Bab 7

1058 Kata
Bab 7 "Kenapa kamu memberi pilihan sulit, Indira?" Mas Agung bertanya dengan mimik muka yang terlihat kaget yang justru membuatku sedikit tersenyum. Lelaki itu mengacak rambutnya kasar, sepertinya dia bingung harus memilih. Kamu harus diberi sedikit pelajaran Mas, sebelum aku menyelidiki perbuatan burukmu dibelakangku. "Pilihan ada ditanganmu, Mas." Aku mengangkat bahuku seolah tak peduli. Hanya ingin tahu saja, seperti apa pikirannya. Apa lebih memilih Zahra atau keluarganya. "Baiklah, jika itu maumu. Aku takkan kemana-mana dan tetap di sampingmu sekarang. Apa kamu puas?!" Mas Agung duduk kembali dan meletakkan gawainya di atas nakas. Sesekali dia mengetuk-ketuk ujung jarinya ke permukaan kasur. Tanda bahwa dia sedang berpikir keras. Hingga beberapa panggilan telepon dia abaikan, entah dari siapa. Tapi sepertinya penting, mengingat tiap kali berdering wajah Mas Agung akan berubah pucat. Dia kemudian terlihat mengacak rambutnya kasar sambil berjalan mondar-mandir seperti orang yang bingung ditagih hutang. "Indi, apa kamu tidak memberiku izin walau hanya sebentar saja?" Kembali Mas Agung bertanya, dari nada suaranya bisa kutebak dia sedang mencari alasan untuk pergi. Namun aku tak mau lagi dibohongi. Cukup kamu bermain-main denganku Mas. Sudah saatnya aku bertindak. "Tidak, bukankah sudah lama kita tidak menghabiskan waktu bersama, Mas?" Aku bersikap manis, dan menyandarkan kepalaku di pundaknya. Pundak yang sepuluh tahun ini menjadi tempatku bertumpu dan berkeluh kesah. Sebelum badai ini datang. Sebelum Mas Agung berulah di belakangku. "In-Indira … aku …," Mas Agung menggeser badannya sedikit, menolak secara halus akan perbuatanku. Padahal dalam hati pun aku sudah muak untuk sekedar dekat dengannya. Semua hanya akting Mas, untuk mengukur sejauh mana rasa sayangmu padaku. "Kenapa, Mas?" tanya dengan pura-pura bodoh. Sengaja kupasang mimik wajah sedih agar Mas Agung menyangka aku butuh dia. Tentu saja semua hanya akting. "Aku sedang banyak pikiran, Indi. Kumohon mengertilah." Dengan tangan kokohnya Mas Agung memegangi kedua pipiku. Kucari cinta di matanya, tapi sepertinya sudah meredup, seperti bintang yang tersamarkan saat pagi datang. Membuatku semakin sadar, bahwa dia bukan Mas Agung yang dulu. Aku mengangguk, enggan untuk bertanya lagi. Lalu memilih tidur membelakanginya, mencoba menghalau rasa sakit dalam d**a. Suara gedoran pintu depan membuatku tersadar dari mimpi. Kubuka mataku dan mengedarkan pandangan kesekelilingku. Rupanya Mas Agung sudah tak ada. Namun terdengar sedikit suara keributan dari arah depan. Kuraih kerudung instan dan segera beranjak menemui sumber suara. Langkah kakiku baru menginjak ruang tamu, saat seseorang menghampiri dengan cepatnya dan menampar pipiku. PLAK!! Doni. Adik dari suamiku melayangkan tangannya ke pipiku. Cukup kencang. Membuat otakku yang masih belum seratus persen terkumpul menjadi blank. Aku terhunyung hampir jatuh, kalau saja Mas Agung tidak segera menahanku. Apa maksudnya ini? Kenapa tiba-tiba dia berbuat seperti itu. Apa salahku? Doni, salah satu adik Mas Agung yang membenciku, namun tetap kuperlakukan dengan sopan karena permintaan Mas Agung suamiku, tiba-tiba saja tanpa kuduga menamparku. Tanpa ku tahu alasannya sama sekali. Oh, Ya Tuhan, berani sekali dia berbuat seperti itu padaku. "Doni, hentikan!! Apa yang kau lakukan, hah?!" teriak Mas Agung dengan suara lantang. Kulihat Doni menatap tajam padaku dan kakaknya secara bergantian. Matanya terlihat memerah. Jelas sekali dia sangat marah. Tapi entah karena apa. Aku masih diam dalam posisiku enggan melawan atau sekedar bertanya. Merasakan pipi yang terasa nyeri. Persis seperti saat dulu sering bertarung di tempat latihan beladiri. "Semua gara-gara dia, kan?! Kenapa kamu malah berteriak padaku, Agung?" Doni menatap tajam pada kakaknya. Mas Agung terlihat semakin galau saja. Terus mendengus kasar dengan d**a naik turun. "Karena kamu sudah keterlaluan, Don! Aku percaya istriku tidak mungkin bertindak sejauh itu." Mas Agung terdengar berusaha menguasai amarah. Tapi apa yang mereka bicarakan ini, aku masih tidak mengerti. Dan kenapa membawaku dalam masalah mereka. "Oh, ya? Kenapa kamu sangat percaya padanya." Doni tersenyum sinis masih menatap ke arahku. "Tamparan ini belum seberapa, jika dibandingkan dengan perbuatan istrimu pada Zahra!!" tukasnya cepat dengan menunjuk mukaku. Oh, jadi ini gara-gara Zahra. Pantas saja. Pasti wanita gila itu mengadu yang bukan-bukan hingga aku disalahkan. "Indira tidak berbuat demikian! Aku yakin!!" bela Mas Agung. Aku masih diam di posisiku, menyaksikan kakak beradik beradu mulut. "Dan kamu percaya?" tanyanya penuh selidik. Mas Agung melirik padaku sekilas seolah mencari kebenaran di mataku, kemudian beralih pandang kembali pada Doni. Dia mengangguk, tapi seperti ragu. "Indira tak pernah berbohong," jawabnya pelan. Seperti tidak yakin dengan apa yang diucapkannya. "Apa kamu yakin. Hah!?" "Tentu saja!!" Mendengar jawaban Mas Agung. Doni berlalu keluar ruang disusul Mas Agung dibelakangnya. Entah apa yang mereka bicarakan selanjutnya, aku tak mau tahu lagi. Yang jelas rasa perih di pipiku membuatku semakin berpikir untuk segera mengakhiri pernikahan ini. Beberapa saat kemudian. Pintu kamar Adi tiba-tiba terbuka. Adi berdiri dengan heran. Anakku satu-satunya itu langsung mendekat. "Ibu." Dia meraih tanganku untuk berdiri. Nampak sekali wajah sedih dari mukanya yang polos itu. "Ibu nggak apa-apa. Tadi Ibu jatuh." Aku mencoba berbohong, karena tak ingin Adi menjadi sedih. "Aku dengan suara orang marah-marah tadi. Pasti ini semua gara-gara ayah!" Adi berdiri dan langsung mendorong tubuh Mas Agung yang baru saja masuk ke ruang tamu. "Harusnya Ayah pergi dari kehidupan kami agar tidak menyakiti Ibu lagi. Aku benci Ayah … Aku benci …!!" Luapan amarah Adi bercampur tangisan. Tangannya tak henti memukul perut dan tangan Mas Agung, ayahnya. Sesekali lelaki mengelak, mungkin dia merasakan sakit juga akibat tonjokan bocah SD itu. Aku sendiri merasa sedikit syok. Semuanya terasa sulit dipercaya. Ditampar dan menyaksikan tindakan Adi pada ayahnya sendiri membuat otakku buntu. Tak ada pembelaan ataupun sekedar menghentikan aksi tangan Adi yang terus memukuli perut dan tangan Mas Agung. Dia hanya diam dengan wajah yang menatap sendu ke arahku dan Adi bergantian. Apakah kamu memang pantas mendapatkan ini semua, Mas? Hingga Adi terus-menerus membencimu. Kuharap aku mendapatkan jawabannya segera. ***** Setelah amarah Adi mereda, Mas Agung mengajakku duduk di sofa. Lelaki itu pergi ke dapur, lalu kembali dengan baskom kecil berisi air hangat dan waslap. "Indi, apakah aku masih tidak diizinkan untuk pergi?" Mas Agung tengah mengompres pipi dengan es batu yang memerah dan terasa nyeri. Tenaga Doni sangat kuat saat menamparku. Aku menggeleng lemah. Sebenarnya entahlah. Apa aku harus memberi izin atau tidak. Aku hanya spontan saja menggelengkan kepala. "Kalau begitu bisakah kamu ikut denganku menemui Zahra?" Untuk kedua kalinya Mas Agung bertanya. Aku menatapnya penuh dengan kening berkerut. "Besok, Mas." "Baiklah, Indi. Terima kasih." Mas Agung mengusap pipi kiriku lembut. Rona di wajahnya pun sedikit lebih ceria tak seperti tadi. Apa mungkin dia bahagia karena akan bertemu Zahra, entahlah. 'Kita lihat saja besok, apa yang akan terjadi, Mas!'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN