Hingga sore, Lujeng tertidur setelah makan siang yang berujung kekesalannya pada Lisa. Usai mandi, Lujeng duduk di bangku belakang rumah sembari menggosok-gosok rambutnya dengan handuk.
Hatinya masih dongkol karena mulut ember Lisa yang membocorkan pertemuan tidak sengajanya dengan Kaivan, yang berujung tangis. Entah sebenarnya ia menangisi apa. Lujeng tak tahu pasti. Karena seharusnya ia tidak boleh menangis, karena ia sendiri yang menginginkan perpisahan itu. Ia sendiri yang tidak ingin berjuang dengan Kaivan untuk hubungan mereka.
Makan siang yang seharusnya terasa nikmat karena menu-menu menggiurkan justru ditutup dengan wejangan dari Fatmawati yang mewanti-wanti dirinya untuk segera melupakan Kaivan.
“Nggak baik, Nduk, menangisi suami orang.” Itu kalimat penutup dari panjangnya wejangan yang diuraikan Fatmawati.
“Lagian siapa juga yang mau sama suami orang,” gerutu Lujeng tak terima jika dirinya masih mengharapkan Kaivan. Walaupun dalam hati kecilnya, Lujeng memang masih mencintai lelaki itu, tetapi ia juga tidak ada niatan sedikit pun untuk merebut Kaivan dari Silviana.
“Kalau udah cerai berarti mau?” Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang tak asing menyahuti gumamannya.
Lujeng melotot pada Hendra yang nyengir lebar di belakangnya. “Apaan si, Hen. Pulang-pulang langsung gangguin orang.”
“Habisnya ngomong sendiri. Siapa juga yang mau sama suami orang?” Hendra menirukan gaya bicara Lujeng. “Berarti bener dong, kalau mereka cerai, Mbak mau balikan lagi?” tanya Hendra usil.
Lujeng hanya melirik judes tanpa berniat menjawab pertanyaan adiknya.
“Yee, nggak berani jawab.” Hendra tertawa puas.
“Mas, sudah dong. Mbaknya jangan digangguin terus. Kasihan.” Ibu tiba-tiba muncul. “Sana, ganti baju. Baru pulang bukannya mandi malah gangguin orang.”
“Nggih, Bu. Tadi nggak sengaja mau mandi denger orang ngomong sendiri, ya udah Hendra jawab jadinya,” ngeles Hendra.
“Ya udah sana, mandi.” Fatmawati menepuk bahu anak lelakinya.
Meskipun sempat kecewa pada Hendra karena gaya berpacarannya dengan Lisa dulu, tetapi Fatmawati tetap bangga pada anak lelakinya itu. Sudah mampu mencukupi kebutuhan istrinya dengan baik dan terlihat begitu menyayangi istri dan calon anaknya. Harapannya sebagai Ibu hanya ingin anak lelakinya bisa bertanggung jawab pada rumah tangganya, dan memegang teguh kesetiaan hingga maut memisahkan.
“Kamu jadi ketemu Andini, Nduk?” Fatmawati bertanya begitu duduk di sebelah Lujeng.
Lujeng menghentikan gerakan tangannya di kepalanya, lantas menoleh pada sang Ibu.
“Jadi, Bu. Ibu mau nitip dibeliin apa nanti?”
“Enggak titip apa-apa. Yang penting kamu pulangnya jangan malam-malam,” pesan Fatmawati sembari mengusap-usap rambut setengah kering Lujeng.
“Berarti kalau pulang pagi boleh?” Lujeng bermaksud bercanda namun justru mendapat pelototan dari sang Ibu.
“Nggak usah pulang sekalian kalau gitu,” sewot Fatmawati.
“Dih, Ibu Negara marah.” Lujeng nyengir lebar sambil menusuk-nusuk punggung tangan Fatmawati menggunakan jari telunjuknya.
Fatmawati melengos. “Nggak nurut sama Ibu, jangan curhat nanti ya kalau disakiti cowok lagi.”
Mulut Lujeng ternganga, “ancamannya gitu amat, Bu?” katanya setengah tak percaya. “Berarti Ibu doain Lujeng disakiti cowok lagi dong.”
“Emang Ibu ada ngomong doain begitu?”
“Lah barusan si.”
“Itu kalau kamu nggak nurut. Kalalu nurut ya … InsyaAllah nggak disakiti lagi.”
“Kok ragu-ragu gitu sih, Bu. Ibu nggak mau nih anak gadisnya bahagia?”
“Gadis dari mananya? *Wong udah dibuka segelnya sama Bekti kok.” Fatmawati terkekeh sendiri dengan kalimatnya.
*orang
“Ih, Ibu kok *ngendikane gitu.” Lujeng memberengut.
*ngomongnya
“Loh emang iya kan, anak Ibu udah bukan gadis lagi.”
“Gadis lah, Bu.” Hendra muncul lagi. “Tapi gadis bolong,” nyinyir Hendra disertai kekehan kencang.
Lujeng seketika mengayunkan tangannya hendak memukul perut Hendra, namun laki-laki itu berhasil menghindar. “Awas lo, Hen. Jangan minta tolong buat nemenin istri lo pergi-pergi ya,” ancam Lujeng.
“Wah jahat nih sama ponakan.”
“Belum lahir ponakan gue, masih di perut.”
“Bentar lagi tahu.”
“Iya tempe.”
Fatmawati hanya mampu menggelengkan kepala melihat interaksi kedua anaknya. Lujeng dan Hendra memang sering berdebat atau kadang mengolok, tetapi wanita paruh baya itu paham betul, jika Lujeng dan Hendra tetap saling menyayangi satu sama lain.
Lagi. Sebagai seorang Ibu, Fatmawati hanya berharap, jika kelak dirinya tiada nanti, Lujeng dan Hendra tetap kompak seperti saat ini. Tetap saling mendukung dan menyayangi.
…
Lujeng keluar rumah selepas Maghrib. Menggunakan motor, wanita itu menuju tempat janjiannya dengan Andini. Jalanan malam kota mungil itu cukup sepi karena bukan akhir pekan.
Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit bagi Lujeng untuk tiba di sebuah kafe dengan hiasan lampu gantung di plafonnya. Manik Lujeng segera menemukan Andini yang duduk di tepi jendela sedang mengaduk minuman. Andini melambaikan tangan pada Lujeng. Dengan mantap Lujeng mengahmpiri kawan SMA-nya tersebut.
“Kamu masih langsing aja sih, Jeng.” Andini memuji setelah mereka saling berpelukan singkat dan duduk di bangku yang saling berhadapan.
“Masih cantik nggak?” narsis Lujeng sembari memamerkan senyum yang dibuat semanis mungkin.
“Masih lah.” Andini sedikit mencondongkan tubuhnya. “Buktinya noh, cowok belakang kamu dari tadi kayak mau nelen kamu,” katanya berbisik.
Lujeng seketika menoleh dan mendapati cowok bertubuh tambun tengah menatapnya lekat-lekat. Lujeng bergidik, dan melotot pada Andini yang justru menertawakannya.
“Kalau dia ngajak kenalan nggak apa-apa, oke-in aja.” Andini belum puas mengerjai Lujeng.
“Oke-in, oke-in. Kamu aja sonoh.”
“Diiih, orang dia maunya sama kamu. Nggak boleh tahu, menilai orang dari fisiknya. Gitu-gitu siapa tahu dia setia gimana?” Andini menggerak-gerakkan kedua alisnya lengkap dengan senyum usilnya. “Digembleng fitnes tiga bulan, terus perawatan juga pasti bisa lah nyamain sama Kaivan.”
“Aku sih ya nggak masalah kalau memang jodohku nanti seperti dia bentukannya. Cuma nggak mau kalau wajahnya mupeng-an begitu. Geli yang ada.”
Andini memiringkan tubuhnya ke sisi kanan Lujeng untuk melihat cowok tambun di belakang kawannya itu. Dan rasanya wanita matang yang masih betah menjomblo itu ingin muntah melihat muka mupeng lelaki itu.
“Iya sih, mukanya mupeng-an banget. Nggak bisa dikontrol dikit apa ya.”
Lujeng hanya mengendikkan bahu, malas menanggapi. “Dah lah kita bahas project kita aja, ayo. Napa jadi bahas yang nggak penting gini coba.”
Akhirnya Andini menuruti kata-kata Lujeng. Wanita itu meraih laptopnya dan menunjukkan sebuah desain stan makanan sebagai tempat jualan mereka. Rencananya mereka akan menjual menu rice bowl, berisi nasi dan varian daging yang sudah dimasak dengan berbagai rasa.
“Kan kata kamu kalau kita buat kafe gitu, biayanya nggak sedikit. Tapi memang iya sih,” ujar Andini. “Jadi kita jualan buka stan aja. Nanti kita mangkal di depan minimarket atau tempat-tempat rame. Kalau aku sih udah bilang ke sepukuku, mau buka stan di tempat dia.”
“Boleh juga sih idemu. Buka kafe kan butuh perjuangan banget. Modal awal lumayan kan. Terus awal-awal nggak langsung rame. Kita harus cari pasar dulu. Meyakinkan pelanggan dengan rasa dan kualitas masakan, kenyamanan tempat, biar mereka pada balik lagi,” terang Lujeng tanpa mengalihkan tatapannya pada layar laptop. “Kamu udah survei harga-harganya beneran segini?” tanya Lujeng merujuk pada budget untuk stan mereka.
Andini nyengir lebar. “Aku baru survei di google sih.”
“Oke nggak apa-apa. Nanti kita survei ke tempatnya langsung. Aku tanya-tanya adikku dulu deh untuk tempat yang recommended buat bikin ginian.”
“Cocok.” Andini menjetikkan jari dengan girang. Wanita itu dari awal Lujeng mengajak kerja sama memang begitu excited.
“Ya udah, haus nih. Sampe kelupaan pesen minum.” Lujeng membuka buku menu.
“Aku juga lupa lho.”
Lujeng memutuskan memesan pisang karamel dan kopi Janji Palsu. Sedangkan Andini memesan donat kentang dengan berbagai toping. Mereka menghabiskan makanan diselingi obrolan kehidupan pribadi masing-masing. Andini sesekali masih menggoda Lujeng dengan pria tambun yang masih betah duduk di belakang Lujeng. Membuat Lujeng menahan kesal pada sahabatnya yang berpenampilan seperti lelaki itu.
“Please lah Din. Nanti tuh cowok ke-GR-an kamu lihatin terus,” protes Lujeng.
“Habisnya mukanya itu lho,” kata Andini cekikikan.
“Awas ntar kamu yang jatuh cinta sama dia.*Kapok.”
*tahu rasa
Bibir Andini sudah terbuka hendak menjawab ucapan Lujeng, namun terinterupsi oleh dering ponsel wanita itu.
“Bentar, aku angkat telepon dulu.”
Lujeng menunggu Andini menjawab teleponnya sambil memainkan sedotan di gelas yang sudah kosong.
“Aku lupa bilang ke kamu,” kata Andini meletakkan kembali ponselnya di atas meja. “Aku juga ngajak sepupuku ke sini buat bahas project-ku sama dia, biar sekalian. Nanti kita juga bisa buka stan kita di depan kliniknya.”
“Klinik?” Mendengar kata klinik membuat Lujeng teringat pada Dokter kandungan favorit Lisa.
“Iya.” Andini mengangguk. “Nah itu orangnya.”
Lujeng memutar kepala untuk melihat sosok yang dimaksud Andini. Dan seketika maniknya melebar sempurna melihat siapa sosok yang dimaksud Andini, berjalan ke arah meja mereka dengan penuh percaya diri.
Lujeng terlalu bingung harus bersikap bagaimana begitu sepupu Andini itu sudah di depan meja mereka. Ia masih menatap dengan wajah tak percaya akan bertemu untuk ketiga kalinya dengan Dokter itu dalam waktu kurang dari 48 jam.
“Lho, Mbak Wilujeng ini ternyata temannya Andini?” Akhirnya Andre menyadari keberadaan Lujeng. Harapan Lujeng agar Dokter Andre tidak mengenalinya pupus sudah.
“Kalian udah saling kenal?” tanya Andini keheranan, melihat sang sepupu sudah mengetahui nama kawannya.
Bersambung