Lujeng digandeng Andini memasuki rumah berdesain unik milik dokter Andre, setelah diminta oleh perempuan paruh baya yang dipanggil Bude oleh Andini.
“Silakan duduk, Mbak Lujeng.” Anggun mempersilakan tamunya dengan ramah. Wanita berdaster batik mewah itu juga mendudukkan dirinya tak jauh dari perempuan yang sedang dijodohkan dengan putranya.
“Rumahnya bagus, Tante,” puji Lujeng yang takjub dengan penataan dan dekorasi rumah milik Dokter Andre.
“Oh, terima kasih pujiannya, Cantik.” Anggun mengusap kepala Lujeng. Manik tuanya menatap kagum wajah ayu yang duduk di sebelahnya. “Dini, panggilin Masmu lho. Ada tamu kok malah ditinggal ngumpet ke kamar,” titahnya pada sang keponakan.
Tanpa diminta kedua kali, Andini segera beranjak menuju kamar Andre. Sepeninggal Andini, Anggun kembali menatap Lujeng yang sedari tadi tersenyum canggung.
“Mbak Lujeng, jangan sungkan main ke sini ya. Anggap saja saya Budenya Mbak juga. Kalau Dini main ke sini, ikut saja. Saya suka kesepian soalnya. Punya anak cowok satu. Sudah sibuk kerja, disuruh nikah nggak nikah-nikah.”
“Mungkin Dokter Andre belum berencana menikah lagi, Tante.”
“Jangan panggil Tante dong, Bude saja,”
Lujeng kembali menampilkan senyum simpulnya. “Iya, Bu—bu de,” katanya canggung.
“Gitu dong.” Kali ini Anggun meraih tangan Lujeng membawanya ke pangkuan. “Gimana jualannya hari ini, ramai?”
“Alhamdulillah, Bude, ramai.”
“Saya salut lho sama kamu dan Andini, walaupun lulusan sarjana nggak gengsi buat jualan. Semoga nanti bisa buka cabang di banyak tempat ya. Atau bisa punya restoran besar yang cabangnya di mana-mana.”
“Amin. Terima kasih, Bude, doanya.”
…
Sementara itu di kamar Andre, Andini dengan malas menunggu sepupunya berpakaian setelah selesai mandi. Andini duduk di tepian ranjang sembari memainkan ponselnya dan Andre yang berada di walk in closet milik pria itu yang menurut Andini terlalu besar untuk seorang pria lajang. Duda juga termasuk lajang, kan?
“Mas cepetan dikit dong. Lama amat pakai baju,” ujar Andini tak sabar.
“Iya, ini juga sudah.” Andre muncul dari ruangan gantinya, mengenakan setelan santai yang membuatnya terlihat lebih muda dari umurnya.
“Ganteng amat sepupu,” celetuk Andini sambil nyengir. “Coba kita nggak sepupuan, Mas.”
“Kenapa memangnya?” tanya Andre dengan alis terangkat sebelah.
“Ya, aku pacarin pasti.” Cengiran Andini semakin lebar. Keduanya keluar dari kamar Andre.
“Tapi sayangnya aku nggak mau walaupun kita nggak sepupuan,” sahut Andre sambil melebarkan langkah kakinya menuju ruang tamu.
“Wooh, dasar duda nyebelin!”
Teriakkan Andini yang cukup kencang membuat perbincangan Anggun dan Lujeng terhenti. Keduanya menatap bergantian pada Andre yang baru saja duduk, juga pada Andini yang kini menampilkan raut wajah kesal.
“Loh, loh, ada apa ini?” tanya Anggun pada anak dan keponakannya.
Andre memilih diam tidak berniat untuk menjawab pertanyaan sang mama, membiarkan Andini menumpahkan kekesalannya pada dirinya.
“Ini loh, Bude, masa kata Mas Andre, walaupun kita nggak sepupuan, masa dia nggak mau juga pacaran sama Dini.” Dini mengadu dengan memanyunkan bibir. Terang saja itu membuat Anggun dan Lujeng tertawa meski tidak sampai terbahak-bahak.
“Masmu ini pasti bercanda Cah Ayu, ponakan Bude cantik gini kok.”
“Saya nggak bercanda kok, Ma. Saya kan memang kurang tertarik dengan perempuan yang terlalu agresif,” ujar Andre jujur yang sekaligus ditujukan pada Lujeng.
Menurut Andre, Lujeng adalah tipe perempuan agresif yang mau saja dijodohkan dengan dirinya. Dan ajakannya pada perempuan itu ke rumahnya yang hanya basa-basi, ternyata diiyakan juga oleh perempuan itu. Dan lihat, mamanya sekarang begitu sumringah dan lengket seperti perangko duduk di sebelah Lujeng. Andre tidak suka pada Lujeng yang seolah menyodorkan diri untuk diterima sebagai pasangannya.
Ada alasan kuat mengapa Andre tidak menyukai tipe perempuan agresif. Dulu, mantan istrinya juga perempuan agresif yang dengan gigih mengejarnya. Namun beberapa tahun kemudian, justru Andre mendapati sang istri selingkuh. Keagresifan mantan istrinya yang ia pikir adalah bukti nyata besarnya cinta perempuan itu pada dirinya, rupanya hanya sebuah omong kosong. Saat dirinya sudah benar-benar mencintai mantan istrinya itu, ia justru mendapat pengkhianatan.
“Mas, kok bicaranya seperti itu?” tegur Anggun, yang takut Lujeng tersinggung dengan ucapan Andre.
Padahal Lujeng sendiri merasa biasa saja. Justru perempuan itu merasa penasaran penyebab Andre tidak menyukai perempuan agresif.
“Tau nih, Mas Andre. Timbang ngomong gitu doang, masa aku dikatain agresif. Nggak asyik, ah!” Dini turut memrotes.
Andre menghela napas, sebelum akhirnya meninggalkan ruang tamu tanpa bicara apa pun lagi.
“Aneh dasar duda kesepian,” gerutu Andini melihat Andre pergi begitu saja.
“Dini, Sayang, bicaranya.” Kali ini gentian Andini yang mendapat teguran dar Anggun.
…
Lujeng sudah menghubungi ibunya, jika hari ini ia pulang telat karena mampir ke tempat Andini. Fatmawati tentu saja berpesan pada sang putri untuk tidak pulang malam dan hati-hati. Lujeng memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas slempang, lalu kembali mendekati Andini dan Anggun yang tengah sibuk memanggang daging.
“Biar saya saja, Bude.” Lujeng menawarkan diri karena bingung harus mengerjakan apa, juga karena sungkan. Pertama kali berkunjung ke rumah pria dengan sambutan ibu pria tersebut yang sangat amat ramah, pasca patah hatinya dengan Kaivan, membuat Lujeng sedikit canggung. Terlebih ia dan Andre yang pada dasarnya tidak memiliki hubungan apa pun.
Anggun memberi tempat pada Lujeng menggantikan dirinya yang tengah mengoles bumbu pada potongan daging di atas pemanggang.
“Andini kalau nggak bisa, ngerjain yang lain saja,” tegur Anggun yang melihat sudah dua kali keponakannya itu menggosongkan daging.
“Bisa, Bude. Ini karena capek aja, habis pulang kerja,” kilah Andini sambil melirik dua potong daging kehitaman di atas meja.
“Lujeng awasin Dini ya. Saya mau ke dapur dulu sekalian mau manggil Andre. Nanti kita makan bersama.”
Sepeninggal Anggun, Andini menyenggol bahu Lujeng dengan bahunya. Senyum jahil tercetak dari wajah manisnya. “Gimana, Bude Anggun baik, kan?”
“Baik banget,” jawab Lujeng sekenanya, sementara tangannya sibuk mengoleskan bumbu pada permukaan daging. Perempuan itu tidak sepenuhnya mengerti ke mana arah pembicaraan sahabatnya itu.
“Jadi gimana?” tanya Andini lagi, kali ini dibarengi dengan menaik turunkan alisnya.
“Gimana apanya?” Lujeng menoleh sebentar, bertanya balik.
“Ish, kamu ini.”
“Iya, apa? Aku nggak ngerti maksud kamu deh, Din. Kalau ngomong jangan setengah-setengah gitu lah.”
“Masa kamu nggak paham juga sih,” gemas Andini yang hanya dijawab gelengan oleh Lujeng. “Gini deh, kamu nggak tertarik pengin deketin Mas Andre gitu?”
Lujeng menatap Andini malas. Itu lagi. Itu lagi yang dibahas oleh Andini. Seolah dirinya perempuan paling mengenaskan dalam percintaan sampai harus dijodoh-jodohkan segala.
“Mas Andre kan udah baik, ganteng, mapan. Terus … Bude Anggun juga kelihatannya suka tuh sama kamu. Welcome banget malah.”
“Ya terus?”
“Terus! Terus! Nabrak nanti.”
“Din gini deh, kita tuh udah lama nggak ketemu lho. Emang kamu pikir aku sebaik itu apa, sampai kamu berpikir mau jodohin aku sama Dokter Andre. Kalau aku iyain karena aku mau morotin uangnya Dokter Andre doang gimana?”
Andini justru tertawa mendengar pernyataan Lujeng. “Aku tahu kamu, Jeng. Kamu nggak pernah berniat buruk sama cowok.”
“Waktu bisa merubah sifat seseorang, Din.”
“Tapi aku tetap nggak percaya. Pokoknya, kamu harus bisa membuka hati buat Mas Andre. Kalau dia ngajak pergi, kamu harus mau.”
“Iya deh iya. Nggak rugi juga pergi sama Dokter Andre. Seperti kata kamu, dia ganteng ….”
“Dan mapan,” sambung Andini.
Kedua sahabat itu cekikikan mengingat rencana konyol mereka. Lujeng sendiri karena malas berdebat, sehingga setuju saja dengan usul Andini.
Namun tanpa mereka sadari, Andre mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Lujeng. Membuat rasa tidak sukanya pada perempuan bernama lengkap Gendis Wilujeng itu semakin menebal.
Bersambung