Bab 2

953 Kata
Bab 2 Tak ingin menunda waktu, segera kutarik handle pintu yang rupanya tidak terkunci. Seketika pintu terbuka lebar menampilkan dua sosok insan berlainan Jenis kelamin tengah b******u mesra di dalam ruangan berdiameter 4x3 meter tersebut. Mataku terbelalak kaget, begitu pun mereka berdua yang seakan kaget dengan kedatanganku, apalagi dia, orang yang kukenal selama ini. Tega kamu, Mas. Setengah mati kutahan gemuruh dalam d**a yang tiba-tiba membuat amarah naik ke ubun-ubun. Kurang a*ar, lel4ki durj*na. Bahkan di tengah hari bolong keduanya asik berduaan di dalam Kamar. Entah apa hubungan mereka ini, yang jelas tentu saja aku tidak terima begitu saja. Keduanya harus menerima luapan amarahku. "B******n, k****g a**r kalian!" Mati-matian kutahan, amarahku meledak begitu melihat suamiku sendiri tengah b******u mesra dengan wanita lain. Dengan langkah cepat, kutarik dan kucengkeram kerah baju yang menempel di badan Mas Agung yang seketika membuat wajahnya panik. Begitu pun wanita yang terengah duduk di sebelahnya. "Indira, hentikan!" Kutatap nyalang dua orang itu. Plak! Plak! Wajah kanan dan kiri Mas Agung menjadi sasaran tangan yang memanas menahan nafsu amarah membuat Mas Agung meringis kesakitan dan terhuyung ke samping tempat tidur. Begitu pun wanita di sampingnya, tak luput dari amarahku. Dia menganga melihatku takut. "Inikah balasanmu setelah semua pengabdianku padamu, Mas!" Plak! "Wanita k*****g a**r, berani sekali kau berbuat senonoh di kamar bersama suamiku!" umpatku kasar. Sekali lagi kucoba untuk menampar sisi wajahnya yang lain, tapi terhenti masih mau mengayun ke pipi sebelahnya, tiba-tiba kurasakan tangan besar menahan laju tanganku. Mas Agung menahan dari belakang. "Cukup, Indira. Hentikan!" Tatapan tajam matanya menghunus tepat di jantungku membuat dadaku nyeri. Apa-apaan dia, berani sekali dia menatapku nyalang seperti itu dan tak berusaha membelaku. Bukankah wajar jika aku marah besar melihat kelakuan bejatnya itu. Tapi entah kenapa aku kecewa melihatnya. "Aku tidak akan berhenti sebelum aku menghajarmu dan ja***g ini!" tunjukku pada perempuan tak tahu malu yang mulai terisak, masih terduduk di sudut tempat tidur. Dasar wanita lemah, begitu saja sudah kalah. Bagaimana aku yang dikhianati Mas Agung. Pastinya jauh lebih sakit. "Aku bilang, cukup! Apa kamu tidak dengar, hah?" Untuk kedua kalinya aku mendengar suara lantang milik Mas Agung. Lelaki tak tahu diri. Demi wanita yang entah kutahu dari mana asalnya, hingga berani-beraninya dia berkata agar aku menghentikan amukanku. Dasar tidak tahu diri. Sia*an! Aku tertegun di tempatku. Amarah dan rasa sakit kian menghunus di kalbu, perih dan sakit yang kurasa. Selama menikah sepuluh tahun dengannya, baru kali ini mas Agung bicara dengan nada tinggi di depanku. Mas Agung melangkah memeluk perempuan itu tepat di depan mataku. Membuat air mata yang kutahan sejak tadi, lolos begitu saja melewati pipi. Sakit, teramat sakit. Begitu berhargakah wanita itu hingga dia memeluknya dan membuatku merasa tidak dihargai. Tega kamu, Mas. Beberapa orang di belakangku masuk ke dalam kamar, yang kutahu itu suara Ibu, Ayah Mertua, dan juga yang lain. Mereka tampak tidak percaya melihat keadaan kamar yang berantakan. "Semuanya ikut ke ruang tamu, sekarang." Ayah berkata sambil berlalu disusul ibu mertua dan yang lainnya, termasuk Mas Agung yang berjalan masih bersama perempuan itu di pelukannya. Mengabaikanku yang menahan nyeri di hati. **** Aku melangkah gontai paling akhir. Rasanya kakiku gemetar sulit sekali untuk melangkah, ditambah rasa sakit hati dan juga tangan yang terasa kebas bekas menampar Mas Agung dan perempuan itu. Mereka Semua langsung duduk di ruang tengah. Mas Agung tampak menenangkan perempuan itu yang masih terisak sambil memeluknya. Ibu Mertua menatapku dengan rona sedihnya. Sedangkan Ayah Mertua duduk di sofa single seolah sedang berpikir. Sementara Yanti, Doni dan tiga orang lainnya yang kuketahui sebagai tetangga ibu, nampak berdiri seakan menunggu pembicaraan apa kedepannya. "Duduklah, Nak." Ibu bergeser memberi tempat di sebelahnya. Kalau saja ada tempat lain, mungkin aku tidak sudi duduk di sebelah Ibu yang menghadap tepat pada Mas Agung dan perempuan itu. "Ayo, Nak, sini" pinta Ibu masih dengan suara khasnya. Lembut. Wanita yang sudah sepuluh tahun menjadi mertuaku itu, memang sangat baik dari dulu bahkan tidak pernah berubah. Meski kadang aku yang masih belum sempurna menjadi menantunya selama ini. Oh, Ibu. Teganya anakmu menorehkan luka dihatiku. Bahkan setelah pengabdianku selama ini, tidak dihargai. "Agung, coba sekarang jelaskan semuanya pada istrimu." Ayah Mertua berucap tegas. Diliriknya Mas Agung yang masih pada posisinya. Berpelukan seperti Dipsy dan Tinky Winky. "Baik, Yah." Sejenak dia menghela nafas kasar, lalu menatap ke arahku. "Maafkan aku Indira, karena telah berbohong kepadamu. Sekarang aku akan jujur, bahwa aku telah menikahi Zahra. Dia istriku sekarang. Dan dia tengah hamil. Tapi …" Ucapannya terjeda sebentar, seakan ragu untuk berkata lagi. "Katakan semuanya, Dan jangan pernah kamu sembunyikan semuanya, Mas," sergahku muak melihat wajah tak bersalahnya. "Tapi …" Mas Agung kembali menghentikan ucapannya. Diusapnya wajah seakan berat untuk berkata. Jangan tanyakan hatiku yang seperti tertusuk sembilu. Sakit. Kenyataan yang tak ingin kudengar. Semuanya terlalu tiba-tiba dan aku tak siap menerima semuanya. "Katakan dengan jelas!" bentak Ayah Mertua. Seakan beliau juga jengah melihat anaknya yang sedikit bertele-tele. "Namun anak yang dikandung itu bukan darah dagingku," lirik Mas Agung seperti cicitan. Aku terperangah mendengar tutur katanya, bukan hanya aku sepertinya, semua yang mendengar di ruangan ini pun merasa kaget dengan apa yang diucapkan oleh anak sulung mertuaku ini. Terlebih ibu, dia begitu syok dan dapat kulihat jika bibirnya sedikit bergetar. "Ya, ampun. Agung, dimana jalan pikiranmu, kenapa kamu menikahi wanita yang jelas-jelas hamil anak orang lain!" bentak Ayah Mertua. Beliau murka dengan menunjuk muka anaknya. "Tapi, yah. Aku punya alasan sendiri. Aku kasihan pada Zahra. Bagaimana mungkin aku bisa membiarkan Zahra melahirkan tanpa sosok suami di sisinya." Mas Agung memberikan pembelaan. "Tapi seharusnya kamu pikirkan hati istri kamu, Gung, jangan gegabah dengan menikahi wanita ini begitu saja. Dasar kamu!" Sejenak Mas Agung melirik ke arahku. Namun melihatku yang menatapnya dengan tatapan benci, dia menunduk. Seakan ciut nyalinya. 'Kamu harus menerima balasannya dariku, Mas. Tunggu saja!'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN