"Bangunan ini bernama Solomon, sebuah bangunan yang dapat menyembuhkan segala jenis penyakit, bangunan ini bisa menyembuhkan penyakitmu, Biola, tapi dengan bayarannya, kau harus merelakkan satu helai rambutmu."
Kemudian ketika aku sudah masuk dan mengerti dengan penjelasan yang dikemukakan oleh Sun, bangunan itu tiba-tiba,
Bangunan bernama Solomon ini tiba-tiba saja menyala terang, menyinari seluruh tempat di antara pepohonan bambu ini, termasuk aku yang berdiri di dalamnya, sinarnya lebih terang di ruangan mungil ini, membuat mataku menyipit secara reflek karena terlalu silau.
Kemudian, secara perlahan, cahaya terang ini meredup, dan akhirnya lenyap tak tersisa, aku pun bisa membuka mataku kembali, dan tempat ini tidak ada yang berubah sama sekali, kukira akan ada keanehan lagi seperti sebelum-sebelumnya, dari dalam, aku bisa memandang Sun yang menungguku di luar sambil berdiri memperhatikanku, senyuman tipisnya menghiasi wajahnya.
Setelah keluar dari ruangan mungil ini, aku menghampiri Sun, kemudian, dengan pelan-pelan, aku mencoba membuka mulutku untuk berbicara padanya. Semoga kemampuan bicaraku bisa sembuh. Sebenarnya saat mulutku terbuka, aku agak kaku untuk menggerakkan bibirku.
"Ayo, sekarang, cobalah bicara padaku, Biola. Aku yakin, penyakitmu sudah sembuh." ucap Sun padaku berniat menyemangatiku, aku senang mendengarnya.
"Te-Te-Terima ka-kasih."
Astaga! Aku berhasil! Aku berhasil! Aku tidak menyangka akan berhasil dengan secepat ini! Kukira akan sedikit lebih sulit dan lama untuk bisa berbicara, tapi ternyata sangat mudah dan cepat! Aku bahagia sekali!
Melihat diriku yang gembira karena bisa berbicara membuat Sun menyilangkan tangannya di d**a dengan tertawa kecil, ikut bergembira atas apa yang terjadi padaku.
"Benar, kan? Solomon tidak pernah sekali pun membuat kesalahan dalam menyembuhkan penyakit makhluk hidup selama beribu-ribu tahun, tulangku juga dulu pernah hancur tak tersisa, tapi setelah aku disarankan untuk masuk ke dalam Solomon oleh rekan-rekanku, tanganku yang hancur dengan secepat kilat sembuh seperti tak terjadi apa pun."
"Aku sangat berterima kasih padamu, Sun, berkat pertolonganmu, aku bisa masuk ke dalam dunia ini dan penyakit bisuku bisa sembuh." Ini adalah pertama kalinya aku bisa berkata panjang lebar, mendengar ucapanku, Sun menganggukkan kepalanya.
"Aku tak pantas menerima ucapan terima kasihmu, Biola, karena aku tidak melakukan apa pun. Daripada itu, karena kau sudah bicara, mari kita pergi ke rumahku. Aku sangat lapar soalnya."
Aku terima ajakannya dan berjalan di samping Sun, di perjalanan kami mengobrol panjang lebar mengenai segala hal, aku senang, akhirnya aku bisa berinteraksi dengan orang lain secara normal.
Dan di dalam obrolan tersebut, ada satu pembahasan yang membuatku sedikit malu untuk meresponnya.
Dimulai dari pertanyaan yang dilontarkan oleh Sun padaku, "Ngomong-ngomong, aku penasaran, apa yang kau teriakkan di dalam hatimu saat kita akan membuka portal menuju dunia ini, Biola?"
Lantas, mendengar hal itu, aku langsung gugup dan kikuk, bingung untuk menjawab pertanyaan itu, apakah aku jujur saja? Tapi itu sangat memalukan! Apakah aku bohong saja? Sayangnya, aku tak pandai berbohong.
"Mengenai itu... Aku pikir, kau tidak perlu mengetahuinya, Sun, soalnya--"
"Kumohon! Biola! Aku berjanji tidak akan menertawakanmu atau pun membeberkan hal ini pada siapa pun! Ayolah, kumohon! Aku berjanji!"
Mukaku seketika memerah, bagaimana ini!? Aku malu mengungkapkannya! Apa memang harus, ya? Aduh! Aku malu sekali jika Sun mengetahuinya! Tapi, baiklah, karena dia memaksaku, apa boleh buat, tapi kuharap Sun langsung lupa apa yang kukatakan, semoga saja.
"Saat itu, aku berteriak 'aku ingin punya enam kesatria yang bisa melindungiku setiap saat', itulah yang kuteriaki." Aku mengatakannya sambil menundukkan kepala saking malunya, tak mampu menegakkan kepalaku lagi setelah mengungkapkan hal memalukan itu pada Sun.
"Wa-Wah! I-Itu hebat sekali! HAHAHAHAHAHAHAA!" Dan ternyata, janji yang dia ucapkan barusan telah diingkari, Sun tertawa terpingkal-pingkal mendengar ungkapan jujurku. Dia bahkan terus-terusan memegangi perutnya yang kesakitan karena tertawa.
Bibirku langsung cemberut, dan mataku melototi tanah, karena kesal mendengar Sun menertawakanku sampai berlebihan begitu. Sudah kuduga, harusnya aku tidak mengatakannya! Aku terlanjur malu! Bodohnya diriku!
Tapi, ketika aku sudah mampu kembali menegakkan kepalaku, dan mencoba tak mendengarkan gelak tawa dari Sun untuk tetap berjalan serta menatap ke depan, tiba-tiba ada pemandangan yang mengejutkan jauh beberapa meter di depan kami.
Sun mungkin tak menyadarinya karena dia masih tertawa terbahak-bahak, hanya aku yang melihatnya, empat lelaki, tidak, enam lelaki yang menunggangi kuda. Mereka berenam memakai baju zirah dengan warna yang berbeda-beda, dan keenam lelaki itu mempunyai wajah yang rupawan.
Sesaat ketika kuda mereka melewati Sun dan aku, aku bisa mendengar hembusan napas mereka yang terengah-engah, aku terus memandanginya walau mereka sudah jauh di belakang kami dan hanya punggungnya saja yang bisa kulihat, tapi serius! Aku merasakan sesuatu dari enam lelaki yang menunggangi kuda itu, seperti suatu saat nanti, aku akan kembali bertemu dengan mereka.
Tapi lupakan! Mungkin itu hanya firasatku saja, tak ada yang perlu diseriuskan, karena tidak mungkin juga aku akan kembali bertemu dengan mereka, apalagi kelihatannya mereka adalah orang-orang dari kalangan bangsawan, terlihat dari penampilannya.
*
*
*
"Kita telah sampai! Biola!" Kami sudah tiba di depan sebuah rumah berbentuk jamur, diantara pepohonan raksasa yang menjulang tinggi. Aku terpukau dengan bentuk rumahnya yang unik, persis seperti ciri khas rumah dari dunia dongeng yang sering kulihat di film.
Sun mempersilakanku untuk memasuki rumah jamurnya, dan aku pun masuk ke dalamnya, dan woah, tidak pernah kukira kalau di dalamnya sangat luas, padahal rumah ini jika dilihat dari luar tampak sempit dan kecil. Aku duduk di bangku empuk berbahan jamur, sepertinya semua perabotan rumah milik Sun terbuat dari jamur.
"Indah sekali rumahmu, Sun! Aku suka pada bentuk rumahmu dan semua perabotannya, tak pernah kubayangkan jika jamur bisa diubah menjadi berbagai aneka benda seperti sofa, lemari, meja, dan sebagainya. Bagaimana caramu membuatnya, Sun?"
Sun hanya mengedikkan bahu mendengar ucapanku, seraya berjalan mendekati lemari es dan mengambil sebuah minuman segar, dia berikan sebotol minuman padaku dan dia pun duduk berdampingan denganku di bangku.
"Mudah, kok. Asal kau tahu ilmunya, benda apa pun bisa dibuat hanya dari sebuah jamur, Biola. Tapi ini masih belum seberapa jika dengan rumah orang lain, kau akan terkejut jika memeriksa tiap rumah di sini, karena banyak hal unik yang akan kau lihat nantinya."
Aku mengernyitkan alis mendengarnya. "Benarkah? Aku jadi ingin mengunjungi tiap rumah, bolehkah aku melakukannya sekarang?"
"Jangan, Biola! Aku hanya bercanda, jangan dilakukan, itu akan membuatmu disangka pencuri oleh pemilik rumah jika kau masuk seenaknya." ucap Sun padaku dengan memasang wajah menyeramkan. "Mau tidur? Sepertinya kau lelah sekali, Biola."
"Aku tidak lelah," jawabku dengan singkat, lalu aku kembali melanjutkan, "Bolehkah aku bertanya padamu mengenai suatu hal, Sun?"
"Silahkan, selama itu menyangkut dunia dongeng."
Aku menarik napas panjang sebelum bertanya, karena aku yakin dia pasti akan tertawa lagi jika mendengar hal ini. "Saat di perjalanan, ketika kau sedang menertawaiku, aku sempat melihat enam lelaki berzirah yang menunggangi kuda melewati kita. Siapa sebenarnya mereka?"
"Hah? Enam lelaki berzirah? Jangan bilang ini terhubung dengan harapanmu yang itu, Biola? Hahahaha!" Lagi-lagi Sun menertawaiku, tapi aku langsung berkata,
"Bukan! Ini benar-benar nyata! Aku melihat mereka! Enam lelaki itu menunggangi kuda, mereka terlihat kelelahan seperti baru pulang dari sebuah misi yang berat!"
Seketika, Sun menghentikan tawanya dan menatapku dalam-dalam, kemudian ia berbisik ke telingaku, "Oh, aku ingat sekarang, mereka adalah enam kesatria muda yang memimpin squad-squad terkenal di kerajaan. Dan katanya, hanya enam squad saja yang diakui oleh raja, dan mereka berenam lah yang menjadi kapten dari squad-squad tersebut!"
Aku mengangkat sebelah alisku dengan terheran-heran. "Tunggu-tunggu, apa itu 'squad'? Aku tidak mengerti!"
Sun kembali berbisik padaku, "Squad adalah sebuah kelompok penyihir yang mengabdikan diri mereka pada kerajaan untuk menjalankan berbagai misi yang diberikan oleh sang raja!" kata Sun dengan antusias. "Oh, Biola, apakah kau juga ingin masuk ke dalam sebuah squad?"
"Masuk ke dalam sebuah squad? Bagaimana caranya?"
Sun menyeringai mendengar pertanyaanku.