Lujeng merasakan dadanya sesak, karena sejak tadi menahan tangis. Wanita itu sudah tiba di kamarnya dan tanpa mengganti pakaian, merebahkan tubuhnya di ranjang bersprei putih, lantas menyembunyikan wajahnya di bawah bantal. Lujeng tidak ingin tangisnya diketahui orang rumah. Atau ia akan mendapat bully-an dari adik dan adik ipar durhaka. Lujeng tahu, seharusnya ia tidak boleh menangisi lelaki yang ia sendiri yang memintanya untuk pergi. Lujeng sendiri yang meminta Kaivan untuk mempertanggungjawabkan sebuah dosa masa lalu lelaki itu. Atas nama kemanusiaan sebagai sesama wanita. Padahal, jika Lujeng mau sedikit saja egois, mungkin siang hari ini dirinya tidak akan menangis karena merasakan dadanya terbakar api cemburu melihat kemesaran Kaivan dan istrinya. Tetapi, keputusan telah dibuat. K