Bab 3
Aku melangkah gontai paling akhir. Rasanya kakiku gemetar dan sulit sekali untuk melangkah. Ditambah rasa sakit hati dan juga tangan yang terasa kebas, bekas menampar mas Agung dan perempuan itu. Sakit.
Mereka semua sudah duduk di ruang tengah. Mas Agung tampak menenangkan perempuan itu yang masih terisak sambil memeluk Mas Agung. Dasar tidak tahu diri.
Ibu mertua menatapku dengan rona sedihnya, Ayah Mertua duduk di sofa single seolah sedang berpikir. Sementara Yanti, Doni dan tiga orang lainnya yang kuketahui sebagai tetangga Ibu, tampak berdiri seakan menunggu pembicaraan Kedepannya yang akan diputuskan.
"Duduklah, Nak." Ibu bergeser memberi tempat di sebelahnya. Kalau saja ada tempat lain, mungkin aku tidak sudi duduk di sebelah Ibu yang menghadap tepat pada Mas Agung dan perempuan sia*an itu.
"Ayo, Nak, sini," pinta Ibu masih dengan suara khasnya. Lembut. Wanita yang sudah sepuluh tahun menjadi mertuaku itu, memang sangat baik dari dulu bahkan tidak pernah berubah. Meski kadang aku yang masih belum sempurna menjadi menantunya selama ini.
"Ah, Ibu. Teganya anakmu melukai hati dan perasaanku, setelah baktiku selama ini yang sama sekali tidak dihargai.
"Agung, coba sekarang jelaskan semuanya pada istrimu!" Ayah Mertua berucap tegas. Diliriknya Mas Agung yang masih pada posisinya. Berpelukan, tepat seperti Dipsy dan Tinky Winky.
"Baik, Yah." Sejenak dia menghela nafas kasar, lalu menatap tajam ke arahku.
"Maafkan aku Indira, aku telah berbohong di belakangmu. Sekarang aku akan jujur, bahwa aku telah menikahi Zahra. Dia istriku sekarang. Dan dia tengah hamil. Tapi …," Ucapannya terjeda sebentar, seakan ragu untuk meneruskan lagi. Diusapnya wajah, seakan berat untuk bercerita.
"Tapi apa? Katakan semuanya, dan jangan pernah kamu sembunyikan semuanya dariku, Mas." sergahku muak melihat wajah tak bersalahnya. Hatiku sakit mendengar pernyataannya itu. Kenyataan yang tak ingin kudengar. Semuanya terlalu tiba-tiba dan aku tidak siap dengan semua itu tentu saja.
"Tapi …," Mas Agung kembali menghentikan ucapannya sambil menoleh pada perempuan itu dan menggenggam tangannya.
"Katakan dengan jelas! Kamu laki-laki dan harus bertanggung jawab atas semua perbuatanmu!" bentak Ayah Mertua. Seakan beliau juga jengah melihat anaknya yang sedikit bertele-tele.
"Tapi anak yang dikandungnya itu bukan darah dagingku," lirih Mas Agung.
Aku terperangah mendengar tutur katanya, bukan hanya aku sepertinya, semua yang mendengar di ruangan ini pun merasa kaget dengan apa yang diucapkan oleh anak sulung mertuaku ini. Terlebih Ibu, beliau begitu syok, dapat kulihat jika bibirnya sedikit bergetar.
"Ya, ampun. Agung, dimana jalan pikiranmu, kenapa kamu menikahi wanita yang jelas-jelas hamil anak orang lain!" bentak Ayah Mertua. Beliau murka dengan menunjuk muka Mas Agung.
Aku tak tahu pasti, sepertinya beliau pun baru tahu jika Mas Agung membawa perempuan itu ke rumahnya. Sama sepertiku.
"Tapi, Yah. Aku punya alasan sendiri. Aku kasihan pada Zahra. Bagaimana mungkin aku bisa membiarkan Zahra melahirkan tanpa sosok suami di sisinya." Mas Agung memberikan pembelaan membuat Ayah Mertua kalap.
"Tapi seharusnya kamu pikirkan hati istri kamu, Gung. Jangan gegabah, dengan menikahi wanita ini begitu saja. Dasar kamu!"
Sejenak Mas Agung melirik ke arahku. Namun melihatku yang menatapnya dengan tatapan benci, dia menunduk. Seakan ciut nyalinya.
'Kamu harus menerima balasannya dariku, Mas. Tunggu saja!'
?????
Mau tahu rasanya, saat orang yang sudah sepuluh tahun membersamai kita, tiba-tiba dia berbuat curang di belakang. Sangat sakit. Meski dia berdalih karena kasihan, tapi kenyataannya tetap saja membuat hatiku sangat sakit. Bagai tertusuk besi panas, tepat di jantung. Seperti itulah sakitnya.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Pernikahan kalian tidak sah. Bagaimanapun juga, wanita yang hamil apalagi tanpa suami tidak boleh dinikahi!" bentak Ayah dengan menatap tajam ke arah Mas Agung.
"Aku tidak perduli, aku akan tetap mempertahankan Zahra, baik itu sah atau tidak!" Mas Agung berdiri, lalu meraih tangan Zahra dan berlalu begitu saja menuju ke arah kamar. Disusul suara pintu yang terbanting. Membuatku semakin merasa sakit. Bahkan lelaki itu tidak menghargai orang tuanya sendiri.
"Nak, sabar ya." Ibu berusaha menenangkanku yang mulai tersedu tak kuasa menahan rasa sakit atas penghianatan dan kelakuan Mas Agung.
Sementara Ayah ikut berdiri dan berkacak pinggang.
"Dasar anak tidak tahu diri!" Setelah berkata demikian, lalu pergi entah kemana, aku tidak tahu.
"Mungkin si Agung lagi khilaf, kamu yang sabar ya, Indira." Bi Wina tetangga Ibu ikut menenangkanku. Sementara dua orang lainnya hanya diam, begitu pun dengan Yanti Dan Doni yang memang tidak suka denganku, hanya tersenyum sinis. Seakan puas melihat kesakitanku.
"Maaf, Bu, apa nggak sebaiknya Bu Indira pulang saja dulu, biar hatinya tenang." Bu Wina memberi saran, dan kupikir itu lebih baik bagiku sekarang. Aku harus bisa berpikir dengan langkah selanjutnya. Tak mungkin aku hanya diam disini dan melihat tingkah laku Mas Agung dan perempuan itu. Bisa-bisa aku mati menahan rasa sakit.
*****
Sudah dua hari sejak kejadian itu, sama sekali aku tak mendengar lagi kabar mereka. Hatiku juga sudah lebih tenang dan lebih siap dengan kemungkinan yang akan terjadi kedepannya. Bagaimanapun juga aku tak akan memaafkan dan melupakan semua yang telah Mas Agung lakukan padaku.
Aku tengah fokus membuat adonan kue, hingga tak kusadari ada seseorang yang tengah berdiri di dekat pintu dan tengah memperhatikanku saat ini.
Dia, orang yang dua hari ini membuatku sangat muak dan benci.
Siapa lagi kalau bukan lelaki itu, Mas Agung.
"Indi, apa kabar kamu?" Huh, untuk apa dia berbasa-basi hanya sekedar bertanya kabar, bukankah dia tahu bahwa aku tidak mungkin baik-baik saja.
"Untuk apa kamu kemari, Mas?" Aku melengos menatap kembali adonan kue yang tengah kuuleni.
"Apa salah jika aku pulang ke rumahku sendiri, hm?" Mas Agung perlahan mendekat. Dan duduk di kursi makan tidak jauh dari tempat dudukku.
"Kupikir kamu sudah lupa jalan pulang, Mas," balasku acuh.
"Aku ingin bicara denganmu, Indi. Jadi, tolong jangan acuhkan aku." Aku menghentikan kegiatanku dan beralih menatapnya tajam.
"Bukankah kamu memang sedang bicara, lantas kenapa kamu berpikir aku mengacuhkanmu?" tatapku tajam pada manik matanya.
"Sejak kapan kamu berani berkata 'kamu' padaku, Indi? Bukankah biasanya hanya kata 'Mas' yang selalu terlontar dari bibirmu, hm?" Mas Agung menatapku marah. Namun aku tidak peduli. Sejak dari rumah Ibu, segalanya telah berubah.
"Sejak kamu bawa perempuan ja***g itu ke rumah Ibumu."
"Diam kamu, Indi. Kamu tidak tahu apa-apa tentang dia!" bentak Mas Agung dengan telunjuk yang mengarah tepat ke mukaku. Kenapa dia marah aku berkata yang sebenarnya. Heran.
"Oh, ya. Ternyata kamu banyak tahu tentang dia. Mungkin saja kamu juga tahu siapa ayah dari bayi yang dikandung perempuan itu." Aku tersenyum sinis. Biarlah kamu murka padaku Mas, aku sudah tidak peduli lagi sekarang.
"Ka-kamu!" Tangannya berayun ke atas, seperti ingin menamparku. Namun dengan cepat aku bicara.
"Kenapa kamu berhenti, hm? Tampar, Mas.
Ayo tampar aku," tantangku tanpa rasa takut. Namun dia menghempaskan tangannya kembali. Lelaki picik.
"Ahhh!!" Dia berlalu begitu saja. Meninggalkan luka yang kembali menganga. Sakit.
Sore Harinya.
Pintu depan terdengar ada yang mengetuk. Aku yang masih terduduk di dapur, segera beranjak dan membukanya.
"Ibu." Ibu Mertua mendekat dan memelukku. Beliau tak datang sendiri. Di belakangnya sudah Ada Ayah Mertua, Doni, Pak RT dan tentu saja Mas Agung dan perempuan yang beberapa hari ini selalu menjadi duri untukku. Siapa lagi kalau bukan perempuan itu. Yang mengaku tengah hamil tapi bukan anak Mas Agung. Meski aku tidak percaya.
"Bisa kita bicara di dalam, Indira?"