Lujeng, Andini, Hendra dan Lisa menatap puas pada booth stand Dapur Kece yang sudah berdiri kokoh di halaman parkir klinik Bunda Ceria.
Keempatnya merasa puas dengan hasil akhir stand bermaterial dasar alumunium tersebut, setelah melewati banyak perdebatan selama dua minggu terakhir ini. Dalam menentukan cat dan nama untuk produk jualan mereka.
Hari ini adalah pembukaan Dapur Kece yang menjual makanan dengan konsep rice bowl. Menunya yakni terdiri dari nasi yang ditempatkan pada mangkuk kertas yang sudah dilabeli Dapur Kece, di atas nasi hangat tersebut diberi daging dengan varian rasa. Ada beef bulgogi, beef barbeque dan beef teriyaki. Seluruh menu tersebut diracik oleh Lujeng sendiri dengan bantuan sang Ibu Fatmawati.
Setelah seluruh persiapan dirasa selesai, mereka bersiap menyambut para pembeli. Jauh-jauh hari, Andini yang bertugas untuk mempromosikan dagangan mereka, telah gencar melakukan promosi di berbagai media sosial.
“Semoga berkah dan laris manis,” ucap Andini begitu bersemangat yang diamini oleh Lujeng, Hendra dan Lisa.
Hendra bertugas membagikan selebaran yang berisi daftar harga dan menu, di tepi jalan. Sementara para cewek, membersihkan dan mempersiapkan wadah-wadah dan lainnya.
Tak berapa lama sepasang suami istri yang baru saja memeriksa kandungan mampir ke Dapur Kece. Lisa yang saat ini bertugas sebagai kasir menjelaskan dengan sopan pada pembeli tersebut.
“Beef barbeque dua ya, Mbak,” kata pembeli tersebut setelah berpikir beberapa saat.
Lujeng dan Andini bergegas menyiapkan, dan lima menit kemudian sudah berganti pembeli.
Begitu seterusnya hingga dua jam ke depan. Lujeng, Andini, Hendra dan Lisa bahu membahu melayani pembeli. Seratus porsi rice bowl kurang dari tiga jam ludes terjual baik memalui aplikasi makanan, atau pembeli yang datang langsung ke stand Dapur Kece. Mungkin karena hari ini ada potongan sebesar 20% untuk seluruh varian, sehingga pembeli berbondong-bondong dating.
“Ini sih, aku yakin tiap hari bakal rame warungnya,” ucap Lisa yang sedang kelelahan duduk di bangku tunggu pembeli. Di sampingnya, Hendra sedang mengusap-ngusap pinggang ibu hamil tersebut dengan begitu telaten.
“Amin.” Andini dan Lujeng mengaminkan secara bersamaan.
“Iya kan, Bang? Gimana nggak mau rame coba, yang jualannya cantik-cantik, muda, masakannya juga enak. Inovatif. Promosinya juga gencer,” lanjut Lisa setelah menyeruput es jeruknya.
“Duh makasih, udah bilang kami cantik-cantik.” Andini bepose genit dengan menyilangkan kaki dan mengedipkan satu matanya. Tetapi justru membuat Lujeng, Hendra dan Lisa tertawa karena hal tersebut terlihat lucu. Andini dengan potongan rambut pendek tidak cocok dengan gaya kecentilan seperti barusan.
“Mbak Dini nggak cocok gaya centil kayak gitu,” ucap Lisa di tengah tawanya. “Cocoknya gaya sangar.”
Semua kembali tertawa mendengar celotehan Lisa.
“Awas ya, Lus. Besok jangan ke sini lagi lho. Nggak mau aku direcokin bumil rempong.” Andini pura-pura sewot.
“Abang,” rajuk Lisa pada Hendra, dengan suara manja. “Masa aku dibilang ngerecokin, padahal aku kan tadi bantu-bantu. Tuh lihat punggungku sampai keringetan gini.” Lisa memperlihatkan punggungnya yang basah.
Andini hanya memutarkan bola matanya melihat sikap manja bumil. Lalu mendekatkan bibirnya pada telinga Lujeng, “kamu tiap hari lihat adegan telenovela gini emang nggak muntah, Jeng?”
“Udah biasa,” jawab Lujeng santai sambil menahan senyum.
“Hello, Mbak Mbak jomblo, aku denger lho ini. Bisik-bisiknya kurang pelan.” Lisa cemberut.
Andini baru saja ingin menjawab saat maniknya menangkap sosok Abang sepupunya yang berjalan ke arah stand.
“Selamat siang semuanya,” sapa Andre tersenyum.
“Siang.” Lujeng, Andini dan Hendra menjawab secara bersamaan.
“Eh Pak Dokter.” Lisa yang paling antusias dengan kedatangan Andre. Wanita hamil itu bahkan sudah beranjak dari duduk dan berdiri di dekat Andre. “Ada yang bisa kami bantu, Dok?”
“Bagaimana hari ini? Apa sudah habis semua makanannya. Saya lihat udah pada duduk santai.”
“Alhamdulillah sudah, Dok.” Lisa seperti jubir Dapur Kece yang siap menjawab apa pun pertanyaan pelanggan. “Semua menu sudah ludes terjual.”
“Syukurlah.” Andre turut senang mendengar usaha sepupunya berjalan lancar.
“Dokter mau makan sekarang? Biar nanti saya siapkan.” Lisa kembali bicara yang membuat Hendra berdeham karena kurang nyaman dengan sikap Lisa yang berlebihan pada dokter tampan itu.
“Kita pulang sekarang ya, Sayang. Kan kata Dokter juga kamu nggak boleh kecapaian.” Hendra sudah berdiri dan meraih lengan Lisa, bersiap membawanya pulang.
“Tapi ….”
“Kalau kamu masih mau di sini silakan, tapi aku mau pulang.” Hendra sudah maju selangkah.
“Sono pulang!” Andini mendorong pelan lengan Lisa. “Istri harus nurut sama suami,” katanya sambil mengedipkan sebelah mata juga melirik ke arah Andre dan Lujeng.
Lisa yang mengerti maksud Andini bergegas menyusul Hendra yang sudah menyalakan mesin mobil.
“Jeng, kamu yang nyiapin makan ya buat Mas Adre, aku mau ke toilet.” Andini berpamitan begitu mobil Hendra meninggalkan klinik. Dan tanpa menunggu persetujuan Lujeng, gadis itu sudah berlari ke dalam klinik.
Tinggalah Lujeng dan Andre berdua di depan Dapur Kece. Suasana klinik yang sudah sepi, karena jam praktik yang sudah berakhir, membuat Lujeng dilanda canggung. Awal pertemuan mereka yang diawali dengan tragedi penyerempetan itulah yang membuat perempuan itu masih dirundung rasa bersalah sekaligus malu.
Lujeng berdeham untuk melonggarkan kerongkongannya yang tiba-tiba seperti tercekik. Kalimat sapaan yang sudah ia susun sejak tadi seperti tersangkut di sana.
“Mbak.”
“Eh iya, Dok.” Lujeng berjingkat kaget. “Sebentar saya siapin makanannya.” Lujeng bergegas memasuki stand. Tangannya bersiap memanaskan beef teriyaki sesuai pesanan Andre tadi pagi.
“Mau pake piring saja, Dokter.”
“Pake bowl kertas saja. Kalau pake piring sensasinya beda nanti.”
Lujeng mengangguk sembari menahan senyum.
“Jangan ditahan kalau mau ketawa.”
“Enggak kok, Dok.” Lujeng menundukkan wajah untuk menyembunyikan senyumnya.
“Mbak Lujeng.”
Lujeng menoleh dan sedikit terkejut karena saat ini Andre sudah berdiri di dekatnya. Lujeng tidak menyadari kapan pria itu memasuki stand.
“Oh sorry kalau saya ngagetin, Mbak. Saya cuma mau lihat-lihat dapurnya.”
“Nggak apa-apa, Dok. Silakan. Saya cuma sedikit kaget,” ujar Lujeng yang sudah memberi jarak pada Andre.
“Sudah siap ya makanan saya?” Andre melihat satu porsi rice bowl di genggaman Lujeng.
“Sudah, Dok. Silakan.” Lujeng memberikan rice bowl di tangannya pada Andre.
“Makasih.” Andre menerimanya dan menghidu aroma daging yang begitu menggugah selera. “Ini kamu yang masak sendiri?”
“Iya, Dok.”
Andre menyuap sesendok, mengunyahnya perlahan sembari merasakan bumbu teriyaki yang menrutnya berbeda dari yang pernah ia makan sebelumnya.
“Enak,” komentarnya.
“Dokter mau minum apa?”
“Es teh manis boleh deh.”
Lujeng bergegas membuatkan minuman sesuai permintaan Andre. Andre menikmati makanannya dengan lahap. Baik Lujeng maupun Andre tidak ada yang menyadari Andini sudah kembali dari toilet.
Wanita bergaya tomboy itu tertawa tanpa suara melihat interaksi Lujeng dan Andre sejak tadi yang menurutnya sudah ada kemajuan pesat.
Lujeng memberikan minuman pada Andre yang duduk di depan meja kasir.
“Mau nambah, Dok?” tanya Lujeng yang melihat makanan Andre sudah hampir habis.
“Sudah cukup.” Andre menyesap teh manisnya. “Besok saya mau coba varian lain.”
“Makasih, Dok.”
“Dengan harga segini dan rasa yang enak seperti ini, saya sih yakin nggak lama kalian bisa buka restoran,” puji Andre yang membuat senyum Lujeng mengembang.
“Amin. Makasih, Dok.”
Suara batuk seseorang lantas menginterupsi pembicaraan keduanya. Lujeng dan Andre sama-sama menoleh dan mendapati kepala Andini tersenyum lebar bersembunyi di balik dinding stand.
“Dini, kamu ngapain di situ?” tanya Andre, meletakkan wadah makannya yang sudah kosong.
Andini menunjukkan diri dan tersenyum semakin lebar. “Ngintipin orang pedekate,” jawabnya dengan alis dinaik turunkan.
Bersambung