Lujeng ingin menolak saja permintaan Lisa untuk menemani perempuan hamil itu ke dokter kandungan. Bukan tak ingin membantu, tetapi Lujeng bingung harus bersikap bagaimana nanti dengan sang dokter yang kemungkinan besar mengingat wajahnya sebagai pelaku perusak mobil lelaki itu. Dokter tampan itu memang menolak ganti rugi yang Lujeng tawarkan, tapi justru hal tersebut semakin membuat Lujeng tak enak hati.
“Seharusnya kemarin aku maksa aja ya,” Lujeng bergumam sendiri dengan maniknya yang menatap langit-langit kamar.
“Ah tapi kan dia sendiri yang nolak. Cuek aja lah besok. Pura-pura nggak kenal aja. Dia juga belum tentu ingat aku.”
“Ah iyalah, bodo amat.”
Lujeng beranjak duduk, lalu meraih ponsel bermaksud untuk membuka akun sosmed untuk sekedar melepas jenuh dengan men-stalking akun-akun artis. Tetapi ketukan di pintu kamarnya diiringi suara Fatmawati—Ibunya, membuat Lujeng mau tak mau melangkahkan kaki untuk membuka pintu.
“Sudah tidur, Nduk?” tanya Fatmawati begitu pintu terbuka.
“Belum, Bu.” Lujeng menggeleng. “Ada apa, Bu?”
“Ibu mau bicara.”
Lujeng melebarkan pintu kamarnya memberikan akses pada sang Ibu untuk memasuki kamar pribadinya. Kedua wanita itu lantas duduk di tepi ranjang menghadap jendela kamar yang dibiarkan terbuka tirainya.
“Ada apa, Bu?”
“Ibu dengar, kamu sudah mengundurkan diri dari sekolah?” tanya Fatmawati dengan hati-hati, karena paham apa penyebab puteri tercintanya meninggalkan sekolah tersebut.
Lujeng mengangguk lemah sebagai jawaban.
“Kamu baik-baik saja?”
“Tentu, Bu. Lujeng nggak apa-apa kok,” jawab Lujeng sembari tersenyum. Meski ia tidak baik-baik saja pun, ia tidak akan mengakuinya. Ia hanya tidak ingin melihat Ibunya bersedih karena memikirkan nasib percintaan puterinya yang menyedihkan.
“Setelah ini kamu mau kerja di mana? Ibu nggak mau, anak Ibu berlarut-larut dalam kesedihan.”
“Belum tahu pastinya. Tapi kemarin ada teman yang ngajakin buka kafe bareng.”
“Siapa?”
“Andini, teman SMA Lujeng. Dia juga baru pulang dari Batam, katanya pengin buka usaha di sini biar dekat dengan orang tuanya.”
Fatmawati tampak berpikir. “Andini yang gayanya mirip laki-laki itu?” tanyanya terkejut.
“Iya. Tapi nggak tahu nanti gimana. Tabungan Lujeng kan nggak gitu banyak, Bu.”
“Soal modal nanti kamu bisa minta bantuan Hendra. Tapi, Ibu justru khawatir ….” Fatmawati menggantung kalimatnya.
“Khawatir kenapa, Bu?”
“Itu si Andini Andini kan, tomboy begitu.” Fatmawati diam sejenak memandangi sang puteri. “Dia sudah pernah nikah belum?”
“Kayaknya si belum.”
“Nah. Kalau kamu kerja bareng sama dia ….” Fatmawati terlihat berat melanjutkan kalimatnya dan justru membuat Lujeng tertawa karena kini paham apa yang tengah dipikirkan sang ibu.
“Kok kamu malah ketawa?”
“Ibu pasti mengira kalau Andini suka sama perempuan kan?” tebak Lujeng disertai kekehan melihat kekhawatiran sang ibu yang menurutnya tanpa alasan.
“Ya siapa yang nggak berpikir gitu, Nduk, kalau temenmu itu, udah gayanya kayak cowok begitu. Sudah begitu kata kamu barusan dia belum pernah nikah,” tukas Fatmawati yang kembali membuat Lujeng tertawa.
Lujeng memeluk Ibunya dengan sayang. “Ibu, Andini memang gayanya tomboy dan belum nikah, tapi bukan berarti dia suka sama perempuan. Dia itu cuma belum ketemu jodohnya aja.”
“Masa iya, sampai sekarang belum ada yang cocok.”
“Ya gimana, memang belum ada yang cocok sampai sekarang. Dari pada Lujeng, udah ada yang cocok, nikah, eh tahunya malah pisah.”
Ibu menghela napas berat. Wanita itu sangat paham betapa terlukanya sang puteri karena sikap tak bertanggung jawab mantan menantunya. Belum lagi, kegagalannya dengan mantan kekasihnya—Kaivan yang juga tak kalah membuat sang puteri terpuruk. Sebagai Ibu, Fatmawati tentu hanya menginginkan kebahagiaan untuk putera puterinya. Tetapi ia juga tak akan memepertanyakan kemalangan nasib sang puteri pada Tuhan. Karena ia yakin itu adalah scenario terbaik dari Tuhan untuk puterinya—Gendis Wilujeng, sebelum menemukan Jodoh Terbaiknya.
“Nah, mungkin jodohnya Andini masih diumpetin sama Allah.”
“Kamu ini bisa aja ngelesnya.”
Lujeng tersenyum lalu memeluk Ibunya kembali wanita yang paling dicintainya di dunia ini. Ia akan melakukan apa pun untuk sang Ibu asal bisa membuat wanita paruh baya itu bahagia.
***
Esok pagi Lujeng bangun dengan malas-malasan. Sudah ketiga kali ia mendengar lengkingan Lisa menggedor pintu kamarnya. Tetapi wanita berperawakan langsing tersebut masih nyaman bergelung di bawah selimut tebalnya.
“Mbak, ih, ini udah jam tujuh lho. Kita harus berangkat jam setengah delapan.” Lisa kembali menggedor pintu kamar Lujeng. “Lima menit lagi kalau Mbak nggak bangun, aku telpon Kaivan … kalau Mbak, gagal move on dari dia.” Kali ini Ibu hamil itu melemparkan ancamannya.
Dan benar, dua detik setelah Lisa menyelesaikan kalimat ancamannya, pintu terbuka dengan sosok Lujeng yang menatap adik iparnya dengan sebal.
“Emang nggak ada ancaman lain apa, Lis?”
Lisa nyengir lebar tanpa perasaan dosa. “Nggak ada,” jawabnya enteng. “Udah buruan mandi, Mbak, ntar telat lagi.”
“Telat kayak sekolahan aja.”
Lisa menyeret Lujeng agar keluar dari ruang persembunyian wanita itu. “Mandi, Mbak. Habis itu sarapan, aku udah masak nasi goreng ati ampela.”
Lujeng menggosok-gosok matanya, “paling juga keasinan,” katanya julid.
“Dijamin enak pokoknya, Mbak,” jawab Lisa percaya diri.
“Bawel banget ya bumil.” Dengan langkah malas-malasan, Lujeng menuju kamar mandi di area belakang rumahnya.
Sepuluh menit kemudian Lujeng sudah menyelesaikan mandi super singkatnya dan sudah berpakaian. Dia mencari Lisa yang rupanya tengah memanaskan mesin motor di halaman rumah.
“Cepet amat mandinya, Mbak?” Lisa menghampiri Lujeng dan memindai penampilan kakak iparnya itu.
“Cepet dikomplen, lama apa lagi,” sahut Lujeng diakhiri dengan dengusan.
“Ya masa, anak gadis mandi sama pake baju, cuma sepuluh menit. Mandi nggak sih, Mbak, sebenernya?”
Lujeng memejamkan mata sembari menarik napas panjang. Jika tak ingat Lisa adalah adik iparnya, ia tak segan menyentil bibir tipis nan cerewet yang sejak tadi tak henti-hentinya mengoceh itu. Mengacaukan paginya, yang seharusnya bisa ia gunakan untuk bersantai ria.
“Mbak, Mbak, kenapa, kok napasnya kayak susah gitu?” Lisa menepuk-nepuk pipi Lujeng yang justru semakin membuat Lujeng menarik napasnya semakin panjang karena dongkol.
Akhirnya mereka berangkat menuju klinik kandungan langganan Lisa, setelah Lujeng mengisi perutnya lebih dulu dengan beberapa suap nasi goreng yang pagi ini kemanisan. Ia sempat bertanya pada Lisa, ke mana sang Ibu dan dijawab Lisa, Fatmawati tengah mengantarkan pesanan ke rumah sahabat karibnya.
Tak kurang dari lima belas menit mereka tiba di klinik yang hampir seluruh bangunannya dilapisi cat berwarna fusia. Lujeng menyuruh Lisa untuk masuk lebih dulu, dan ia akan menyusul belakangan dengan alasan mencari tempat parkir yang teduh. Padahal alasan sebenarnya ia sebisa mungkin mengulur waktu agar tidak bertemu dengan sang dokter.
“Si Hendra pakai acara ke Jogja lagi,” gerutu Lujeng. “Dan kenapa juga aku harus nabrak mobilnya Dokter itu.” Lujeng memukul dahinya dengan kepalan tangan. “Kalau dokter itu ngenalin aku gimana? Malu lah.”
“Malu kenapa, Mbak?” Lisa tiba-tiba muncul di belakang Lujeng yang tentu saja membuat wanita itu berjengit kaget.
“Astaghfirulloh, Lis, ngagetin aja sih kamu,” ucap Lujeng sambal mengusap-ngusap dadanya.
“Lagian, suruh siapa ngomong sendiri di parkiran.”
“Lah terus kamu, ngapain keluar lagi?”
“Bete di dalem sendirian, nggak ada temen ngobrol. Pasien lain diantar suaminya semua. Ayo, masuk.” Lisa menarik-narik tangan Lujeng.
“Ck, ya tinggal ajak ngobrol aja suaminya,” saran Lujeng ngawur.
“Ngendikane ( ngomongnya ) ih, si Mbak suka ngaco.”
“Kayak kamu nggak pernah aja.”
“Udah yuk, masuk, panas nih.”
Menghela napas, Lujeng pasrah mengikuti Lisa masuk ke dalam klinik. Mereka duduk di bangku tunggu bersama beberapa pasien lain yang benar kata Lisa, semuanya didampingi oleh suaminya.
“Kamu antrian nomor berapa, Lis?” tanya Lujeng bisik-bisik.
“Dua. Tapi dokternya belum dateng.”
Lujeng menanggapinya dengan anggukan.
“Habis dari sini ke Warung Gokil ya, Mbak, dede bayinya pengin makan es krim.”
“Beli di minimarket aja, sih. Sama aja juga rasanya.” Lujeng keberatan karena ia menghindari untuk tidak bertemu Kaivan di kafe itu. Meski kecil kemungkinan bertemu dengan lelaki itu, tapi bukan berarti tidak sama sekali. Lujeng sudah menahan diri, selama setahun untuk tidak menginjakkan kaki di kafe milik adik dan mantan kekasihnya itu. Dan ia tidak ingin hanya karena menuruti kemauan bumil yang suka aneh-aneh itu, ia harus ke kafe dan bertemu dengan Kaivan. Karena Lujeng sendiri tidak yakin apa ia mampu untuk tidak memeluk d**a beraroma min tersebut.
“Tapi aku pengin makan di sana, Mbak.” Kali ini Lisa mengeluarkan rengekan andalannya.
“Aku anterin sampai depan aja ya.”
“Lah kok gitu? Nggak seru lah, masa aku makan sendirian di kafe.”
“Ya ampun Lis,” Lujeng berdesis menahan geram. “Kamu kan tahu, aku nggak pengin masuk ke kafe itu. Kalau kamu maksa-maksa, aku tinggalin kamu di sini sendiri,” ancam Lujeng.
“Iya, iya, deh,” Lisa mengalah. Dengan mendramatisir, ia mengusap-ngusap perut buncitnya, berbicara pada sang jabang bayi, supaya bersabar menunggu sang papa pulang untuk makan es krim di kafe itu.
Lujeng akhirnya sibuk dengan ponselnya berbalas pesan dengan Andini, membicarakan janji temu mereka malam nanti. Samar-samar ia bisa mendengar Lisa berbincang dengan pasien yang duduk di sebelah wanita itu.
Katanya tadi nggak ada temen ngobrol, sekarang malah paling nyaring ngomongnya, batin Lujeng yang mendengar interaksi Lisa dengan salah satu pasien seperti teman akrab yang sudah lama tak bertemu.
Lalu fokus Lujeng pada ponsel teralihkan begitu mendengar para pasien mengucapkan selamat pagi pada seseorang yang baru saja melintas di hadapan mereka.
“Itu Dokternya, Mbak.” Lisa berbisik sambil tersenyum cerah. Secerah mentari di luar gedung.
Sejujurnya, Lujeng tanpa diberitahu pun sudah tahu jika seseorang yang baru saja melewatinya tidak lain adalah dokter Andre yang tak lain adalah lelaki pemilik mobil yang sudah ia srempet.
Bersambung.