Wilujeng tak kuasa menatap manik Kaivan. Ia memilih melempar tatapannya pada ranting pepohonan yang bergerak pelan diterpa angin yang juga menerbangkan helaian rambutnya.
“Bukannya kamu yang meminta aku pergi untuk menikahi Silviana?”
Wilujeng masih diam. Batinnya benar-benar bergejolak hebat. Pertanyaan Kaivan berhasil membuatnya sebagai wanita naif yang sudah sok ikhlas melepas kekasihnya pergi, padahal kenyataannya hatinya berdarah-darah.
“Lalu kenapa kamu bersikap seolah aku musuh kamu? Kenapa?”
Lujeng tidak ingin membuat drama dalam hidupnya. Berhadap-hadapan dengan suami orang, dan kapan saja bisa dipergoki oleh istri dari lelaki yang di hadapannya sekarang ini. Ia tak ingin dianggap sebagai pelakor atau apa pun itu. Meski terlalu naif jika ia sudah melupakan Kaivan. Karena nyatanya saat ini maniknya justru terasa terserang panas menahan laju air mata yang siap jatuh.
“A—aku. Aku hanya nggak mau Silviana salah paham,” alasan Lujeng.
“Salah paham untuk apa? Kita tidak sedang menjalin hubungan terlarang. Aku Cuma menyapa kamu, sebagai kakak dari rekan bisnis aku. Hubungan kita berakhir bukan karena sepenuhnya salah aku. Ada andilmu yang nggak menginginkan kita untuk tetap bersama. Kamu yang meminta aku pergi, meski saat itu aku sangat ingin tinggal.”
“Cukup!” Lujeng tidak ingin mendengar apa pun lagi. Memang dirinya yang menginginkan Kaivan pergi. Tapi jelas alasannya meminta lelaki itu pergi tentu akan dimaklumi banyak perempuan di muka bumi ini.
Siapa yang ingin hidup berbahagia di atas penderitaan wanita lain yang sudah melahirkan bayi dari lelaki yang kamu cintai. Kecuali kamu adalah wanita egois yang memang hanya memikirkan kebahagiaan dirimu sendiri. Dan tentu saja Lujeng bukan wanita seperti itu. Meski ia harus mengingkari perasaannya sendiri yang berakhir dengan mata sembab berhari-hari di ujung malam.
“Kamu sudah lihat jika aku baik-baik saja. Jadi, sudah cukup basa basinya, silakan kamu pergi dan jangan pernah menyapaku lagi jika kita bertemu.”
Kaivan tersenyum pedih mendapat penolakan sedemikian rupa dari wanita yang sejujurnya masih menempati singgasana hatinya. Bukan Kaivan tidak bisa menjadi suami setia yang hanya mencintai Silviana saja. Tetapi, ia dipaksa menikahi wanita itu disaat dunianya hanya berporos pada satu wanita bernama kejawen-Gendis Wilujeng.
“Baik, kalau itu mau kamu.” Kaivan menyanggupi dengan berat hati. Bahunya luruh bersama rasa kecewanya pada diri sendiri akan perbuatannya di masa lalu yang berimbas pada masa depannya kini. Jika saja waktu bisa ia putar kembali, tentu Kaivan ingin menjadi pria lurus yang hanya akan menghabiskan malam denga wanita yang telah dipersuntingnya. Namun nasi telah menjadi bubur. Pilihannya hanya menikmati bubur tersebut atau membuangnya. Yang sama artinya dengan, menjalani hukuman ini dengan ikhlas, atau memilih menghindarinya yang akan menyakiti banyak hati.
Lujeng membalikkan badan, tak sanggup menyaksikan langkah Kaivan memasuki minimarket kembali. Hatinya sungguh hancur dengan kalimatnya sendiri. Ia ingin marah pada takdir yang telah menghancurkan hubungannya dengan Kaivan. Tetapi hanya air mata yang kini justru membanjiri wajahnya.
“Mbak.” Lisa sudah berada di belakangnya.
Lujeng seketika menghentikan tangisnya. Dengan cepat ia mengusap kasar menggunakan punggung tangan.
“Biar aku yang bawa motornya.” Lisa menawarkan diri, paham jika emosi kakak iparnya tak stabil.
Mereka pulang dalam diam. Lisa yang biasanya super cerewet, seperti kehabisan baterai. Hingga mereka tiba di rumah, Lisa hanya mengatakan ingin memasak dan menyuruh Lujeng untuk tidur saja.
Lujeng menuruti permintaan Lisa untuk tak membantunya memasak. Ia memasuki kamar bukan untuk tidur, melainkan justru melamun. Mencerna kejadian belasan menit lalu, di saat dirinya bertemu dengan Kaivan. Sungguh, Lujeng bersumpah tidak membenci lelaki itu. Ia hanya takut, jika ia berkomunikasi dengan Kaivan, Lujeng tak bisa mengontrol perasaannya. Ia takut jika sisi jahatnya muncul dan menginginkan Kaivan kembali ke sisinya.
“Keputusanmu sudah benar, Lujeng. Sampai kamu sudah enggak memiliki perasaan lagi ke Kaivan, kamu baru bisa berteman atau minimal saling sapa.”
Lujeng mengusap air matanya. Ia lantas melihat tampilan wajahnya di cermin. Sembab, tentu saja. Tetapi Lujeng tak ingin ambil pusing. Jika nanti Ibu bertanya, ia bisa mencari alasan habis nonton film. Dan jika Lisa meledeknya, ia akan diam saja. Lujeng bertekad akan membalas Lisa dengan mogok bicara pada wanita hamil itu. Tapi, apa bisa?
“Hendra, Hendra, mudah-mudahan anak kalian nanti mirip aku aja, deh. Jangan mirip emak bapaknya.”
Lujeng lantas membuka jendela, membiarkan angin memasuki kamar, berharap bisa menyegarkan pikirannya. Meski angin bercampur dengan hawa panas karena mentari yang begitu terik. Lalu pandangannya menangkap motor Ibu sudah terparkir di samping motornya. Ibu sudah pulang. Dan pasti sebentar lagi pintu kamarnya akan diketuk.
Dan benar saja, baru sebentar Lujeng membuka netflix, mencari kira-kira film apa yang akan ditontonnya malam nanti, pintu kamarnya sudah diketuk. Namun bukan suara Ibu yang memangil namanya, melainkan adik ipar durhaka yang sudah membuatnya harus menangisi Kaivan lagi setelah pertemuan mereka sejam yang lalu.
“Mbak, dipanggil Ibu suruh makan siang,” teriak Lisa.
Lujeng mendengus sebal, tapi tetap melangkahkan tungkainya menuju pintu yang kini tidak lagi ditempel foto Shakhrukh Khan. Berganti aktor Spanyol pemeran serial di netflix yang menurutnya sangat pelukable, karena tubuhnya dihiasi otot-otot yang menonjol seksi.
“Kamu udah selesai masak emang?” tanya Lujeng begitu pintu terbuka.
Lisa nyengir lebar, menampilkan deretan giginya yang masih dipagari behel. “Nggak jadi masak.”
“Terus mau makan apa kita kalau kamu nggak jadi masak?” Lujeng keluar kamar lalu menutup pintu kamar.
“Ibu dibawain catering dari temennya, banyak banget. Enak-enak banget lagi masakannya,” jawab Lisa sumringah sambil mengapit lengan Lujeng lalu menuntunnya ke rumah makan.
Lujeng hanya ber-oh ria sebagai jawaban.
Begitu tiba di ruang makan, Lujeng tak bisa menahan liurnya melihat deretan makanan yang tersaji di meja. Ayam panggang utuh yang sangat menggoda. Sate dengan potongan daging sebesar jempol Hulk. Puding buah segar. Sambal goreng kentang, ati, pete dengan bumbu merah merona.
“Segini banyaknya dikasih temen Ibu semua, Bu?” Lujeng bertanya begitu Fatmawati memasuki ruang makan, membawa pir hijau yang baru saja dicuci.
“Iya,” Fatmawati menjawab sambil mengambil duduk di kursi utama. “Untung tadi Ibu sempet telepon Lisa, pas dia belum masak.”
Lujeng mengangguk-angguk. Cacing di perutnya sudah memprotes ingin menyantap makanan di atas meja yang menggiurkan. Sehingga ia kini fokus mengambil satu centong nasi, lima tusuk sate, dan paha ayam.
Fatmawati menggelengkan kepala melihat isi piring Lujeng. “Memangnya habis, Nduk?”
Lujeng yang sudah mulai mengunyah makanannya hanya bisa mengangukkan kepala.
“Maklum Bu, habis nangis jadi energinya terkuras banyak,” Lisa menyeringai, tidak ada bosannya menggoda Lujeng.
“Nangisin apa, Nduk?” tanya apa terkejut, sampa-sampai mengurungkan niat menyuapkan makanannya.
“Apaan si Lus!” Lujeng menatap sebal Lisa yang duduk di depannya.
Lisa seperti biasa, nyengir lebar layaknya manusia tanpa dosa.
“Mbak, kamu nangis kenapa?” tanya Fatmawati lagi.
“Biasa, drakor, Bu,” kilah Lujeng dengan wajah ia buat semeyakinkan mungkin.
“Benar?” Fatmawati kembali meyakinkan. “Bukan karena ketemu Bekti, kan?”
“Kenapa jadi bawa-bawa Subekti. Nggak lah, Bu.”
“Ya siapa tahu.” Fatmawati mengendikkan bahu. “Biasanya kamu kalau habis ketemu mantan, pulang-pulang nangis.”
“Cuma sekali Ibu. Itu juga pas awal-awal pisah. Ya, namanya udah rumah tangga cukup lama, terus pisah gara-gara orang ketiga, sakit banget tahu, Bu, rasanya.”
“Atau jangan-jangan kamu habis ketemu Kiavan?” tebak Fatmawati yang membuat Lisa tertawa terbahak-bahak melihat wajah kakak iparnya kini berubah semerah tomat.
“Ketahuan deh,” ledek Lisa di tengah tawanya.
“Jadi bener, Mbak, kamu habis ketemu Kaivan sampai matamu sembab begini?”
Lujeng tak menjawab, memilih menundukkan wajah, dan sibuk meloloskan daging dari tusukan sate.
Lisa nyebelin!
Bersambung.