Lujeng sudah ingin bernapas lega, karena hingga dokter Andre meresepkan vitamin untuk Lisa, dokter tampan itu belum juga mengenalinya.
Ditengah keresahannya menahan malu, ia merasa senang karena menurut pemeriksaan, bayi dalam kandungan Lisa sehat begitu pun dengan ibunya.
“Vitaminnya diminum rutin ya, Bu. Makan makanan yang higienis dan bergizi,” pesan dokter Andre sembari menyerahkan lembaran resep.
“Baik, Dok, terima kasih.” Tentu saja Lisa menjawab dengan sumringah disertai senyum cemerlang bak bintang iklan pasta gigi. “Saya permisi.” Lisa berdiri diikuti Lujeng yang sejak memasuki ruangan tersebut diam seribu bahasa.
Keduanya sudah mencapai pintu keluar, sementara tangan Lujeng sudah menempel pada gagang pintu, ketika dokter Andre meminta mereka agar tidak meninggalkan ruangan tersebut lebih dulu.
Lujeng memejamkan mata, sudah bisa menebak apa yang selanjutnya akan terjadi. Sementara itu Lisa dengan bgitu ramah menanyakan ada perihal apa hingga dokter tersebut meminta dia dan kakak iparnya untuk bertahan di sana.
Dokter Andre sudah berdiri dan menghampiri berjalan ke arah pasien dan keluarganya. Pria itu mengamati Lujeng sedikit lebih lama, lalu tersenyum tipis. “Mbak yang kemarin motornya mogok di tikungan dekat masjid Al Iman itu kan?” sebuah pertanyaan yang terlihat jelas untuk menutupi kejadian sebenarnya.
“Kok Mbak nggak bilang kalau motornya mogok.” Todong Lisa dengan jiwa keponya. “Dan ketemu dokter Andre.” Kali ini disertai senyuman menggoda yang di mata Lujeng begitu menyebalkan.
“Itu … iya, Dok, saya.” Akhirnya Lujeng bisa mengeluarkan suaranya. “Terima kasih atas bantuan dokter kemarin.”
“Oh tentu.”
“Jadi kemarin dokter Andre bantuin Mbak Wilujeng?” tanya Lisa sedikit berlebihan, karena matanya begitu berbinar entah karena apa.
“Maafkan adik saya yang lebay ini ya, Dok.”
“Iya, Bu Lisa, pas kebetulan saya lewat jadi saya bantu,” ujar dokter Andre dengan senyum penuh arti.
“Kakak saya ini jomlo lho, Dok. Kal ….”
Lujeng tak mengizinkan Lisa menyelesaikan kalimatnya karena dengan sigap wanita itu membekap mulut Lisa dengan kedua tangannya dan menyeretnya keluar ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi pada dokter Andre.
“Kenapa sih, pakai acara ngebekap aku, Mbak? Kalau aku kehabisan napas gimana hayo.” Lisa marah-marah sepanjang mereka keluar menuju tempat parkir, setelah wanita hamil itu menahan kekesalannya saat mengantri mengambil vitamin.
“Suruh siapa punya mulut ember. Ngapain coba pakai bilang kalau aku jomlo. Nggak sekalian aja bilang aku janda,” sewot Lujeng.
“Tadinya aku mau ngomong gitu juga, orang belum selesai udah main seret aja, Mbak.”
Mereka sudah tiba diparkiran. Lujeng memberikan helm berwarna pink pada Lisa. “Kamu mau bikin aku malu atau gimana?”
“Dih, siapa yang mau bikin Mbak malu. Su’udzon aja jadi orang,” jawab Lisa tak terima sembari mengancingkan helmnya. “Aku tuh lagi usaha mau nyomblangin Mbak sama dokter Andre. So sweet banget nggak sih, awal ketemu kalian, dokter Andre bantuin motor Mbak yang mogok. Udah kayak difilm-film gitu kalian.”
“Apaan si, nggak jelas.” Lujeng sudah menaiki motornya, setelah mengenakan helm. “Mau pulang enggak nih?”
“Mampir beli es krim dulu.”
“Iya bawel.”
“Nggak boleh marah-marah terus, Mbak, nanti jodohnya jauh.”
Lujeng tak menyahuti kalimat absurd Lisa, ia dengan lihai menjalankan motor kesayangannya ke jalan raya membaur dengan kendaraan lain.
Sepuluh menit kemudian mereka tiba di minimarkert tak jauh dari rumah. Keduanya turun dan memasuki minimarket seribu cabang itu.
“Mbak mau rasa apa?” tanya Lisa begitu mereka tiba di depan lemari pendingin berisi bermacam varian es krim.
Lujeng tidak langsung menjawab. Pikirannya justru mengembara ke masa lalu, saat Kaivan menemukannya menangis di toilet mal dan membawanya ke minimarket untuk membeli banyak jajanan lalu mengajaknya ke taman. Awal dari kedekatan mereka yang akhirnya mengantarkan dirinya jatuh cinta pada lelaki itu.
“Mbak, malah melamun.” Lisa menepuk bahu Lujeng yang membuat si empunya tersentak kaget. “Jangan bilang lagi ngelamunin Kaivan ya.”
Lujeng melirik sebal, karena tebakan Lisa yang selalu benar. “Sok tahu!”
“Ya habis nggak mungkin Mbak mikirin dokter Andre apalagi Bang Bekti.”
“Udah buruan mau yang mana es krimnya.”
“Bayarin ya, Mbak.”
Lujeng melirik judes. Sumpah demi apa pun dia masih mempertanyakan kenapa Hendra bisa sebucin itu pada perempuan macam Lisa. Sudahlah super bawel dan banyak maunya pula.
“Ponakannya lho, Mbak yang minta, bukan aku.” Lisa memasang tampang polos sambil memegangi perutnya. Senjata ampuh Ibu hamil yang tak akan ditolak siapa pun.
“Karepmu deh, Lis,” pasrah Lujeng. “Udah buruan belinya, habis itu pulang.”
Dengan cekatan Lisa mengambil es krim berbagai rasa dan bentuk. Tak lupa juga ia mengambil beberapa camilan dan s**u hamil. Lujeng dengan malas membawakan keranjang belanjaan dan mengekori Lisa yang sperti tak ada capeknya mengitari seluruh ruangan minimarket.
“Udah belum si belanjanya? Udah penuh nih keranjang.”
Lisa menghentikan langkah untuk melihat keranjang. Wanita hamil itu nyengir lebar pada Lujeng, karena apa yang dikatakan oleh kakak iparnya benar.
“Lagian kalau kelamaan, keburu meleleh es krimnya.”
Merasa apa yang dikatakan oleh kakak iparnya benar, Lisa akhirnya melangkahkan kakinya menuju kasir. Mereka masih harus menunggu satu orang yang sedang menyelesaikan p********n, sebelum giliran mereka.
Keduanya fokus memperhatikan tangan kasir wanita berkerudung biru yang dengan cekatan men-scan satu per satu harga barang, mengabaikan pelanggan yang baru saja memasuki minimarket tersebut.
“Papa, Ana mau es krim cokelat.” Suara anak kecil perempuan memenuhi ruangan tersebut, karena memang kondisi minimarket yang sepi pengunjung.
“Ana mau yang pakai corn atau pakai wadah?” suara laki-laki dewasa menyahuti dengan begitu sabar.
Lujeng mendengarnya. Meski ia belum melihat sosok di belakang sana yang baru saja bersuara, namun ia yakin bahwa sosok itu adalah laki-laki yang sudah membuatnya dirundung kegalauan selama berbulan-bulan.
Lujeng menguatkan cengkeramannya pada gagang keranjang. Ia merasa tidak siap harus bertemu dengan Kaivan saat ini. Kata ikhlas, yang sempat ia gaungkan saat perpisahannya dulu dengan lelaki itu nyatanya tak mudah dijalani. Ia hanya mencoba mengubur perasaannya pada Kaivan, tapi tak bisa benar-benar melupakan lelaki itu. Atau mungkin ia butuh waktu lebih lama lagi.
“Mbak, ayo maju.” Lisa lagi-lagi menyentak Lujeng dari lamunan. “Kenapa lagi sih?”
Lujeng memilih tak menjawab pertanyaan Lisa. Ia maju selangkah, lalu meletakkan belanjaannya pada meja kasir. “Cepetan ya, Mbak,” pintanya pada Mbak Mbak kasir yang di jawab dengan anggukan.
Lujeng mengajak Lisa mengobrol hal-hal tak penting, untuk mengalihkan adik iparnya itu agar tak melihat kehadiran Kaivan yang yakini bersama anaknya.
Tak sampai lima menit, Mbak kasir sudah menyebutkan total harga belanjaan mereka. Lujeng membuka dompet, namun naas jumlah uangnya ternyata kurang dari total harga yang seharusnya dibayarkan.
“Kenapa, Mbak?”
“Kamu ada uang nggak? Kurang soalnya,” tanya Lujeng panik. Ia sudah ingin meninggalkan minimarket tersebut, tetapi justru uang di dompetnya tidak cukup dan sialnya juga ia tak membawa kartu debit.
“Berapa?”
“Lima puluh tujuh ribu, ada?”
Lisa memeriksa dompet dan sayangnya hanya bisa menemukan lembaran berwarna hijau dengan nol empat digit. “Cuma segini.” Lisa menunjukkan sisa uangnya.
“Bawa ATM nggak? Debit aja deh.”
“ATM nya di dompet Bang Hendra, lupa nggak diambil tadi pagi. Ini juga tadi buat bayar dokter minjem ke Ibu,” terang Lisa.
Lujeng memejamkan mata untuk ketidak-beruntungannya siang itu. Berpikir cepat, akhirnya ia meminta pada Mbak kasir untuk mengurangi belanjaan mereka.
“Maaf ya, Mbak, uangnya kurang soalnya. Kami juga nggak bawa ATM.” Lujeng merasa tak enak hati. Namun tidak ada jalan lain.
“Jadi mana yang tidak jadi diambil?”
“Susunya aja deh,” jawab Lujeng cepat. Lisa yang berada tepat di belakangnya kali ini tidak memrotes.
“Masukkan saja, Mbak, nanti masukkan ke tagihan saya.” Suara sosok yang ingin dihindari Lujeng kini justru terdengar begitu dekat. Dan justru menawarkan bantuan.
Tubuh Lujeng seperti terpaku di lantai keramik, ia bahkan tak ingin menoleh untuk melihat wajah yang kini menatapnya penuh arti.
“Bang Kaivan.” Lain Lujeng, lain Lisa. Wanita hamil itu justru terlihat sumringah bertemu dengan mantan kekasih kakak iparnya itu.
“Apa kabar, Lis?” Kaivan bertanya dengan ramah.
“Baik banget, Bang.”
“Jadi gimana ini, Mbak, susunya?” tanya Mbak kasir pada Lujeng.
“Nggak jadi, Mbak,” jawaban Lujeng.
“Masukkan saja, Mbak,” jawaban Kaivan yang bersamaan dengan Lujeng, membuat Lisa terkikik geli.
“Jangan buat saya bingung dong, Mbak, Mas,” ucap Mbak kasir bergantian menatap Lujeng dan Kaivan.
“Jadi diambil, Mbak, nanti biar Mas ini yang bayar,” putus Lisa. “Nanti biar Bang Hendra yang ganti ya, Bang Kai,” katanya pada Kaivan.
Lujeng masih diam di tempatnya. Ia terlalu bingung harus bersikap seperti apa. Menyapa pun akan terasa sekali basa basi, karena ia sama sekali tak berniat untuk bertukar kabar dengan lelaki itu. Sedangkan jika ia memilih kabur dari sana, akan terlihat jelas jika dirinya belum bisa move on dari Kaivan.
“Apa kabar Mbak Wilujeng?” Kaivan menyapa, berusaha untuk tetap ramah dengan mantan kekasihnya.
“Sudah ya, Mbak?” Lujeng menanyakan barang belanjaannya yang sudah dimasukkan pada kantong plastik seluruhnya dan memilih mengabaikan pertanyaan Kaivan.
“Sudah, Mbak, silakan.”
“Terima kasih.” Lujeng mengangkat belanjaannya, lalu dengan langkah tergesa ia keluar dari minimarket itu.
Tiba di samping kendaraannya, Lujeng meletakkan belanjaannya pada bagian depan motor. Ia lantas memakai helm dan memberikan helm satunya pada sosok di belakangnya yang ia pikir adalah Lisa.
“Apa susahnya menjawab pertanyaan aku?”
Lujeng memutar badan dan mendapati bukan Lisa yang berada di hadapannya. Seharusnya ia cukup paham, Lisa tidak akan mengikutinya begitu saja sementara ada Kaivan di antara mereka yang sejak tadi ia acuhkan. Lisa, tentu saja ingin melihat drama. Lujeng yakin, wanita hamil itu juga yang memiliki ide untuk menjaga anak Kaivan, dan menyuruh Kaivan untuk mengejarnya. Berdiri di hadapannya dengan wajah sedingin kutub.
“Kenapa kamu menghindari aku, Wilujeng?”
Bersambung.