Bab 5

1018 Kata
Bab 5 Makanan yang tersaji tidak lagi memberikan selera. Ternyata memang percuma aku menyiapkan makan siang untuk Mas Agung, nyatanya dia sama sekali tidak menghargai usahaku. Sia-sia saja. Padahal aku tengah mencoba berdamai dengan hatiku untuk belajar ikhlas menerima mereka. Daripada mubazir, sayur sebanyak ini sebaiknya kumasukkan dalam mangkuk dan segera kubawa ke samping rumah untuk diberikan ke tetangga. "Eh, Bu Indira. Tumben, ada apa nih?" Bu Yeti bertanya setelah mempersilahkanku duduk. "Ini, Bu. Saya tadi masak agak banyak jadi sayang karena tidak kemakan," kujawab seraya menyerahkan mangkuk sayur dari tanganku. "Oalah … makasih lho, kebetulan saya gak masak. Maklum tanggal tua." Wanita paruh baya itu tampak tersenyum senang. Lalu pergi ke dapur, dan tak lama kemudian kembali lagi. "Ya sudah, kalau begitu saya Permisi, Bu," pamitku, namun Bu Teti malah menahan tanganku. "Eh, Bu Indira. Sebentar jangan pergi dulu, kita ngobrol sedikit bolehkan?" Keningku berkerut, namun kuturuti juga. Akhirnya aku duduk kembali karena tak enak hati jika langsung pulang kembali. "Ada apa sih, Bu. Kelihatannya serius sekali," tanyaku penasaran. "Jadi begini Bu. Maaf nih ya kalau saya ikut campur rumah tangga Bu Indira sama Pak Agung. Bukan maksud apa-apa, saya hanya kasihan ke Bu Indira karena selalu baik pada keluarga saya. Hanya saja tidak tahu harus dari mana mulai ngobrolnya." "Kasihan, maksudnya?" sejujurnya aku tak mengerti dengan apa yang dikatakan Bu Teti ini. "Ya selama ini kan Bu Indira nggak tahu kegiatan Pak Agung di belakang. Bu Indira banyak dibohongin juga, saya jadi gak enak mau ngomongnya, Bu." Kenapa dia berbelit-belit sih. Membuatku semakin penasaran saja. "Coba ceritakan yang jelas, Bu," pintaku penuh harap dengan wajah serius. "Ya, pokoknya tentang semua yang Pak Agung lakukan di belakang Ibu. Panjang ceritanya, dan lebih dari sekedar yang terjadi sekarang. Pokoknya Bu Indira hati-hati saja sama mereka, dan kalau bisa coba cari tahu lebih dalam tentang kelakuan mereka di belakang Bu Indira," tuturnya dengan wajah sulit diartikan. "Mereka? Maksudnya siapa yang Ibu maksud?" Ditanya seperti ibu, Bu Yeti malah terlihat seperti orang bingung. "Pokoknya semua orang sudah tahu, Bu. Mungkin cuma Bu Indira saja yang ketinggalan berita." Aku menarik nafas panjang dan mencoba mencerna apa yang dimaksud orang di depanku ini. Jika memang seperti itu, sepertinya aku memang harus mencari lebih banyak tentang Mas Agung dan yang di sebut 'mereka' oleh Bu Yeti. Aku pun memilih pulang karena merasa pusing dengan penjelasan wanita itu yang berbelit-belit. Baru memasuki halaman rumah, aku dikejutkan dengan kedatangan motor besar yang pemiliknya menghadap padaku dengan wajah seram. "Mana Mas Agung, Indi?" Rupanya Doni yang datang. Kenapa lelaki itu bertanya perihal kakaknya padaku. "Bukankah dia pulang ke rumah Ibu?" Aku balik bertanya. Doni tersenyum seperti mengejek, membuat keningku berkerut. Apa maksudnya itu. Doni berlalu pergi lagi dengan motor besarnya tanpa basa-basi. Aku mengangkat bahu. Aneh. Kenapa dia bertanya padaku, padahal mereka tinggal di satu rumah. ***** Tok tok! tok! Terdengar pintu depan diketuk dengan tidak sabar. Entah siapa yang melakukan. Dasar tidak punya sopan santun bertamu ke rumah orang seenaknya. "Mbak, mana Mas Agung?" Barusaja pintu kubuka, terlihat Yanti dan Zahra berdiri dengan pongah di depan pintu. Jangankan mengucap salam, bahkan tampangnya jauh dari kata ramah. Dua orang yang sama-sama menyebalkan. "Kenapa kalian mencari Mas Agung kesini?" tanyaku heran, bukankah tadi pagi Mas Agung pulang untuk menemui istri mudanya ini. Lalu kenapa malah Zahra dan Yanti yang datang kesini. Dan dia tampak baik-baik saja tak seperti yang Mas Agung katakan tadi. "Udah deh, Mbak. Aku tahu sekarang giliran Mas Agung bersama Mbak Indira. Tapi aku kan lagi hamil jadi ingin dekat dengan Mas Agung terus. Lagian ini juga bawaan bayi yang ingin dekat dengan bapaknya terus. Jadi Mbak nggak usah halangin Mas Agung untuk pulang ke rumah Yanti," cerocos Zahra panjang lebar. Dasar tidak tahu malu. "Tapi itu bukan bayinya Mas Agung kan?! Jadi tahu dirilah sedikit. Untung saja suamiku masih mau menutupi aibmu." Kutekankan kata suamiku agar perempuan sombong di depanku ini sadar akan kedudukanya bukannya tinggi hati seperti orang yang tidak dididik oleh orang tuanya. "Oh, sudah berani melawan ya sekarang. Tunggu sampai aku melaporkannya lada Mas Agung," kelakarnya penuh percaya diri. Mungkin dia pikir aku takut padanya. Tidak sama sekali. Aku bukan wanita lemah yang mudah diintimidasi oleh w************n macam si Zahra ini. "Udah ah. Dimana Mas Agung sekarang, aku mau ketemu." Zahra menyenggol bahuku lalu bersama Yanti masuk ke dalam rumah tanpa permisi bahkan tanpa melepaskan alas kaki. Awas saja kalian, aku tak akan diam saja. Yanti sendiri hanya mendelik tak suka, dan seperti biasa, tidak banyak bicara, selalu seperti itu padaku. Entah dendam apa padaku hingga selama ini sikapnya selalu buruk begitu. Zahra berkeliling ruangan sambil berteriak memanggil mama Mas Agung, persis seperti orang kesurupan. Tentu saja dia takkan menemukannya di sini. Ingin tertawa tapi takut dosa. "Mbak sembunyikan di mana Mas Agung?" Zahra bertanya dengan mukanya yang menyebalkan menurutku. "Mas Agung bukan barang, aku tak bisa menyembunyikannya di lemari. Paham kamu? Sebaiknya kamu cari di tempat lain!" "Awas ya, Mbak. Kalau kalau bohong, tanggung sendiri akibatnya!" tunjuknya tepat ke mukaku dengan wajah berang. Dasar bocah sinting, berani sekali dia macam-macam padaku. Disampingnya Yanti terus mendelik tak suka seakan ikut puas atas perlakuan Zahra seperti itu. "Apa maksud kamu mengancamku?" Kuhentakkan tangannya yang masih menunjuk mukaku. Dasar tidak sopan. "Mbak kan tak suka kalau Mas Agung menikahiku. Makanya Mbak berusaha untuk menjauhkan aku dari Mas Agung. Benar begitu kan, hm?" Aku tersenyum kecut mendengar penuturannya. "Bukankah yang terjadi malah sebaliknya? Kamu yang berusaha menjauhkan Mas Agung dariku dengan rayuan murahanmu itu?!" "Ka-kamu!!" Tangannya berayun tepat mengarah ke wajahku. Namun segera kutahan dan kuhempaskan, hingga Zahra hampir terjatuh. Untunglah langsung ditahan oleh Yanti di sebelahnya. "Jangan berani-berani kau mengangkat tanganmu padaku. Karena aku bukan orang yang lemah seperti apa yang kamu pikirkan!! Camkan itu baik-baik!!" hardikku kasar dengan wajah berang "Awas ya kamu, Mbak. Aw!!" Zahra meringis sambil memegangi perutnya. Kenapa wanita itu. Dan entah apa maksudnya. Mungkin saja dia sedang berakting? Aku tidak tahu. "Mbak aku tak akan diam begitu saja!!" Zahra kembali meringis sambil berpegangan pada Yanti. "Sebaiknya kalian pergi dari sini sekarang juga?!!" usirku pada keduanya sambil melotot. Tak sudi lama-lama melihat tingkah kedua orang sinting itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN