai terdengar. Penyanyinya, perempuan-perempuan muda yang cantik dengan gaun cukup sopan. Tak seperti penyanyi dangdutan kelas hajatan lainnya. Hanya satu jam, Dani duduk. Ia agak resah. Mendadak ingin pulang tanpa sebab tapi teman-temannya tampak masih menikmati tontonan yang makin heboh. Akhirnya, Dani pura-pura hendak buang air kecil. Padahal mau pulang meski ia tak berani sendiri. Dan berniat mencari orang yang mungkin akan pulang satu arah. Hingga bisa diajak berbincang sepanjang perjalanan. Karena jarak ke rumah Mang Dayat dari tempat hajatan jika ditempuh dengan jalan kaki, bisa menghabiskan waktu dua puluh menit. Hati Dani bersorak ketika melihat seorang gadis berkerudung merah. Bajunya hitam panjang. Gadis itu berjalan pelan. Dani mendehem dari belakang. Gadis itu menoleh lalu mengulas senyum yang begitu manis di mata Dani. “Mau pulang?” Dani sok akrab seraya menjejeri langkah gadis itu. Gadis itu mengangguk. “Ke mana pulangnya?” Jemari gadis itu mengarah ke perkampungan menuju rumah Mang Dayat. “Kita pulang bareng, yu?” Gadis itu mengangguk. Mereka berjalan bersama. Malah tertawa-tawa. Dani lupa dengan teman-temannya. Ia terbuai dengan senyum dan canda gadis misterius itu. Dani pun lupa dirinya tengah berada di mana. Langkahnya terus mengikuti kemana gadis itu melangkah. Kakinya tak dirasa letih padahal perjalanan cukup jauh. Dani pun bingung tapi tak bertanya pada gadis itu. Di sebuah belokan yang gelap, gadis itu lenyap. Dani kaget. Jalanan sepi. Ia baru sadar. Kakinya cepat berlari tanpa tujuan. Lalu terjatuh. Tak sadarkan diri. Esok pagi, teman-temannya, menemukan ia tengah terlelap di bawah pohon kamboja di pemakaman angker.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN