Lujeng mengarahkan kipas mini ke wajahnya yang dihiasi bulir-bulir keringat. Wanita itu baru saja menyelesaikan masakannya dan saat ini tengah beristirahat di belakang meja kasir. Hari ini adalah hari minggu, klinik kandungan milik dokter Andre tutup sehingga halaman parkir yang biasanya ramai kini sepi oleh kendaraan. Pembeli juga masih sepi karena memang Dapur Kece ramai saat jam makan siang.
Andini yang baru saja kembali dari toilet, duduk menyebelahi Lujeng. “Sepi amat ya?” gumamnya.
“Karena klinik tutup. Biasanya kan rame sama pasien dokter Andre.”
Andini mengangguk setuju. “Kira-kira hari ini rame nggak ya, yang beli.” Andini mendesah. Perempuan itu sedikit pesimis karena beberapa hari pembeli rice bowl sepi.
“Bismillah aja, mudah-mudahan hari ini rame. Namanya juga jualan pasti ada sepinya, Din,” ujar Lujeng mencoba menyemangati sahabatnya. “Sepi juga kita masih untung kan kemarin? walaupun nggak banyak. Lagian makanannya juga nggak mubazir, kita bagiin ke orang-orang kurang mampu.”
“Iya-iya, deh.”
Pembiraan mereka terputus oleh kedatangan sebuah mobil yang berhenti di halaman parkir klinik ,lalu tak lama sepasang muda mudi keluar dari mobil tersebut. Lujeng dan Andini bersiap melayani. Dua orang itu memesan sepuluh porsi rice bowl dengan varian beef bulgogi.
Andini tersenyum cerah saat menerima lembaran uang dari pembeli yang kini sudah meninggalkan booth mereka.
“Kalau gini terus yang beli ya aku bahagia banget, Jeng. Bisa cepet kaya kita,” ucap Andini dengan senyum cemerlang.
“Amin. Mudah-mudahan ya.” Lujeng menyahuti sambil tangannya sibuk menstrerilkan wadah kertas menggunakan alat khusus.
Merasa tidak ada kerjaan, Andini membantu Lujeng untuk merapikan kembali wadah kertas tersebut ke tempat semula.
“Jeng.”
“Hmm.”
“Menurut kamu dokter Andre gimana orangnya?” tanya Andini mulai iseng melancarkan rencana perjodohan Lujeng dan Andre.
“Gimana apanya sih?” tanya Lujeng pura-pura tidak mengerti maksud Andini.
“Ya kan kalian beberapa kali ngobrol waktu Mas Andre makan di sini. Menurut kamu cocok nggak kalau Mas Andre dijadiin target.”
“Target apaan?”
“Ih, kamu deh, pura-pura nggak tahu.” Andini menggoyang bahu Lujeng dengan bahunya.
“Ya habisnya dikira dokter Andre apaan kali dijadiin target.”
Andini yang gregetan dengan tanggapan Lujeng, meremas satu wadah kertas lalu membuangnya ke tempat sampah.
“Eh kenapa itu dibuang-buang?” tegur Lujeng.
“Ada kotorannya,” dalih Andini.
“Masa sih.”
Andini hanya menggumam, lalu mengambil minum dan kembali ke sebelah Lujeng. “Masa kamu nggak ada rasa apa gitu ke Mas Andre, Jeng?”
“Biasa aja.”
Obrolan mereka terjeda karena ada seorang pembeli datang. Lujeng menyiapkan pesanan dibantu Andini, setelah selesai keduanya kini duduk di depan meja kasir karena pekerjaan sebelumnya telah selesai.
“Jeng.” Andini kembali ingin melanjutkan obrolan yang tadi sempat tertunda. “Gimana?”
“Gimana apanya sih, Din?” Lujeng masih asyik fokus pada ponselnya.
“Ish. Itu lho Mas Andre. Ganteng kan dia?”
Lujeng melihat Andini sejenak. “Ganteng.”
“Gitu doang?”
“Iya, emang ganteng kok.”
“Kamu nggak pengin deketin Mas Andre gitu?”
Lujeng menghela napas, lantas meletakkan ponsel selesai membalas pesan dari Ibu.
“Ya terus, aku harus genit-genit gitu sama dokter Andre?” tanya Lujeng yang membuat Andini menepuk kenignya karena merasa upayanya memancing Lujeng gagal. “Lagian aku juga belum siap untuk menjalin hubungan baru.”
“Ya coba aja pedekate dulu. Mulai besok kamu anterin deh tuh satu porsi rice bowl ke ruangan Mas Andre.”
“Ngapain aku nganterin ke ruangannya, kalau dokter Andre nggak minta.”
“Berarti kalau Mas Andre yang minta kamu mau?”
“Tahu ih.” Lujeng mengedikkan bahu.
Hari semakin beranjak siang, Lujeng dan Andini semakin disibukkan dengan pelanggan yang datang silih berganti. Keduanya bahu membahu melayani pembeli dengan baik. Dan senyum keduanya pun akhirnya merekah ketika semua menu habis terjual.
“Alhamdulillah, hari ini laris manis.” Andini menghitung lembaran uang dengan penuh semangat.
Semua varian daging habis terjual tanpa sisa. Bahkan ada beberapa pelanggan yang tidak kebagian.
“Alhamdulillah. Makanya kita harus semangat setiap hari. Laku nggak laku ya harus tetap optimis,” sahut Lujeng masih fokus dengan mengisi buku rekapan penjualan.
“Iya, deh, Mbak Wilujeng yang paling cantik.”
Andini dan Wilujeng sedang membersihkan peralatan masak saat mobil Andre memasuki halaman parkir klinik.
“Panjang umur, yang lagi diomongin datang.” Andini tersenyum senang karena ada bahan lagi untuk menggoda Lujeng.
“Tapi dagingnya udah habis lho. Kamu bilangin deh ke dokter Andre.”
Andini keluar dari booth untuk menemui Andre. Berbicara sebentar lalu kembali masuk.
“Jeng, bikinin Mas Andre minum ya, aku mau ke toilet dulu.”
Lujeng menghentikan gerakan tangannya membilas wajan, lalu memicingkan mata pada Andini penuh kecurigaan.
“Aku mau ganti pembalut,” terangnya untuk meyakinkan Lujeng. Karena sudah terlalu sering ia kabur ke toilet saat Andre datang ke booth.
“Awas bo-ong ya.” Lujeng mengacungkan tangannya yang penuh sabun. “Kamu keseringan ke toilet kalau dokter Andre dateng,” ujarnya curiga.
Andini hanya nyengir lebar lalu bergegas lari ke dalam klinik di mana toilet itu berada.
Sementara Lujeng menyelesaikan wajan bekas memasak daging, lalu mengeringkan tangannya. Ia lantas membuatkan minuman sesuai perintah Andini sebelum kabur ke toilet.
“Silakan, Dok.” Lujeng mengantarkan minuman pada Andre yang kini duduk di luar booth. “Tapi menunya sudah habis, Dok.”
“Oh, nggak apa-apa. Saya cuma mau jemput Andini kok,” jawab Andre lalu menyesap minumannya.
Lujeng yang masih berdiri di dekat Andre, tidak bisa untuk tak memerhatikan setiap gerakan lelaki itu. Sejak awal bertemu saat insiden penyerempetan waktu itu, Lujeng sudah terpesona dengan visual Andre. Lelaki dewasa tampan yang begitu sopan dan murah senyum. Selama dua minggu mendirikan booth di depan klinik, Lujeng semakin memiliki gambaran, jika dokter Andre memang layak diperhitungkan untuk dijadikan suami.
Bagi perempuan, apalagi sih yang dicari kalau sudah dipertemukan dengan lelaki tampan, mapan, sopan dan sepertinya bertanggung jawab. Tetapi Lujeng hanya sebatas mengagumi dokter Andre. Karena Lujeng pun yakin, lelaki mapan macam Andre pasti banyak perempuan yang mengantre.
“Kalau Mbak Lujeng mau, boleh nanti ikut.”
“Sa-saya, Dok?” Lujeng yang sempat melamun, sedikit tergagap.
“Iya. Biar kenalan sama keluarga Andini selain saya.”
Lujeng bingung harus menjawab apa. Menolak pun tak enak, karena Andre sendiri yang memintanya. Sementara jika ia bersedia ikut, dia sendiri yang tak nyaman karena masih mengenakan seragam Dapur Kece dan tubuhnya pun sudah bermandikan keringat sejak pagi.
“Enggak, Dok. Makasih. Lain waktu aja nanti.”
Namun pada akhirnya atas paksaan Andini, Lujeng berhasil dibujuk untuk ikut serta mengunjungi rumah Andre. Duduk gelisah di jok bagian belakang, Lujeng berkali-kali meremas jari-jemarinya.
Di sepanjang perjalanan, Lujeng menempatkan diri sebagai pendengar yang baik. Sesekali menjawab, mengiyakan atau menggeleng saat Andini juga Andre melempar pertanyaan.
Dan yang paling menyebalkan adalah ketika Andini dengan hiperbolis memuji-muji dirinya. Baik dari masakannya, juga urusan beberes rumah yang faktanya soal beberes rumah itu sendiri adalah sebuah kebohongan. Lujeng cenderung malas untuk beberes rumah tapi bukan berarti sama sekali tidak pernah.
Butuh waktu hampir setengah jam untuk tiba di sebuah rumah di lereng gunung Slamet milik dokter Andre. Lujeng terpana melihat desain rumah Andre. Bangunan di depannya berbentuk kotak, tepatnya seperti dua kubus yang ditumpuk dengan jendela yang super lebar. Sangat simpel namun justru terlihat begitu menarik. Beton dinding rumahnya dibiarkan terekspos tanpa dilapisi cat.
“Dokter duluan masuk ya, saya mau bicara sebentar sama Andini,” ucap Lujeng begitu ketiganya keluar dari Range Rover milik Andre.
“Ok. Ditunggu di dalam ya.”
Begitu Andre meninggalkannya berdua dengan Andini. Lujeng segera menarik tubuh sahabatnya itu sedikit menjauh dari teras rumah. Tetapi belum sempat Lujeng meneror sahabatnya dengan berbagai pertanyaan yang sejak tadi mengumpul di kepalanya, nama Andini disebut oleh seorang wanita paruh baya yang masih sangat cantik.
“Andini, Mbak Lujeng kenapa nggak ikut masuk?” Wanita itu berdiri di ujung teras menatap tamunya penasaran.
“Sebentar lagi, Bude.” Andini menjawab dengan senyuman lebar. Lalu mendekatkan bibirnya pada telinga Lujeng dan membisikkan sesuatu, “camermu udah nyuruh masuk tuh.”
Bersambung