Bab 6

1926 Kata
Wilujeng tidak tahu apa rencana Tuhan yang kembali mempertemukannya dengan Dokter Andre. Terlebih ternyata Dokter Andre adalah sepupu sahabatnya—Andini. Bukan apa-apa, Lujeng hanya merasa segan pada Dokter Andre karena sudah menyerempet mobil pria itu. Meski ia juga sudah minta maaf, dan Dokter Andre juga tidak mempermasalahkannya. Tetapi entah mengapa Lujeng merasa tidak nyaman jika berada di dekat pria berprofesi dokter kandungan itu. “Mas Andre sama Lujeng udah saling kenal? Kenal di mana emang?” Andini kembali melontarkan pertanyaannya. Terang saja wanita itu penasaran karena baik Lujeng dan Andre tidak ada yang memeberitahunya jika mereka saling kenal. Dan ia dibuat terkejut karena sepupunya itu mengetahui nama Lujeng. Demi kesopanan, Lujeng berdiri dan tersenyum kikuk pada Andre yang kini menjulurkan tangan kanannya. Lujeng pun akhirnya menyambut uluran tangan Andre. “Kami dulu teman sekolah, Dok,” jawab Lujeng. “Silakan duduk, Dok.” Lujeng mempersilakan. Andre duduk di samping Andini menghadap Lujeng. “Saya nggak nyangka kita ketemu di sini. Dan terlebih Mbak Lujeng juga sahabatnya Andini.” “Dunia sempit ya, Dok,” ucap Lujeng. “Jodoh kali kalian tuh,” celetuk Andini yang membuat Andre mengerutkan kening dan membuat Lujeng melotot. “Loh, kenapa? Siapa tahu kan? Jodoh kan nggak ada yang tahu. Emang kalian sebelumnya ketemu di mana? Kok kamu nggak cerita sih, Jeng.” “I—itu, waktu itu aku nggak sengaja nyerempet mobil Dokter Andre, Din. Terus tadi pagi ketemu lagi waktu aku nganterin Lusi check up kandungannya.” “Oh yang pulangnya ketemu sama mantan terindahmu itu?” Lujeng mengusap kening, karena kembali diingatkan kembali dengan Kaivan. Sedangkan seharian ini susah payah ia mencoba mengubur semua kenangan tentang lelaki itu. ‘Enggak Lusi, enggak Andini ternyata sama aja.’ Batin Lujeng. “Nggak perlu ditegasin juga kali … Andini.” Andini terkekeh. “Oh maaf deh ya. Habis bagian itu si yang aku ingat waktu kamu cerita.” “Maafin aku ya Lujeng, jiwa keponya memang super parah.” Andre yang melihat wajah kurang nyaman Lujeng akhirnya buka suara. “Enak aja ngatain aku kepo.” Andini tak terima. Ia menggoyang lengan Andre dengan lengannya. “Emang bener kok tadi Lujeng ketemu sama mantannya pas dari klinik Mas.” “Iya, tapi nggak perlu kamu ingetin juga. Siapa tahu Lujeng mau lupain mantannya itu gimana?” “Iya, iya deh. Maaf ya Lujeng, kata-kataku jadi ngingetin kamu sama Kaivan.” Lujeng mengangguk malas. “Kalau gitu aku pamit ya, Dokter sama Andini mau bahas kerjaan kan?” Lujeng sudah meraih tasnya bersiap berdiri. “Kita bertiga, Zeyenk … yang mau bahas kerjaan. Kan Mas Andre yang punya klinik kandungan itu. Nanti kita nebeng aja buka stan di depan klinik. Boleh kan, Mas?” Andini mengedip-ngedipkan bulu matanya pada Andre, merayu kakak sepupunya. “Asal bayarannya sesuai,” jawab Andre, melipat kedua tangannya di depan d**a. Lujeng meletakkan kembali tasnya di kursi kosong samping kirinya. Meski sedikit kesal karena sikap Andini yang seenaknya dan ceplas-ceplos tetapi ia juga merasa beruntung karena koneksi Andini lebih bagus ketimbang dirinya. “Diih, kok Mas perhitungan gitu sih. Dini bilangin ke Bude loh.” Andini pura-pura merajuk. “Loh bisnis kan memang harus saling menguntungkan. Saya yang punya tempat, kamu dan Mbak Lujeng yang sewa,” terang Andre. “Iya, tapi kan kita baru aja mulai masa nggak dikasih keringanan sih.” “Kamu kira saya kepala sekolah minta keringanan.” Lujeng memutar bola mata mendengar perdebatan Andini dan Dokter Andre. Ternyata tidak hanya dirinya dan Hendra yang suka berdebat. “Bener kata Dokter Andre dong, Din. Namanya sewa tempat ya kita harus bayar sewanya,” ucap Lujeng yang setuju dengan perkataan Andre. “Kan aku bilangnya bukan sewa, tapi nebeng.” “Ya nggak boleh gitu. Dokter Andre kan juga pas awal buka klinik itu juga butuh modal nggak sedikit. Terus dengan kehadiran stan kita pasti sedikit menganggu lahan parkir klinik.” “Nah, betul kata Mbak Lujeng,” seru Andre menjetikkan jarinya ke depan. “Saya bangun klinik itu juga kan butuh modal banyak, Andini.” “Duh, kalian ya, belum apa-apa udah satu server,” kelakar Andini. “Jangan-jangan jodoh nih.” “Andini,” geram Lujeng sementara Andre hanya menggelengkan kepala mendengar celotehan sepupunya. Pembicaraan lantas beralih ke topik lain. Adini yang paling gencar melempar pertanyaan pada Lujeng dan Andre, seolah dirinya adalah perantara perjodohan antara sahabat dan sepupunya itu. Andre menjawab dengan malas pertanyaan Andini menyangkut kehidupan pribadinya. Pria itu memiliki firasat jika Andini adalah salah satu sekutu Ibunya yang diutus untuk menjodohkannya dengan Wilujeng. Hal tersebut diperkuat dengan perkataan Andini yang sejak tadi cenderung memuji-muji Wilujeng. Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Andre, Lujeng dan Andini memutuskan untuk meninggalkan kafe tersebut menggunakan kendaraan masing-masing. . . Esok harinya pagi-pagi sekali Andini sudah berada di rumah Lujeng. Mereka berencana untuk survei bahan baku kebutuhan stan. Pertama, mereka mendatangi tukang daging di pasar tradisional sebagai pemasok daging. Lalu mereka menyambangi pedagang bumbu dan sayur-mayur. Mereka tidak hanya menyambangi satu pedagang, tetapi beberapa pedagang untuk perbandingan harga. Lalu mereka ke percetakan yang direkomdasikan Hendra untuk memesan selebaran, spanduk juga neon box. Mereka juga sudah memesan stand booth pada bengkel alumunium yang juga direkomendasikan oleh Hendra. “Capek juga ya keliling,” kata Andini setelah meneguk air mineralnya. Mereka tengah beristirahat di salah satu minimarket seribu cabang. “Itung-itung latihan aja. Nanti kalau udah mulai jualan pasti lebih capek lagi,” sahut Lujeng yang sudah menghabiskan air mineralnya. “Kita tinggal ke mana lagi nih?” Andini menegakkan tubuh. “Udah semua kan?” kata Andini bertanya balik. Lujeng melihat catatannya lalu mengingat-ngingat lagi. Barangkali ada tempat yang belum mereka datangi. “Udah semua sih. Tinggal kita nanti review lagi mana harga yang paling sesuai budget untuk daging, sayur dan bumbu-bumbunya “Alhamdulillah. Berarti kita udah bisa pulang nih?” Andini sudah membayangkan nyamannya berbaring di kasur. Keliling dari satu tempat ke tempat lain rupanya cukup menguras tenaganya. “Untuk hari ini cukup dulu aja lah. Besok kita tinggal trial masakan,” ujar Lujeng penuh semangat. Perempuan yang siang ini mengenakan kaos oblong dibalut jaket kulit dan celana jins itu sudah berdiri. “Yuk ah balik.” “Bagian masak-masak pokoknya kamu ya.” Andini mengejar Lujeng yang sudah menghampiri motornya. “Iya, iya. Bagian promo-promo kamu pokoknya.” Lujeng dan Andini akhirnya pulang setelah menghabiskan waktu empat jam untuk berkeliling survei kebutuhan usaha baru mereka. Tiba di rumah mereka disambut oleh Fatmawati yang langsung menyuguhkan jus melon dan sepiring tahu isi pedas. “Andini makan siang di sini aja ya. Ibu udah masak banyak lho, ini. Ada sayur sup, sambal sambal mendoan,” kata Fatmawati. *“Mboten, Bu, matur suwun. Dini sampun dientosi Ibu wonten dalemipun Bude.” *Nggak, Bu, makasih. Dini udah ditungguin Ibu di rumah Bude “Ya sudah. Hati-hati ya pulangnya. Salam buat Ibu.” Fatmawati mengusap kepala Andini ketika sahabat puterinya itu mencium punggung tangannya. “Hati-hati ya, Din.” Lujeng mengantar Andini hingga teras. Lalu wanita itu masuk kembali ke rumah untuk makan siang. . . Tiba di rumah kakak dari Ibunya, Andini membunyikan klakson. Seorang security membuka gerbang setinggi tiga meter itu. “Siang Mbak Dini,” sapa security bernama Jamal. “Sudah ditunggu Ibu dari tadi,” infonya. “Iya Pak. Makasih ya udah dibukain gerbang.” “Sudah jadi tugas saya, Mbak.” “Ya sudah, saya masuk dulu ya, Pak,” kata Andini setelah memarkirkan motornya. Andini masuk ke dalam rumah dengan leluasa karena memang pintu rumah megah itu yang sudah terbuka sejak tadi. “Selamat siang Ibu-Ibu,” sapanya dengan ceria pada Bude dan Ibunya yang tengah bercengkerama di ruang tengah. “Sini-sini, Din. Duh bude udah nungguin dari tadi lho, pengin denger cerita kamu.” Anggun dengan antusias menyambut Andini dan menuntunnya agar duduk di sebelahnya. “Dini makan dulu ya, Bude. Laper. Nanti baru cerita-cerita. Bude masak apa?” “Oh iya, kamu pasti capek ya habis keliling. Bude sampai lupa nggak nawarin makan.” “Kebiasaan kamu tuh, Din. Ngisin-ngisini Ibu, di rumah orang minta makan.” Anggi—Ibu Andini sewot dengan sikap anaknya yang suka minta makan di rumah Mbakyunya itu. “Biarin, Din, orang di rumah Bude sendiri nggak apa-apa,” bela Anggun pada keponakannya. “Kamu tuh, Nggi, orang anaknya mau makan malah dinesuni,” omel Anggun pada Anggi. “Yuk Din, kita makan bareng. Biarin Ibumu jangan diajakin.” Anggun mengajak keponakannya ke meja makan. “Ya bukannya gitu, Mbak. Masa tiap ke rumah orang, apalagi ke sini, Andini minta makan. Nggak enak kan sama Mas Lennard,” omel Anggi mengekori anak dan kakak perempuannya ke meja makan. “Udah ya, Din, jangan dengerin Ibumu. Ini masakan Bude yang masak. Kamu mau habisin juga nggak apa-apa.” Anggun mengambilkan nasi lengkap dengan semangkuk sup iga. Tak ketinggalan sambal dan tempe goreng. “Sudah cukup Bude. Makasih.” Andini memang tak menghiraukan omelan Ibunya. Bukannya tak menurut atau apa, tapi ia tak setuju dengan pemikiran konservatif sang Ibu yang menganggap jika saat mertamu terus makan di rumah dikunjungi itu adalah tindakan kurang sopan. Ini kan di rumah Budenya. Bude paling cantik yang pinter masak pula. Andini jelas tidak akan menyia-nyiakan menyantap masakan Bude Anggun begitu saja. “Kamu beneran nggak mau makan Nggi?” tanya Anggun yang sudah siap menyendok potongan daging ke dalam mulutnya. Anggi yang berdiri di antara Anggun dan Andini menggelengkan kepala. *“Emohlah, Mbak. Wareg aku weruh si Dini mangane uakeh pisan.” *Enggaklah, Mbak. Kenyang aku lihat si Dini makannya banyak banget. “Jangan dengerin Ibumu ya, Din. Udah makan, habisin juga nggak apa-apa. Biasanya juga Masmu kalau pulang jarang makan.” Anggun kembali membela ponakannya. “Siap, Bude.” Selesai makan, Anggun mengajak Andini ke ruang TV. Sepiring bolu gulung dan satu teko besar jus semangka sudah tersedia di hadapan mereka. Jelas, orang yang pertama kali menyomot bolu tersebut adalah Andini. “Jadi gimana semalam, Din? Gimana respons Andre sama temenmu itu?” tanya Anggun begitu antusias. “Ya … responsnya sih biasa aja Bude. Bude kayak nggak tahu Mas Andre aja orangnya kayak gimana.” Helaan napas penuh putus asa terhembus dari bibir wanita berumur enam puluh tahun yang masih terlihat sangat cantik itu. “Masmu nggak minta nomor teleponnya atau ngajak ketemu lagi?” Andini menggeleng lemah. Ia tak tega melihat wajah sedih Bude Anggun yang sudah sangat menginginkan putera satu-satunya itu menikah lagi. “Mungkin belum kali, Mbak. Kan baru pertama kali ketemu.” Anggi berusaha membesarkan hati Mbakyu-nya. “Iya, Bude. Tapi Dini juga bingung lho, Mas Andre udah tahu nama temen Dini itu, Wilujeng,” info Andini yang seketika membuat manik Aggun berbinar. Wanita bersuamikan keturunan Jerman itu seolah masih memiliki harapan untuk menjodohkan Andre dengan sahabat dari keponakannya. “Apa mereka udah kenalan sebelumnya?” “Nah, itu, kurang tahu Dini juga. Pas Dini tanya, Mas Andre nggak mau jawab. Tapi kata Lujeng pernah ketemu pas nyerempet mobil Mas Andre. Tapi pas Dini tanya sih, mereka nggak sempet kenalan.” Tanpa mereka bertiga tahu, sejak tadi Andre sudah mendengar seluruh pembicaraan Ibu, Tante dan sepupunya yang tengah berkomplot akan menjodohkannya lagi dengan seorang perempuan yang menurut mereka cocok untuknya. Andre hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat ketiga wanita yang sibuk meng-ghibah dirinya itu. Ia juga tak bisa marah pada mamanya yang ingin segera menimang cucu, sementara dirinya belum siap untuk membuka hati kembali kepada perempuan lain karena masa lalu percintaannya yang bisa dikatakan berakhir mengenaskan. Andre akan berpura-pura tidak tahu mengenai rencana mamanya dan Andini. Jika saatnya tiba, Andre akan mencari alasan tepat untuk menolak perjodohannya dengan Wilujeng. Bersambung                                      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN