Bab 1

1233 Kata
Bab 1 Brak! Pintu terbuka sedikit kencang, disusul suara langkah kaki yang seperti sengaja dihentak-hentakan, membuatku yang sedang sholat dzuhur sedikit terganggu, berkurang rasa khusyu dalam beribadah. Setelah uluk salam, segera kutemui si pemilik langkah kaki yang ternyata anakku--Adi. Dia duduk selonjoran di sofa dengan pandangan menerawang ke atas dan muka yang masam. "Eh, pulang sekolah kok nggak ucap salam, malah cemberut gitu." Kudekati dia dengan duduk di sebelahnya namun tak ada sahutan, bujangku itu hanya diam tak merespon. Bahkan menoleh pun tidak. Sepertinya tengah kesal, tapi entah karena apa, akupun tidak tahu. "Adi, ditanya kok nggak jawab?" tanyaku penasaran. Pikiranku jadi menerawang, memikirkan mungkin dia terlibat masalah di sekolahnya. Atau ada hal yang membuatnya kesal hingga membawa masalahnya hingga ke rumah. Dia mencebik kesal, sambil menoleh dengan muka marah. "Bu, kenapa sih ibu nggak cerai aja dengan ayah?" Deg, apa maksudnya? kenapa tiba-tiba dia berkata demikian. Padahal dia baru kelas tiga sekolah dasar dan belum mengerti arti perceraian. Aneh. "Loh, Di. Maksud kamu apa, kok ngomong gitu sama ibu? Nggak boleh lho, anak kecil bilang begitu. Memang kamu tahu cerai itu artinya apa," ucapku saat wajahnya terlihat masam. Sebisa mungkin kubuat wajah datar. "Udah, ah. Percuma ngomong sama Ibu." Adi berjingkat pergi menuju kamarnya dan membanting pintu. Blugh! Aku hanya beristighfar dalam hati. Ada apa dengan anak itu. Tok! tok! tok! Belum hilang keherananku, tiba-tiba pintu depan ada yang mengetuk. Segera kubuka dengan penasaran. "Indira, kebetulan kamu ada di rumah. Maaf nih ganggu." Aku tersenyum ramah. Kulihat wanita itu menarik nafas panjang, seperti kelelahan. "Indira, kamu sudah tahu kabar suamimu belum?" Bu Dewi tetangga dekat mertuaku yang datang. Sudah lama aku bersahabat dengan wanita bertubuh gempal itu. Jadi saat ada informasi dari keluarga Mas Agung--suamiku, wanita itu selalu yang pertama tahu. Dilihat dari deru nafasnya, seperti habis berlari dan dikejar anjing galak. Entah ada apa sebenarnya. "Tenang dulu, Bu Dewi, sini masuk dulu." Aku mengajaknya masuk dan menyuruhnya duduk, lalu ke dapur untuk mengambil air putih dan kembali lagi ke depan. Segelas air putih ditandaskan dalam waktu sekejap saja. Setelah kulihat agak tenang, barulah aku mengajaknya bicara. "Bu Dewi, kenapa? Coba ceritakan apa yang terjadi," pintaku cepat. Wanita paruh baya itu terlihat menarik nafas panjang. "Eh Indira, kok kamu tenang-tenang saja dirumah sih. Memang belum tahu kabar suamimu sekarang?" tanyanya seperti keheranan dengan mata fokus ke arahku. "Tahu apa, Bu? Memangnya apa yang tidak kuketahui?" Kini giliranku yang penasaran dengan apa yang tengah terjadi dengan suamiku. "Lho, memangnya kamu nggak tahu kalau sekarang suamimu sedang di rumah ibunya, bawa perempuan muda, cantik, lagi hamil juga kayaknya," tutur Bu Dewi dengan tatapan penuh ke arahku yang melotot. "Apa benar seperti itu!?" tanyaku tak percaya. Tak terasa sampai kuremas gamis yang kukenakan. "Iya, benar. Bahkan Adi juga tadi habis dari rumah neneknya. Memang dia belum cerita sama kamu, Indira?" Bu Dewi bicara penuh penegasan dengan kening bertaut melihatku yang heran. Aku menggeleng cepat. Pantas saja tingkahnya terlihat berbeda tadi. "Apa maksud Bu Dewi, jangan bercanda deh, nggak lucu!" ucapku tak percaya. Kucoba menetralisir perasaanku karena belum sepenuhnya percaya. Aku memang tak mudah percaya dengan perkataan orang lain, sebelum melihatnya sendiri. "Iya, itu benar. Masa aku bohong soal beginian. Bahkan Adi juga tadi habis dari rumah neneknya. Memang dia belum bercerita sama kamu, Indira?" Raut wajah heran itu semakin kentara saat melihatku. Aku menggeleng cepat. "Sebaiknya kamu datang ke sana saja kalau nggak percaya." Entah kenapa tiba-tiba seperti ada yang menonjok dalam d**a. Sakit, sangat sakit sekali. Apakah benar yang dikatakan Bu Dewi ini, entahlah. Namun jika benar Mas Agung membawa perempuan lain ke rumah ibunya, kenapa tak ada satu orang pun kerabat dari mertua yang memberitahuku. Dan kalau itu benar, pantas saja Adi datang ke rumah dengan wajah yang ditekuk tidak seperti biasanya. Bahkan tadi sempat bilang 'cerai' segala. Ah rasanya sakit dan sulit dipercaya jika Mas Agung berkhianat. "Indira, hei, kok malah bengong. Ya udah, aku mau pulang dulu takut anak-anak nyariin." Bu Dewi keluar dari rumah setelah mengucap salam yang hanya kujawab dalam hati. Aku harus pergi untuk memastikan. Ya Tuhan. Kenapa rasanya sakit sekali, meski itu belum tentu benar. Segera kusambar pashmina instan yang tergantung di belakang pintu kamar. Aku harus memastikan kabar yang baru saja kudengar, agar jangan sampai ada kesalahpahaman juga agar aku tidak berprasangka buruk, karena belum tentu benar adanya. Setelah pamit pada Adi yang sama sekali tak menyahut ucapanku, segera kuhidupkan motor matic putih menuju kediaman mertuaku yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku yang dibangun masih di tanah mertua. Hanya berjarak lima ratus meter saja. Sengaja kukendarai motor dengan kecepatan rendah, agar aku bisa menata hati dan tidak bertindak anarkis, jika saja hal yang menimpa mas Agung benar adanya. Kebiasaanku yang memang gampang emosi. Tapi kali ini, aku tak boleh gegabah dengan melakukan hal yang akan membuatku malu disana nantinya. Kebiasaan emosiku dari dulu memang sulit ditaklukkan. Aku juga terbiasa bepergian sendiri karena Mas Agung sangat jarang mengantarku. Apalagi beberapa waktu ini, Mas Agung selalu tak ada waktu untukku dan Adi. Meski entah apa kesibukan dia sekar, karena sudah tak bekerja seperti dulu. Sampai di depan rumah mertua, tampak Yanti, adik Mas Agung tengah memainkan ponselnya di teras. Seakan tahu aku yang datang, segera dia mengangkat satu kakinya dengan menumpangkan ke kaki lainnya. Sombong memang Yanti, tak berubah sikapnya padaku meski Ayah Mertua berulang kali menasehati. Padahal aku tak pernah mengusik atau menyulitkannya. "Assalamualaikum, Yan. Apa Mas Agung ada di dalam?" tanyaku sopan, namun diabaikan salamku. Gadis itu seakan-akan budeg, bahkan sama sekali dia tak menoleh ke arahku. Dasar anak ini! Tak menunggu perintah, aku memasuki rumah. Tak ada siapa-siapa di ruang tamu, hanya ketika berjalan ke arah ruang keluarga, tampak Doni, yang juga adiknya suamiku tengah asyik menonton film kartun. Film yang biasanya ditonton anak kecil itu terlihat begitu dia nikmati. Doni tertawa seakan asik sekali menontonnya. Aku berdehem pelan. Doni menoleh sedikit kaget, namun tak lama kemudian dia kembali mengalihkan pandanganya ke layar 63 inci di depannya. Sama seperti Yanti, dia pun seakan tak peduli padaku yang mematung di sebelahnya. "Eh, Indira, kamu datang, Nak?" Ibu Mertua melangkah keluar dari arah dapur. Mukanya tampak kusut, matanya sedikit memerah seperti bekas menangis. Entah kenapa perasaanku semakin tidak enak. "Dimana Mas Agung, Bu?" Tanpa basa-basi aku menanyakan keberadaan suamiku. Rasa penasaran serasa membuat darahku naik, apalagi mendapati Doni dan Yanti tadi yang memang sengaja mengacuhkanku. Menyebalkan sekali kedua orang itu. "Duduk dulu, Nak," pinta Ibu sambil meraih tanganku, namun segera kulepaskan dengan tangan kiriku dan kugenggam balik dua tangannya. "Aku kemari bukan untuk duduk, Bu. Tapi mencari Mas Agung yang sudah seminggu ini tidak pulang," ucapku penuh penegasan. Ibu menatap lirih dan seperti berat untuk menjawab. Namun perhatianku justru tertuju ke pintu kamar tamu yang tertutup rapat, dan terdengar suara wanita cekikikan dari dalam. Bukankah di rumah ini yang perempuan muda, hanya Yanti? Itu pun sedang duduk di luar sambil memainkan ponselnya. Lalu suara siapa di sana? Segera kulangkahkan kaki dan meninggalkan Ibu yang mulai terisak. "Sabar, Nak, tahan emosimu," lirihnya sambil mencoba menahan langkahku. Namun tak menyurutkan niatku untuk menuju ke sumber suara. "Lepaskan Indira, Bu. Biarkan Indi tahu semuanya," ucapku pelan tak kuasa menahan sakit. "Wah, kayaknya akan ada perang dunia nih." Terdengar perkataan Doni dari belakang disusul suara tawanya yang seakan mengejek. Namun aku tak peduli. Semuanya harus segera terungkap. Dan akan kuhadapi apapun kenyataan yang sebenarnya. Tunggu saja kalian yang di dalam, aku akan segera mengetahuinya. Aku Indira, tidak akan diam saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN