Bab 6

932 Kata
Bab 6 Jam satu siang, Mas Agung dan Adi tiba di rumah. Entah kebetulan atau tidak, mereka datang bersamaan, yang jelas seperti biasa muka Adi terlihat kesal saat bersama ayahnya. Ini bukan kebetulan, Adi seperti tidak menyukai Mas Agung. "Kok bisa barengan pulangnya?" Begitu berucap salam, segera kutanya Mas Agung guna menghilangkan keherananku. Adi hanya diam saja, tak menyahuti ucapanku. Anak itu langsung berlalu ke dalam kamarnya tanpa mencium tanganku seperti biasanya. Sejak waktu itu, sikap Adi jadi sedikit berubah. Seperti ada hal yang mengganjal di pikirannya. "Kebetulan ketemu di jalan tadi," ungkap Mas Agung dengan raut wajah datang. Lelaki itu meletakkan jaketnya di bahu sofa sambil duduk. "Hanya kebetulan?" Keningku berkerut dalam. "Iya. Nasehatin tuh anakmu, Indi. Tak sopan ke orang tua masa sikapnya dingin seperti itu." Mas Agung menekuk muka lalu selonjoran di sofa depan tv sambil meraih remot. Sedangkan Adi, setelah masuk ke dalam kamar, tidak keluar lagi. Membuatku sedikit khawatir akan dampak psikologis anak itu. "Memang dia ngapain kamj, Mas?" Aku ikut duduk di sebelah kiri lelaki berusia tiga puluh enam tahun itu. "Anak itu makin susah diatur. Bebal. Bahkan diajak bicara pun dia tak menyahut!" keluhnya sambil memijat pelipis. Seperti orang yang tengah banyak masalah. "Masa sih?" Aku setengah tak percaya. Adi bukan tipe anak bebal seperti yang Mas Agung katakan, dia pasti punya alasannya. "Tolong bawakan aku teh, Indira." Ucapan Mas Agung membuyarkan lamunanku. Aku beranjak kemudian. "Mungkin dia punya alasannya." Aku mendelik tak suka. Bagaimanapun juga Adi anaknya juga. Dia ayah kandungnya. Tidak semestinya Mas Agung bicara demikian. Meskipun mereka tidak dekat, karena Mas Agung seperti menjaga jarak dari anaknya sendiri. "Apa maksud kamu!? Jangan katakan bahwa kamu mencurigaiku!!" Mas Agung menoleh dengan raut tidak suka. Aku berpaling lalu melangkah ke arah dapur, enggan menanggapi lagi kembali. Percuma. Karena ujung-ujungnya pasti hanya akan memicu pertengkaran. "Oh, ya Mas. Bagaimana keadaan Zahra?" Aku duduk, setelah kuletakkan secangkir di meja tak jauh darinya. Sebenarnya aku sengaja bertanya, untuk memancing reaksi yang akan Mas Agung tunjukkan. Dan benar saja, tak lama dia langsung duduk tegak dan menatapku. "Oh, dia baik," jawabnya singkat sambil memperhatikan wajahku. Aku hanya tersenyum sinis dalam hati. 'Kamu mulai berbohong, Mas!' "Baiklah Indi, aku mau mandi dulu." Mas Agung berdiri meninggalkanku yang masih duduk memandang tv. Apakah tadi waktu Mas Agung datang kesini tidak mandi dulu. Entahlah. Namun kini perhatianku malah ke arah ponsel dan dompet yang tergeletak di sofa tempat Mas Agung duduk tadi. Bukan maksud lancang, aku hanya penasaran dengan isi keduanya. Biasanya aku tak pernah memeriksa dompet dan ponselnya selama kami menikah, karena aku selalu percaya padanya. Namun ternyata kini, kepercayaan itu berganti dengan kekecewaan dan juga tanda tanya tentang kehidupan Mas Agung di belakangku. Tapi, setelah kupikir bolak-balik, ternyata aku memang tak seberani itu, dan membiarkan kedua benda itu tergeletak begitu saja. "Indi, aku ingin makan." Wajah Mas Agung sudah segar terlihat lebih segar dari tadi. Aku yang masih duduk di sofa melirik sekilas lalu berdiri dan meninggalkannya ke dapur. Untunglah lauk tadi tidak kuberikan semuanya ke tetangga. Segera kupanggil Adi agar bisa makan bersama. Anakku itu pasti lapar sehabis pulang sekolah. Mas Agung dan Adi makan dalam diam. Saling acuh dan tak bicara. Rupanya sudah jadi kebiasaan Adi sekarang, mengacuhkan ayahnya. Hingga sampai sesi makan berakhir, keduanya hanya diam dan sibuk dengan isi piring masing-masing. **** Mas Agung tengah berdiri sambil membelakangiku sambil menatap ke arah jendela. Dari tadi dia sibuk dengan ponselnya, hingga tak menyadari aku berjalan melewatinya. "In-Indi?" Nada suara Mas Agung terdengar kaget saat aku berjalan. Biasa saja kali, Mas. Jangan seperti pencuri yang ketahuan. Aku tertawa lagi-lagi dalam hati. Semakin hari banyak yang berubah dari suamiku itu. "Ya!?" Aku menjawab singkat, lalu duduk di tempat tidur. "Apakah tadi Zahra kesini?" Tampak ragu dia bertanya. Dia berjalan mendekat kemudian menghampiri dan duduk di sampingku dengan wajah seperti cemas. Aku mengangguk. Mas Agung menggenggam kedua tanganku erat. "Boleh aku bertanya sesuatu!?" Keduanya matanya fokus menatapku. Membuatku malas untuk menatap balik. Seperti tengah mencari kebenaran. Dia meraih daguku agar menatap matanya. "Apa yang kamu lakukan pada Zahra?! Apa kamu mendorongnya tadi!?" Deg, seketika aku kaget. Apa maksudnya, kenapa Mas Agung tiba-tiba bertanya demikian. Apakah ada seseorang yang mengadu melalui ponsel padanya. Itu bukan seperti pertanyaan, tapi lebih kepada tuduhan buatku. "Apa maksudmu, Mas?" Aku menautkan alis dengan perasaan heran. Apa terjadi sesuatu? Entahlah. "Indi … Aku percaya padamu. Aku tahu kamu tak mungkin berbuat demikian. Tapi aku mohon, katakan ya atau tidak?! Itu saja cukup." Mas Agung memohon dengan pandangan sulit kuartikan. "Kamu nggak percaya padaku, kan, Mas?" tanyaku sambil memicingkan mata, mencari kebenarannya. "Ya, tentu saja. Sepuluh tahun kita bersama, aku tahu semua sifatmu, kamu tak mungkin berbuat demikian. Namun aku butuh jawabanmu saat ini!" Lagi, Mas Agung bertanya. Aku hanya bisa mendesah lelah. Jika percaya, harusnya tidak usah bertanya lagi. "Aku tidak berbuat apapun, Mas. Harusnya aku yang bertanya sekarang. Darimana kamu tadi? Bukankah katamu ingin menemui Zahra? Kenapa malah sekarang kamu bertanya, seolah-olah aku yang mendorong Zahra," ucapku sedikit geram. Jangan sampai si mulut ular itu mengadu yang tidak-tidak. Bisa jadi fitnah untukku. "Indira, ini bukan waktu yang tepat untukku jawab semua pertanyaanmu. Aku harus pergi sekarang." Mas Agung beranjak berdiri, kemudian membuka lemari guna mencari jaketnya. Sesaat dia menoleh padaku. "Maaf, Aku harus pergi." Sekilas dia mencium keningku dan hendak melangkah. Tapi, sebelum dia berbalik, aku mencekal tangannya. Erat. Dengan tatapan menghunus ke matanya. "Jika kamu pergi saat ini. Maka aku pastikan kamu tidak berhak atasku lagi, Mas!! Silahkan kamu pilih, akan bertahan dan diam di rumah bersamaku atau pergi dan memilih dia, tapi kehilangan keluargamu!!" Cukup tegas aku berkata, semoga kamu mengerti, Mas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN