Kematian yang Tragis

2125 Kata
Kematian yang Tragis RAY baru saja hendak mengeluarkan motor dari pekarangan rumahnya ketika gawainya berdering. Dari Dirga yang masih berada di rumahnya, begitu kata Dirga ketika Ray menerima teleponnya. Ray mendecak, ia terburu-buru ingin segara tiba di sekolahnya. Namun, terusik dengan panggilan dari Dirga. “Sore ini, kamu antar lagi aku ke Panaruban, ya?” rajuk Dirga. “Biasa… disuruh ayahku. Bukan ambil uang… tapi urusan yang lain.” “Nggak bisakah lewat telepon saja, telepon saudaramu itu… kan dia juga punya hape. Terus, ayahmu atau kamu bilang apa urusannya. Beres ‘kan!” saran Ray. “Nggak bisa ditelepon, Ray. Saudaranya saudaraku itu mau hajatan, ayah dan ibuku nggak bisa datang. Jadi mereka mau kasih amplop berisi uang yaaa alakadarnya. Titip sama Mang Dayat. Nanti sama Mang Dayat dikasih ke yang punya hajat itu. Begitu, Ray…” Dirga coba menjelaskan. Ray baru paham lalu bilang oke. “Tapiiii… kebetulan kan besok tanggal merah, Ray. Jadi, aku mau ajak Fian dan Dani juga. Kita menginap di sana. Saudaraku pasti senang. Kita bawa salin saja, kalau dari sekolah ya nggak apa-apa berseragam. Tapi salin ‘kan buat tidur di sana sekalian seharian besok bermain dulu di sana. Yaaaa… ke tempat hajatan itu juga.” “Hemmm… gimana nanti saja, Dir.” “Jangan gimana nanti! Putusin dari sekarang, biar mereka pada bawa salin dari sekarang… mungkin mereka masih pada di rumahnya!” “Kalau begitu, kamu hubungi mereka saja secepatnya!” ucap Ray tegas. “Sudah dulu, ya... aku buru-buru! Sampai ketemu di sekolahan!” Motor melaju kencang menuju sekolah. Tiba di sana, masih sepi. Hanya beberapa siswa yang tampak baru datang. Ray segera masuk kelasnya yang sudah dibuka oleh penjaga sekolah yang baik dan rajin. Ia duduk di kursinya. Menyimpan tas di kolong meja. Lalu mengeluarkan laptop dari tas yang satunya. Tak lupa, dilepasnya jaket hitam terbuat dari kaus yang membalut tubuhnya. Dinyalakannya laptop itu. Lalu disambungkan pada internet sekolah yang jaringannya bagus apalagi pagi-pagi saat warga sekolah belum bermunculan. Dengan tekun, Ray berselancar sembari mengerjakan tugas beberapa teman dari kelas lain. Pada jam istirahat, Dirga, Dani, dan Fian mengajaknya makan di kantin. Namun, hanya sebentar di sana tersebab sesak dengan teman-teman dari kelas lain. Mereka pun menuju masjid. Lalu duduk di beranda sebelah utara sembari menikmati pemandangan sekitarnya. Pepohonan yang rindang. Kolam berbentuk lingkaran yang airnya jernih. Beberapa siswa perempuan tampak duduk di pinggirnya. “Kamu naksir gadis itu, ya?” Dirga menyikut lengan Dani. Dani yang tengah asyik memerhatikan seorang gadis manis berambut sebahu, tersenyum dikulum. “Saban lihat gadis manis, dia pasti suka,” ledek Ray. “Yang manis itu kan sedap dipandang, Ray,” bela Dani. “Terlalu banyak yang sudah kamu pandang,” Ray meliriknya. “Kamu bukan tipikal cowok setia.” Dani tertawa. “Ko kamu menyimpulkan begitu sih? Apa buktinya?” “Kamu gencar ngejar-ngejar Cika, saudara sepupuku… eh, kamu juga malah suka teleponan mesra sama Indah.” Dani menghentikan tawanya. “Ray, baik Cika atau Indah… keduanya belum resmi jadi pacarku. Akunya juga masih bingung gimana caranya mendapatkan salah satunya. Nggak mungkin kan aku dapetin keduanya, tentu harus pilih salah satu. Sebab… nantinya aku harus jadi cowok setia.” “Makanya, kamu dekatin satu saja, Dan,” Dirga nimbrung. “Cika atau Indah.” “Kan jaga-jaga, Dir. Kalau Cika menolak… kan ada Indah. Begitu pula sebaliknya, hehehe.” Ray mendelik. “Sama saja, kamu nggak berprinsip. Kalau suka sama yang satu, ya itu saja terus dekatin… jangan masih mikirin yang lain. Salah-salah nanti keduanya menolak.” “Akunya juga nggak pede banget, Ray. Nggak berani nembak duluan. Apalagi keduanya itu sulit kugapai hatinya. Juga banyak keterbatasanku. Cika mahasiswi dan kos jauh dari sini. Kecil kemungkinan menerimaku… karena di sana pun pastinya banyak mahasiswa yang suka padanya. Lalu Indah… dia bunga desa itu. Bukan pelajar. Hanya tamatan SMP. Tapi nggak sedikit laki-laki yang memperebutkannya di sana. Agak ragu juga bisa dapatin dia. Kalau soal mereka… Cika ataupun Indah berkomunikasi denganku, kan bisa saja mereka hanya menganggapku teman. Nggak lebih. Aku juga kadang sadar itu. Nah, begitu Ray… Dur… Fian…” “Ko kamu pesimis gitu?” kata Dirga. “Bukan pesimis… tapi sadar diri!” jawab Dani. “Ya, sudah... nggak usah bahas lagi cewek. Kita kembali sama prinsip kita sebelumnya, kita sudah berkomitmen… nggak akan mikirin cewek dengan begitu dalam. Karena tujuan kita mencari ilmu… dan fokus kita sekarang, menghadapi ujian akhir. Kita harus siapkan juga dan rencanakan dengan matang, apa langkah kita selanjutnya setelah ini… setelah lulus sekolah, apakah akan langsung kuliah… atau kerja dulu baru nanti kuliah dengan biaya sendiri,” Ray berhenti bicara dengan menatap satu persatu sahabatnya. “Aku setuju dengan pendapat Ray,” ucap Fian. “Tapi kayaknya aku ingin kerja dulu, kalau kuliah… ortuku nggak akan sanggup biayai, kamu tahu kan kondisi perekonomian keluargaku.” “Aku juga sama, nggak mungkin kuliah. Aku pilih cari kerja saja,” Dirga balas menatap Ray. “Apa pun rencana kita, semoga dimudahkan… dan kita sudah bersepakat dari awal, hendak saling mendukung dan membantu,” kata Ray. “Kalau Dani… Ray apalagi, pasti kalian berdua langsung kuliah. Secara ekonomi, kalian mampu.” Dani tersenyum. “Fian, secara ekonomi, aku… bukan golongan orang berada. Hidup kami juga paspasan. Hanya mungkin, aku punya nenek, Bu Marsinah yang punya uang pensiunan dan dia pernah berjanji akan membantu biaya jika aku mau kuliah.” “Alhamdulillah…” ucap Ray. “Nah, aku pun tak jauh dengan kalian, keluargaku orang biasa-biasa saja. Kalian tahu kan keadaanku. Ayahku bukan pegawai tetap apalagi pegawai negeri. Hanya kerja di bawah perintah orang dan bisa kapan saja diberhentikan, ibuku… Mama… hanya ibu rumah tangga biasa seperti ibu kalian. Memang, mungkin kalian melihatku karena aku punya saudara sebaik Bunda Dewi. Ya, memang... beliau pun pernah berucap beberapa kali akan menguliahkanku dengan biaya dari beliau. Itu tentu saja menyenangkan kedua orangtuaku. Tapi bagiku, tidak… teman-teman, justru akan menjadi beban bagiku. Aku tak mau Bunda berbuat sejauh itu padaku, aku bukan anak kandungnya. Apa yang akan dibilang saudara sepupuku yang lain semisal Cika… dia juga kesulitan membayar uang kuliah katanya, tapi Bunda Dewi nggak pernah membantunya.” “Karena Bunda Dewi lebih sayang kamu,” kata Dirga. “Aku nggak bilang gitu, Dir. Mungkin Bunda Dewi melihat ortuku yang kurang mampu secara keuangan. Sementara Cika masih punya ayah yang katanya… cukup berlimpah hartanya meski sudah bercerai dari ibunya.” “Oh ya… kamu punya Wak Dulah, hartawan itu, Ray… orag hebat lagi, sakti mandraguna,” Fian tersenyum. Ray menggeleng. “Nggak. Apalagi jika aku dibiaya kuliah olehnya, aku akan lebih terbebani dan harus balas jasa… dengan meninggalkan Papa dan Mama... dan menjadi anak Abah.” “Jadi… rencanamu sendiri gimana, Ray?” tanya Dani. “Kalau aku… dan ortuku juga sangat mendukung., aku mau cari kerja dulu. Aku mau kerja dan bisa kuliah dengan biaya sendiri,” Ray menegaskan. “Kerja… ya kerja dulu, tapi bingung kalau aku bisa bekerja di mana?” Fian menggaruk-garuk kepalanya yag tak gatal. “Nggak usah pesimis duluan, Fian. Manusia itu harus tetap berihtiar disertai doa. Apalagi… kita sudah pernah PKL, praktek kerja lapangan… di perusahaan-perusahaan yang ditentukan oleh skeolah kita. Nah, kita bisa coba melamar kerja di situ dulu!” ucap Ray penuh semangat. “Sekarang, beberapa menit lagi bel masuk bunyi. Ayo ke kelas!” *** Pukul lima, mereka sudah tiba depan rumah saudara Dirga yang bernama Mang Dayat. Istrinya Ceu Nani. Pasangan suami istri yang baik dan ramah. Mereka hanya tinggal berdua. Kedua anaknya bekerja di pabrik yang berada di kota dan tinggal di mess. Dirga mengajak teman-temannya mandi di sungai. Menjelang langit gelap. Azan Magrib berkumandang ketika mereka usai mandi dan kembali ke rumah. Berganti pakaian dan solat berjamaah. Dirga, Fian, dan Dani membawa salin pakaian masing-masing, dua kaus dan dua celana jins karena rencanaya ingin menginap dua malam. Kebetulan esok tanggal merah itu hari Jumat. Berlanjut Sabtu, di sekolahnya hanya kegiatan ekstra kurikuler. Tak ada pembelajaran. Apalagi kelas dua belas lebih memusatkan perhatian pada ujian akhir saja. Kegiatan belajar mengajar di kelas dua belas hampir habis materinya dan hanya mengulang pelajaran sebelumnya atau mempelajari soal-soal sebagai bahan ujian. “Tadi kamu bawa baju berapa?” tanya Fian pada Ray. “Satu saja,” ucap Ray yang mengambil salin pakaian dengan terburu-buru ketika mampir sebentar sepulang dari sekolah. “Ngapain banyak-banyak. Kayak mau liburan panjang saja.” Usai makan malam, Dirga mengajak teman-temannya duduk-duduk di beranda. Rumah pamannya itu rumah panggung, terbuat dari bahan kayu dan papan. Ray mengagumi rumah ini. Di pusat kecamatan, sudah tak menemukan model rumah sepeti ini. Rumah Mang Dayat bukan rumah lama, dibangunnya pun baru dua tahun lalu, tapi memang dirancang sengaja ingin model rumah Sunda asli. Istri Mang Dayat menghampiri ke beranda. Membawa teko berisi air teh panas, satu stoples kecil berisi gula putih, sepiring singkong goreng, sepiring kacang rebus, dan satu stoples besar rangginang. Ia hingga tiga kali masuk ke rumahnya untuk bisa membawa semua untuk tamunya. Mang Dayat muncul dan ikut berbaur. “Di sini kalau malam pasti sepi. Nggak akan ada orang lalu-lalang kecuali anak-anak yang pulang mengaji.” “Tapi… Dirga nggak dengar suara anak-anak pulang dari masjid, Mang. Biasanya suara mereka kan suka ribut sambil ngobrol di jalan menuju rumah mereka.” Mang Dayat tersenyum. “Sudah beberapa malam, mereka tak mau pergi mengaji.” “Kenapa?” “Takut dengan hantu Mang Jaja… katanya, hehehe… ada-ada saja.” “Mang Jaja?” Dirga menatap pamannya. Ia merasa pernah mendengar nama itu. “Rumahnya di RT sebelah, Dir. Kamu mungkin pernah dengar nama itu karena ayahmu pernah beberapa kali ke rumahnya semasa Mang Jaja masih hidup.” “Mang Jaja sudah meninggalkah?” “Kalau anak-anak di sini bilang hantu Mang Jaja… berarti Mang Jaja itu sudah meninggal.” “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” ucap Dirga, Ray, dan yang lainnya hampir bersamaan. “Mendiang… sakitkah?” Ray penasaran. “Mati mendadak.” “Ya Allah!” pekik Dani. “Penyakit jantung?” “Dia mati setelah kesetrum... ketika sedang membetulkan kabel listrik di rumahnya,” jelas Mang Dayat. “Kasihan, miris… dia meninggalkan istri dan kedua anaknya yang masih balita. Yang sangat disayangkan, sekarang… kematiannya menjadi gempar di kampung ini.” “Pasti, Mang. Orang yang mati mendadak apalagi kecelakaaan… ya tersengat aliran listrik juga itu suatu kecelakaan kan… memang akan memberi aura negatif pada orang-orang… terlebih yang tinggal di sekitarnya,” kata Ray. Teman-temannya mengiyakan. Mang Dayat pun mengangguk. “Emang… pasca Mang Jaja meninggal… ada penampakan di sekitar sini?” tanya Dirga. Bulu kuduknya sesaat merinding. “Katanya… iya, tapi entahlah… Mamang nggak pecaya hal-hal begitu.” “Contohnya apa, Mang?” desak Dirga. “Beberapa orang melihat arwah Mang Dayat berkeliaran depan rumahnya. Sebagian melihat wujudnya di dekat kuburannya.” “Makamnya di pemakaman umum Pasirparia itu?” tanya Dirga lagi disertai degup jantung yang keras. “Ya,” Mang Dayat mengangguk. “Kematiannya bukan hanya menjadi perbincangan warga di sini. Apalagi yang katanya sempat melihat penampakan… tapi juga jadi merugikan orang-orang terutama yang hendak mencari rezeki.” “Kenapa?” Ray yang bertanya dengan heran. “Ada seseorang, laki-laki… sekitar usia dua puluh tujuh tahun, dia biasanya suka berjualan di depan sekolah dasar. Menjajakan mainan anak-anak. Cukup laris. Dia suka belanja ke pusat kecamatan saban sore dan pulang malam, jadinya… kadang sekarang dia nggak mau berbelanja. Jadinya, nggak ada dagangan yang bisa dijual. Otomatis tak dapat penghasilan.” “Laaah, kan belanjanya bisa siang hari!” ucap Ray. “Toko yang ditujunya… baru buka sore.” “Oh… toko grosir Haji Ade.” “Terus… apa lagi?” Dani semangat sekali. Meski buku kuduknya terangkat. “Ada lagi seorang yang suka berjualan di Pasar Selasa. Ia biasa pergi sebelum Subuh. Tapi… sekarang nggak mau pergi lagi… karena sempat melihat mendiang katanya tengah berjalan-jalan di sepanjang jalan Pasirdadali,” tutur Mang Dayat lagi. Ia terus bercerita mengenai kematian Mang Jaja. Dan alhasil, membuat bulu kuduk semua terangkat. Terkecuali Ray. Sesaat mata Ray mengarah ke barat. Pada pepohonan yang rindang. Gelap. Namun, matanya dengan jelas melihat sesosok tubuh tinggi besar yang tampak tengah mengawasinya juga teman-temannya yang masih asyik mendengar cerita Mang Dayat. Mata Ray segera dipalingkan pada Mang Dayat. “Mang, ciri-ciri sosok Mang Jaja itu bagaimana?” “Tubuhnya tinggi, besar dan kulitnya agak gelap…” Ray menghela napas. Dipalingkan kembali wajahnya. Memandang rerimbunan pohon tadi. Namun sosok misterius itu, sudah menghilang.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN